Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kembali ke kota yang penuh luka
Mobil hitam mewah milik Gavin berhenti perlahan di depan rumah sakit besar di pusat kota. Sore itu udara masih lembap, sisa hujan di siang hari menempel di kaca mobil, menciptakan bias samar saat Arum menatap keluar dengan wajah cemas.
Revano tertidur di kursi belakang, wajahnya pucat, bibirnya nyaris tanpa warna. Gavin segera turun, lalu membukakan pintu untuk Arum dan menggendong bocah kecil itu dengan hati-hati.
“Cepat ke bagian pendaftaran, aku akan bawa Revan ke ruang IGD anak,” katanya pada Arum. Arum mengangguk cepat, langkahnya terburu menuju meja resepsionis.
“Permisi, anak saya … dia harus segera ditangani. Ini surat rujukannya,” ucap Arum dengan suara bergetar sambil menyerahkan berkas.
Resepsionis menerima dan memanggil perawat untuk segera membantu. Di saat bersamaan, Gavin datang menyusul, napasnya sedikit terengah.
“Tolong arahkan kami ke dokter spesialis anak, saya sudah konfirmasi lewat telepon pagi tadi.”
“Baik, Dokter Gavin. Silakan ke ruang anak di lantai dua. Dokter utama sudah menunggu.” ujar mereka yang memang mengenal Gavin.
Mereka berjalan cepat melewati koridor putih yang berkilau, langkah keduanya tergesa. Arum menatap putranya yang kini dibawa di atas tandu kecil, menahan air mata yang nyaris jatuh.
Di sisi lain, pintu utama rumah sakit terbuka lagi. Seorang pria dengan jas gelap dan tatapan tajam masuk melewati resepsionis, dia Reghan Argantara.
Ia baru saja tiba untuk menjemput Oma Hartati yang pagi itu menjalani pemeriksaan rutin. Namun langkah Reghan tiba-tiba terhenti. Sekilas, dari sudut matanya, ia melihat sosok wanita yang baginya terasa begitu familiar. Rambut panjang terurai lembut, wajah teduh, tubuh ramping dalam balutan blouse krem sederhana.
Jantung Reghan seperti diremas. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dia ingin berteriak, ingin memastikan pandangannya tidak salah, tapi lidahnya kelu.
Tubuhnya seolah lumpuh di tempat, hanya matanya yang mengikuti langkah wanita itu sampai menghilang di ujung koridor bersama seorang pria yang tampak memegang tangan seorang bocah. Rasa nyeri menusuk di dada kirinya. Reghan memegangi dadanya sambil menghela napas berat.
“Tuan, Anda baik-baik saja?” suara lembut memecah lamunannya. Ia menoleh Bu Nara, asistennya, menatap dengan cemas.
Reghan menggeleng pelan. “Tidak … hanya sedikit sesak.”
Tatapannya beralih lagi ke arah koridor yang kini sepi. Tidak ada siapa pun di sana, hanya resepsionis yang sibuk menulis data pasien baru.
Reghan menghela napas panjang, mencoba menepis perasaan aneh yang tiba-tiba menghujam.
“Mari, Bu Nara. Kita ke ruang Oma,” katanya akhirnya dengan suara rendah. Ia melangkah pergi, namun langkahnya terasa berat.
Ada sesuatu yang mengguncang batinnya tanpa alasan, seperti firasat, atau mungkin, luka lama yang tiba-tiba kembali berdenyut.
Di ruang pemeriksaan anak, suasananya terasa sunyi meski suara mesin dan alat medis sesekali berbunyi lembut.
Arum duduk di kursi samping ranjang kecil tempat Revano berbaring, tangan mungil bocah itu digenggam erat olehnya. Wajah Arum pucat, matanya sembab, seolah setiap detik yang berlalu terasa seperti ujian panjang tanpa akhir.
Gavin berdiri di sisi lain, menatap layar hasil pemeriksaan dengan ekspresi serius. Dokter spesialis anak di depannya menjelaskan dengan nada lembut namun tegas,
“Anak ini harus segera mendapat perawatan intensif. Kami akan mulai dengan transfusi dan rangkaian tes untuk mencari kecocokan donor sumsum tulang belakang.”
Arum menatap dokter itu tanpa suara. Lidahnya kelu, seolah tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan ketakutannya.
“Dok … apakah … apakah dia akan baik-baik saja?” suara Arum nyaris bergetar.
Dokter menatapnya dengan empati. “Kami akan berusaha sebaik mungkin, Bu. Tapi waktu sangat penting di sini.”
Gavin menepuk pelan bahu Arum, mencoba memberi ketenangan.
“Kita sudah di tempat terbaik, Arum. Dokter-dokter di sini luar biasa. Percayalah, Revan akan kuat.”
Arum menatap Gavin dengan mata berkaca-kaca. “Aku takut, Gavin … aku takut kehilangan dia.”
“Tidak akan,” jawab Gavin lembut. “Anakmu itu tangguh, sama seperti ibunya.”
Perawat masuk, meminta izin untuk membawa Revano ke ruang observasi. Arum mencium kening anaknya pelan, “Mama tunggu di luar ya, Nak.”
Bocah itu tersenyum samar, lalu dibawa keluar oleh perawat. Begitu pintu tertutup, Arum menunduk, menggenggam kedua tangannya yang bergetar. Gavin duduk di hadapannya.
“Arum,” katanya lembut, “kita akan cari donor secepatnya. Tapi … kemungkinan terbesar adalah dari keluarga sedarah.”
Arum mendongak pelan, sorot matanya mulai berubah.
“Kau tahu maksudku, kan?” lanjut Gavin hati-hati.
“Tidak…” bisik Arum lirih, mencoba menolak arah pembicaraan itu.
“Arum,” Gavin menatapnya dalam, “aku tahu kau tidak ingin masa lalu itu muncul lagi. Tapi jika itu bisa menyelamatkan Revan, kau harus berani menghadapi mereka. Hanya itu caranya.” Air mata Arum jatuh tanpa bisa ditahan.
Tiga tahun ia mengubur nama Argantara, tiga tahun ia menutup rapat luka dan penghinaan itu. Dan kini, Tuhan seakan memaksanya kembali menatap masa lalu yang paling ia benci, demi anak yang lahir dari rahimnya sendiri.
Gavin menggenggam tangan Arum.
“Aku janji, aku akan tetap di sampingmu. Apa pun yang terjadi nanti, kau tidak sendiri.”
Arum mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri, namun jauh di dalam hatinya, bayangan Reghan, pria yang dulu ia cintai, sekaligus yang pertama membuatnya hancur, mulai muncul kembali, samar tapi menyakitkan.
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,