NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 5 Ketidak Sanggupan Mencintai

Sudah beberapa hari ini aku dan Lya tidak lagi bersinggungan. Beberapa kali aku sengaja mengabaikan uluran tangannya untuk meraihku, hingga akhirnya usaha itu benar-benar menghilang. Ketika hari berikutnya datang, ia tak lagi menoleh ke arahku. Yang kulihat hanyalah sosok dengan penampilan yang jauh lebih buruk dibanding saat ia terserang demam: kantong mata yang menebal, wajah yang tampak lesu, dan—yang paling mencuri perhatianku—sinar matanya yang kini semakin kosong.

Sudah beberapa hari ini ia terus mempertahankan penampilan yang membuatku tidak bisa melepaskan pandang darinya. Memang aku yang mengabaikannya tapi bukan berarti perasaan sukaku hingga peraaan peduliku padanya menghilang.

Hingga hari ini, aku semakin cemas melihat Lya yang tidak melewatkan seluruh mata kuliah meski sudah seperti mayat hidup itu. Setelah kelas berakhir, aku bergegas menghampiri Lya yang lebih dulu keluar kelas, menarik tangannya dalam diam ke sesuatu tempat yang sepi. Kupastikan di sekitar kami tidak ada mata yang mengamati. Kusudutkan tubuh Lya di dinding dan kukurung dengan dua tanganku sehingga dia tidak berpikir untuk kabur—meski mungkin hal itu minim terjadi.

”Hei, ada apa denganmu? Apa kau masih merasa sakit?” tanyaku khawatir, mengesampingan kekecewaan sepihakku pada sikap Lya sebelumnnya.

Lya tertunduk, poninya yang panjang menutupi matanya. Kusibak ragu dan pelan surai depannya, sebagian kusibak ke belakang telinganya. Jika dilihat dari dekat, kondisi Lya justru tampak lebih buruk. Bibirnya kering yang sedikit terluka itu masih terkatup rapat membuatku frustasi.

”Lya... Kumohon... Aku bahkan tidak bisa benar-benar mengabaikanmu setelah melihatmu seperti ini... Ada apa denganmu sebenarnya?” Kudengar suaraku mulai gemetar. Hatiku sakit. Aku merasa bersalah. Seharusnya aku bisa lebih sabar dan merawatnya dengan benar hari itu. Mungkin aku tidak akan melihat sosok Lya yang seperti ini.

Beberapa menit kami dihantam oleh keheningan, namun Lya tetap teguh menutup rapat bibirnya. Wajah yang biasanya terangkat tinggi saat berbicara denganku kini tertunduk begitu rendah. Tatapannya tidak lagi menembusku, melainkan jatuh pada permukaan kosong di depannya. Aku merasa tak sanggup. Bukan karena Lya enggan terbuka padaku, melainkan karena kehilangan pandangan penuh rasa itu—tatapan yang selalu berbicara lebih lantang dari kata-katanya.

”Maafkan aku Lya... Tidak apa-apa jika ada hal yang kamu sembunyikan... tidak apa-apa untuk tidak bilang apa pun padaku... aku hanya ingin kami menatapku saat ini, kumohon...” pintaku lagi, dengan nada penuh rasa putus asa. Namun tidak membuahkan apa-apa. Rasa frustasiku semakin besar. Mataku terasa panas. Hidungku mulai perih. Kurasakan sedikit demi sedikit air mata mengalir dari kelopakku.

Rasa frustasiku menggerakan tanganku untuk menjepit wajah Lya, mengangkat kepala itu untuk mengdongak menatapku. Bola matanya bahkan tidak berusaha untuk melihat ke arahku. ”Lya kumohon... Kau bilang kau suka ketika aku menangis, kan? Aku akan menangis sebanyak apapun jika itu demi dirimu, makanya kumohon lihat aku, hmm?”

Usaha terakhirku akhirnya membuahkan hasil. Lya kini menatapku meski pandangannya masih hampa, namun itu saja sudah cukup bagiku. Aku tersenyum lega di tengah air mataku yang mengalir. Kudekatkan wajahku padanya, kuhujani kecupan ringan setiap inci wajahnya hingga akhirnya berakhir lebih rendah hampir ke leher. Mataku kemudian terpaku pada objek tidak asing yang kini tampak terbalut melingkar di leher Lya, di balik turtle neck yang tidak pernah luput darinya.

”Perban?” tanyaku lirih, hanya saja Lya yang jelas mendengar suara di dekat telinganya itu segera mendorongku menjauh. ”Lya..? Ada apa? Apa yang terjadi pada lehermu sampai harus dililit perban?” darahku bergejolak, rasa cemas ini semakin besar. Aku melangkah maju sedikit demi sedikit hanya untuk menipiskan kembali jarak di antara kami, tapi Lya tidak menyetujuinya. Kakinya memilih mundur mengikuti irama langkahku.

”Ben...” panggil Lya, suara pertamanya menghentikan kakiku. Kutengok wajahnya, kini ia melemparkan senyum. Senyuman terpahit yang pernah kulihat seumur hidupku. ”Maaf jika aku belum bisa menjadi kekasih yang baik. Meski kubilang kau boleh bermanja, tapi tetap saja itu hanya jadi omong kosong, ya?”

Detik berikutnya Lya sudah menggunakan kakinya untuk lari pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa mematung tanpa sempat meraih tangannya untuk mencegahnya pergi. Pikiranku kalut.

Saat itu, kalimat Leo kembali menghantui. Aku bisa melihat ulang jelas dalam benakku—Ketika ia mengatakan hal sombong sambil menunjuk lehernya sendiri, gerak-gerik yang kuabaikan karena aku tidak dapat mengerti kini seakan terjawab.

“Hubungan kami lebih dari sekadar itu,”

”Setidaknya aku tahu hal yang akan sulit kau runtuhkan dari Lya.”

Suara itu terus menggema, menekan setiap sudut ruang di kepalaku. Napasku tercekat. Langkah Lya yang menjauh seakan hanya menjadi latar, kalah oleh denyut rasa sakit di dadaku sendiri. Pandanganku mulai kabur, basah, hingga akhirnya butir demi butir air mata lolos tanpa bisa kucegah.

Aku mencengkeram dadaku—keras, seolah ingin menahan sesuatu yang nyaris pecah dari dalam. Tangan lain mengusap kasar wajahku, namun semakin kuhapus, semakin deras air mata itu mengalir.

Aku berdiri di tengah-tengah ketidaktahuan; kaki seakan tertanam, hati dililit rasa bersalah. Bersalah karena terlalu mendesaknya. Bodoh karena membiarkan egoku menguasai. Dan di antara semua itu, penyesalan paling menusuk: hari ketika Lya terbaring demam, aku justru memilih pergi meski seharusnya aku memperlakukannya dengan baik, menjaga suasana di antara kita tetap baik.

Wajahmu hari itu—pucat memerah, basah oleh keringat—menghantamku seperti hantaman batu. Kilatan itu menyalakan kembali memori saat tanganmu bergetar hendak meraihku, tapi aku justru membiarkannya jatuh tak tergapai. Sesak. Dada ini seperti ditusuk dari dalam.

Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Lya. Aku hanya memaksa, mendesak, memaksa lagi—hingga kuabaikan ketidak nyamanan yang terkadang terlempar spontan darimu. Mungkin yang kucoba bongkar adalah luka yang kau simpan sebagai pelindungmu sendiri. Dan aku yang terlalu buta untuk mengerti.

Aku tidak tahu.

Tidak tahu sama sekali.

Maafkan aku, Lya.

***

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menemui Lya di saat obrolan terakhir kami jauh dari kata baik-baik saja mungkin hal bodoh, tapi tanpa sadar kakiku sudah melangkah ke tempat Lya tinggal. Aku masih tidak tahu apa yang ingin kukatakan setelah dapat menemuinya. Mungkin saja justru kami tidak akan bertemu. Bisa saja Lya akan menolak untuk membukakan pintunya untukku dan menyuruh pergi dari balik pintunya itu. Atau dia tidak sedang berada di tempatnya. Kemungkinan terburuk, dia berpura-pura tidak di dalam, sengaja mengabaikan panggilanku karena merasa muak.

Namun, jika saja pintu terbuka, mungkin kepalaku yang justru kosong. Aku bahkan tidak tahu wajah seperti apa yang akan Lya buat ketika melihatku lagi. Tidak ada terbayang. Marah, sedih, kecewa. Tidak ada dari semua itu yang terlintas.

”Untuk apa kamu kemari?” Suara itu memecahkan kebimbanganku. Aku menoleh dan mendapati Leo yang seperti baru melangkah pergi dari kamar Lya. Meski tidak ingin kukatakan, tapi sosoknya lah yang saat ini sangat kubutuhkan untuk mencari sedikit jawaban atas semua misteri Lya. Terutama perban yang kulihat tanpa sengaja terlilit di lehernya tadi.

”Leo! Kumohon beritahu aku sesuatu!” seruku spontan. Aku sudah akan bingung jika Leo juga memilih mengabaikanku, tapi diluar dugaan dia meresponku. Meski dengan tatapan yang seperti biasa menusuk.

”Apa? Sekarang kau sadar sudah menyusahkan Lya?” responnya sinis. Aku tidak bisa meladeni itu sekarang.

”Tadi... saat aku mencoba menanyakan keadaan Lya, aku tidak sengaja melihat sesuatu di lehernya... ada perban... apa dia terluka atau semacamnya?” tanyaku sempat merasa ragu akan mendapat jawaban dari Leo.

”Kenapa kau menanyakan itu padaku?”

”Karena kau teman masa kecilnya! Dan kau tadi baru saja menjenguknya, kan? Kau pasti tahu sesuatu! Kalian tumbuh besar bersama! Kau penting baginya! Itu yang dia katakan padaku!”

Leo tampak menyeringai mendengar semua pengakuan frustasi yang keluar dari mulutku. Aku kesal melihatnya yang merasa menang itu, tapi saat ini aku tidak punya pilihan lain. Setidaknya untuk mendapatkan jawaban terkait kondisi Lya. Aku ingin tahu apakah Lya baik-baik saja atau tidak—

”Lya... Dia melukai lehernya sendiri. Dia dulu sering melakukannya."

Napasku tercekat, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram leherku. Udara tak lagi masuk, dadaku mendesak nyeri.

Telingaku langsung berdenging, memutus semua suara di sekitarku. Dunia mendadak jauh—detik jam, bahkan detak jantungku sendiri seakan tidak nyata, hanya suara Leo yang terus menusuk gendang telinga ini.

Baru kalimat yang cukup singkat itu terlontar, namun seakan cukup untuk merobohkan seluruh dunia kakiku berpijak. Membuatku semakin tersadar betapa sedikit yang kuketahui tentang Lya. Membuatku ngeri memikirkan betapa dekat ia pernah dengan jurang yang tak pernah kubayangkan.

”Aku tidak akan menceritakan detailnya. Hanya satu yang ingin kuberitahu... Lya yang sebelumnya lebih terkontrol sekarang kembali kacau seperti ini, itu semua karena  dirimu, apa kau tahu?”

Kalimat selanjutnya dari Leo semakin menghantam hatiku keras. Wajahku menegang. Dapat kurasakan detak ini mengganas seperti mau pecah.

”Dia bercerita dengan riang gembiranya, mengatakan perkataan bodoh kalau dia telah menemukan orang yang dia suka. Ingin menyayangi orang itu sepenuh hati dan memanjakannya. Menjaganya lebih dari dia menjaga dirinya sendiri. Sangat bodoh. Membuatku mual.”

“Justru orang yang paling ia gadang-gadangkan untuk ia jaga, malah yang menghancurkannya,” ucap Leo, suaranya dingin, menusuk. “Orang itu seperti bumerang—memukul balik sangat keras pada emosi Lya. Egois. Hanya sibuk dengan perasaan sendiri, tanpa pernah benar-benar mau menghormati batasan orang lain. Sudah kubilang, kan sifatmu yang seperti itu hanya akan menyusahkannya? Inilah yang kumaksud...”

Setiap kata meluncur seperti anak panah. Hujanan sindiran Leo tak memberi ruang untukku bernafas. Tatapannya mantap, tak sedikit pun berkedip, seolah sengaja menancapkan luka itu lebih dalam. Aku terdiam, membeku. Kata-katanya terlalu tepat sasaran, membuat dadaku seperti diremas.

***

Aku tidak tahu bagaimana obrolanku dengan Leo berakhir. Kesadaranku seperti terputus, dan saat kembali tersadar, aku sudah berdiri di depan kamar Lya. Tangan ini refleks mengetuk pintu, disertai harapan besar agar pintu itu benar-benar terbuka.

Dan untung saja, harapanku terkabul. Pintu itu bergeser, menampilkan sosok Lya—sosok yang seketika membuat hatiku diliputi damai, damai yang tak sanggup kuuraikan dengan kata-kata. Kulihat lehernya masih seperti biasa. Penuh pertahanan. Tertutupi kerah yang tinggi dengan sempurna. Tempat ia menyimpan banyak luka di sana.

“Lya…” panggilku lirih, suara itu bergetar pelan. Setelah damai singkat yang kurasakan saat melihatnya, kesedihan segera menyusul, menyelusup tanpa ampun.

Beberapa menit lalu, sebelum berbicara dengan Leo, kepalaku benar-benar kosong. Tidak ada satu pun kalimat yang terlintas—merasa tidak ada kata yang cukup untuk memperbaiki hubungan kami.

Namun kini, ketika pintu itu terbuka dan sosoknya terpampang di hadapanku, sesuatu berubah. Tatapanku jatuh dalam padanya, dan dari semua kalimat yang bisa kupikirkan, hanya satu kalimat yang mungkin akan membuat semua lebih baik. Hanya saja, kalimat itu terasa terlalu berat untuk keluar dari mulutku. Berat hingga menyesakkan dada, cukup untuk kembali memaksa air mata jatuh membasahi wajahku.

Namun justru karena itu—karena air mata yang pecah tanpa bisa kutahan—sesuatu yang sejak tadi mencekik tenggorokanku perlahan terlepas. Seakan beban itu larut bersama tiap tetes yang jatuh, memberi celah bagi suaraku untuk akhirnya terdengar.

Bersamaan dengan langit yang entah sejak kapan mulai bergemuruh, awan yang menumpuk sehingga tampak berat, di saat itulah hujan mulai membasahi permukaan tanah. Seakan alam pun tahu ada sesuatu yang tak lagi bisa dipertahankan.

Aku terus menatapnya, menahan perih yang kian mendesak. Kata-kata itu begitu berat, tapi tetap harus kuucapkan.

“Lya… Ayo sudahi hubungan kita.” Hujan kian deras, menenggelamkan suaraku yang parau, sekaligus menutup jeda di antara kami. Tak ada lagi yang tersisa selain keheningan yang penuh luka untukku.

Wajah Lya tidak bisa kujelaskan, yang pasti pupilnya tampak melebar sesaat. Setelah itu, ia menunduk. Menggaruk belakang lehernya yang segera kucegah. ”Aku bukan orang yang pantas untuk menerima perhatian darimu... maafkan aku karena sudah mendesakmu sampai di titik ini,” ujarku lagi sebelum akhirnya kulepaskan sentuhan terakhir itu dan berbalik membelakanginya, hendak melangkah pergi.

”Ben!” panggilnya tidak kutoleh. ”Ben... Bisakah kau menghadap kemari sebentar?” pinta Lya. Mungkin bisa dibilang permintaan pertama yang kudengar darinya. Tanpa pikir panjang aku menoleh kembali padanya. Air mataku semakin deras, bisa kubayangkan betapa jeleknya wajahku saat ini.

Bibir Lya sempat terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun segera diurungkannya. Ragu membayang di wajahnya, tatapannya bingung—dan itu saja sudah cukup menanamkan satu lagi rasa bersalah di hatiku yang sejak tadi tak berhenti sesak.

“Jangan dipaksakan, Lya,” ucapku pelan, mencegahnya sebelum ia sempat bersuara. Air mata sudah membanjiri wajahku, tapi aku tetap berusaha menyunggingkan senyum, meski getir dan rapuh. “Aku tidak ingin membuatmu semakin bingung menghadapiku. Terima kasih… karena sudah menerimaku sebagai pacarmu, meski hanya sebentar.”

Setelah kata-kata itu, aku benar-benar pergi. Langkahku berubah menjadi lari, menerobos derasnya hujan yang segera meresap ke seluruh tubuhku. Namun justru karena itu, aku merasa sedikit beruntung. Air mata ini tersamar oleh derasnya hujan, menyatu bersama tetesan yang membanjiri bumi.

Aku bersyukur hujan turun di saat seperti ini—deras, dengan suara yang memenuhi dunia. Menenggelamkan tangisku yang pecah tanpa bisa lagi kutahan.

Hari ini, sekali lagi, kuukir kisah cintaku yang berakhir terlalu cepat. Berakhir dengan cara yang menyedihkan, ditingkahi rasa bersalah yang menumpuk hingga nyaris menenggelamkanku.

Sejak awal, mungkinkah cinta memang bukan untukku? Untukku yang selalu gagal menghargainya, yang tak pernah benar-benar tahu cara menjaganya? Atau rasa sedih yang begitu besar tidak terkontrol ini adalah hukuman karena sering kali menyakiti dan mempermainkan perasaan orang lain sebelumnya?

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!