Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Begitu sampai di rumah, Moira menutup pintu dengan gemetar. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar seperti kehilangan kendali. Tiba-tiba rasa nyeri menusuk kepalanya — kepingan-kepingan memori yang selama ini terkunci meledak keluar, menyerbu tanpa ampun.
Bayangan gelap berkelebat di benaknya.
Suara pintu yang dipaksa terkunci.
Teriakan yang tercekat dalam kegelapan.
Wajah seorang pria dengan tatapan buas — Jackson.
Moira menjerit, kedua tangan menggenggam kepalanya seolah ingin menyingkirkan ingatan itu. Tapi sudah terlambat kenangan itu menelan dirinya. Tubuhnya runtuh ke lantai. Air mata mengalir, napasnya tersengal. Ia ingin berbicara, tetapi suaranya tercekat — hanya ada tatapan kosong dan rasa sakit yang tak terkatakan.
Lalu — hening.
“Bangsat… jadi lo hampir nyakitin Moira malam itu? Lo nyoba memperko-sa, lo kasarin Moira?” suaranya mendesis.
“Gue tahu sekarang kenapa Moira ‘mati’. Itu karena lo, Jackson.” Dia menghela napas panjang, suaranya berubah jadi janji yang dingin. “Gue akan balas. Siapa pun yang sudah buat Moira hancur, akan gue bayat lunas. Terutama lo.”
Matanya bergerak sejenak, penuh perhitungan. “Tapi gue harus hati-hati… sama Arland entah dia musuh atau kawan.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, langit mendung. Dua sosok berkeliaran di parkiran belakang hotel tempat Jackson nongkrong.
Kiko dan Danu — duo paling tidak bisa diandalkan tapi nekat sejagat raya.
Kiko berbisik pelan, “Bro, kita harus diem, gak boleh bikin suara sekecil apa pun, ngerti?”
Danu ngangguk serius. “Siap, Komandan.”
Mereka berjongkok di balik tumpukan tong sampah besar. Danu nyalain kamera kecil.
Kiko ngintip pelan ke arah mobil Jackson.
“Bro, liat tuh, dia nongol…”
“Ssst, jangan berisik! Ini momen penting,” bisik Danu, sambil ngatur fokus kamera.
Tiba-tiba—
PPPPREEEEEETTTTTTTEEEKKKK…PREEETT!!
Suara kentut panjang dan lantang memecah keheningan.
Danu langsung melotot kaget. “BROOOO!!!”
Kiko panik, matanya membesar. “Sumpah bukan sengaja, bro! Gue kaget liat muka Jackson, perut langsung refleks!!”
Udara sekitar langsung diserang aroma kematian.
Bukan bau telur busuk, bukan juga kotoran biasa — tapi bau kayak tong sampah yang udah dijemur seminggu campur durian busuk.
“ANJIRRRRR BAU BANGET, KIKO!!!” Danu langsung nutup hidung sambil muntah-muntah kecil.
“Gue sumpah gak kuat, ini kayak hidung gue diseruduk truk TPA!!!”
Jackson yang lagi jalan tiba-tiba berhenti.
Dia noleh ke arah tong sampah sambil nyipit, “Siapa di sana?!”
Kiko dan Danu langsung beku.
Danu buru-buru berbisik, “Bro, jangan gerak!”
Tapi Kiko malah tanpa ngerasa bersalah… terus nambah satu kentut lagi.
PREEEEEETTTTTTT!!
Kali ini kecil, tapi lebih pekat.
“BROOOO KENAPA DIULANG?!?!”
“Refleks, sumpah! Gue tegang!!!”
Jackson makin curiga. Dia jalan makin dekat.
Danu panik, langsung nyari alasan, “Ko, pura-pura jadi kucing aja, cepet!”
Kiko langsung “MEOW\~ MEOW\~” dengan nada fals kayak kucing pilek.
Jackson berhenti, ngerasa aneh.
“…Kucing kok baunya kayak tempat pembuangan sampah?”
Jackson akhirnya geleng kepala dan pergi.
Begitu dia menjauh, Danu langsung nendang pantat Kiko pelan.
“Kentut lo bisa jadi senjata musuh, Ko! Kentut lo yang bau neraka, tadi nyelametin kita!”
“Serius?”
“Iya, Jackson kabur gara-gara bau lo!”
Kiko langsung bangga, “Wah, berarti ini… kekuatan alami, bro.”
“Lain kali kalau mau kentut bilang dulu… mana bau banget lagi..”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Lo abis dari mana, Tha?” tanya Moira begitu Gentha masuk, matanya waspada.
“Dari rumah,” jawab Gentha singkat, berusaha terdengar biasa.
Moira menatapnya, lalu melanjutkan, “Sejak kemarin gue nggak lihat Razka. Dia ke mana? Kabur ya?”
Gentha mengangkat bahu. “Razka ada di gudang—gue sekap dia,” jawabnya kaku.
“Hah? Lo nyekap Razka? Kenapa lo nggak bilang ke kita? Kenapa lo main sendiri?!” Moira mendongak, suaranya memuncak marah. Semua langsung menoleh ke arahnya.
Gentha menunduk, napasnya berat. “Gue udah muak sama kelakuan Razka. Gue hampir bunuh dia. Untungnya—” dia berhenti sejenak, matanya meredup, “—untungnya ada yang nahan gue.”
Moira menatap tajam. “Siapa yang nahan lo, Tha?”
Gentha mengangkat dagu, suaranya jadi dingin dan datar. “Niklaus. Dia yang akhirnya ngebuat gue mundur. Dia pengen lo yang bunuh Razka—karena Razka yang udah bunuh lo.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam menelan seluruh kota dalam keheningan. Langit hitam pekat tanpa bintang, hanya ada cahaya rembulan yang menembus tipis awan kelabu. Mobil Gentha berhenti di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota, tempat segala rahasia kelam dikubur dalam sunyi.
“Dia di dalam,” ujar Gentha datar, mematikan mesin mobil.
Suara mesin yang padam membuat suasana terasa semakin sunyi dan menegangkan.
Moira mengangguk perlahan. “Lo yakin dia nggak kabur?”
“Kalau kabur, dia udah mati duluan,” jawab Gentha dingin, membuka pintu mobil.
Mereka berdua berjalan menyusuri halaman gudang yang penuh serpihan kaca dan rumput liar. Angin malam berdesir membawa aroma karat dan besi tua. Setiap langkah terasa berat, seakan udara di sekitar ikut menahan napas.
Begitu pintu gudang dibuka, bau apek dan lembap langsung menyeruak. Lampu gantung tua berayun pelan, menebar cahaya redup kekuningan di atas lantai beton berdebu.
Di tengah ruangan, Razka duduk di kursi logam dengan tangan terikat rantai. Wajahnya penuh luka dan lebam, tapi matanya masih menyala dengan arogan khas dirinya. Dia mengangkat kepalanya sedikit, melihat dua siluet yang masuk.
“Wah… akhirnya muncul juga,” ucapnya serak, namun sinis.
Moira berdiri diam. Tatapannya tajam, tapi dingin. Setiap detik yang ia habiskan untuk menatap Razka terasa seperti ribuan duri menembus jantungnya.
Ia tahu… pria inilah yang pernah mengakhiri hidup Hanabi — dirinya yang dulu. Tapi Razka belum tahu siapa yang kini berdiri di hadapannya.
“Lo nggak punya alasan buat nyekap gue, Tha. Gue nggak ngapa-ngapain lo!” Razka berusaha tertawa, meski darah kering masih melekat di sudut bibirnya.
“Ngga ngapa-ngapain?” Gentha membalas dengan suara rendah namun menggertak. “Lo bakar keluarga gue hidup-hidup. Lo pikir gue nggak bakal tahu?”
“Gue cuma disuruh, anjing!” Razka balas berteriak, urat lehernya menegang. “Gue bahkan nggak tahu mereka keluarga lo! Gue cuma nurut sama orang yang bayar gue!”
Moira melangkah maju pelan. Suaranya lembut, tapi ada racun di balik setiap katanya.
“Dan lo juga nurut waktu nyelipin racun di minuman seseorang, kan?”
Razka menoleh, alisnya berkerut. “Apa maksud lo?”
Moira menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa ekspresi. Tapi di matanya, ada bara dendam yang perlahan menyala.
“Seorang gadis… yang lo bilang cuma ‘masalah kecil’. Lo racunin dia. Lo kira dia mati begitu aja tanpa tahu siapa dalangnya.”
Razka terdiam sesaat. Lalu senyumnya muncul perlahan. “Gadis itu? Hanabi?”
Gentha menatapnya tajam. Tapi Moira menatap lebih dalam — seperti menelanjangi jiwanya sendiri.
Razka tertawa kecil, meski suaranya parau. “Oh, jadi ini soal dia? Hanabi… cewek itu lemah. Dia cuma penghalang kecil waktu itu. Lagian, gue cuma nyelipin racun dikit. Gue nggak nyangka dia bakal mati secepat itu.”
Suara Moira gemetar menahan amarah. “Lo bahkan inget semuanya.”
“Ya jelas. Susah dilupain, soalnya dia sempet liat muka gue sebelum pingsan.”
Razka tertawa lagi, bangga pada dosa lamanya.
Gentha langsung maju dan menarik kerah Razka, menghantamkan kepalanya ke dinding.
BRAKK!
Darah segar memercik dari bibir Razka.
“Mulut lo haram dibuka buat sebut nama itu!” raung Gentha.
Tapi Moira menahan lengannya. “Biarin, Tha.”
Moira berjongkok di depan Razka, menatapnya sejajar. Suaranya menurun, nyaris seperti bisikan setan di telinga.
“Dan lo tau yang paling ironis, Razka?” katanya pelan. “Cewek yang lo racunin waktu itu… masih hidup.”
Wajah Razka menegang. Matanya menatap Moira lebih dalam, mencari sesuatu yang familiar.
“Nggak mungkin…”
Moira tersenyum tipis — senyum yang sama seperti Hanabi dulu, tapi kali ini diselimuti dingin dan kebencian.
“Nggak mungkin? Lo harusnya tahu… keajaiban dan neraka itu tipis bedanya, Razka.”
Razka perlahan mundur di kursinya, wajahnya pucat.
“Lo… siapa lo sebenarnya?”
Moira menatapnya tajam, pupil matanya memantulkan bayangan api yang dulu membakar dirinya.
“Nama gue Moira,” katanya pelan.
“Tapi buat lo, gue… adalah hantu masa lalu yang datang buat nuntut balas.”
Dan saat kalimat itu keluar, suara rantai bergemerincing keras — diiringi senyum dingin Gentha yang menatap Razka seperti menatap mayat hidup.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/