Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Lipstik Merah
Amara mengetuk-ngetukkan pulpennya ke atas meja, matanya menatap lama pada layar laptop.
“Mulai jam dua dini hari,” gumamnya kecil.
Ia lalu memundurkan rekaman pada layar laptopnya, membuka sebuah buku note hitam di atas meja.
"Catatan kematian korban adalah tiga lewat lima belas dini hari", sembari memastikan catatan pada buku note dari investigasi kemarin.
Ia menatap perlahan setiap detik yang terpampang pada rekaman itu. Rekamannya buram tapi, masih cukup untuk tahu siapa yang datang dan pergi.
Pada pukul 02.07 WIB, terlihat seorang pria dengan kaos lusuh abu-abu memasuki Dermaga Lama. Sambil menghisap rokoknya dia mencoba menelpon seseorang dengan ponselnya.
Amara tersentak. Mereka tidak menemukan ponsel itu di TKP. "Apa pelaku berusaha menghilangkan barang bukti?!"
Ia melanjutkan penelusurannya pada rekaman itu.
Pada pukul 02.22 WIB, sebuah Honda Accord berwarna hitam berhenti di depan gerbang Dermaga Lama. Tidak terpasang plat pada mobil itu dan kacanya begitu pekat untuk bisa ditembus pandangan.
Seorang wanita turun lalu, melambai pada pengemudi di dalam mobil. Tubuhnya tinggi semampai, lipstik merah terlihat jelas pada wajahnya yang putih. Ia menggunakan Bodycon Dress berwarna merah senada dengan lipstik di bibirnya. Wanita itu pun melanjutkan langkahnya memasuki Dermaga.
Rekaman menunjukkan pukul 02.37 WIB, pengemudi turun dari mobil, menyusul masuk ke Dermaga Lama. Badannya kurus, menggunakan jaket hitam dan topi berwarna biru tua yang menutupi wajahnya. Dia berjalan masuk menuju Dermaga lama dengan membawa sebuah tas ransel hitam begaris abu muda.
Tak lama, kedua wanita dan pria itu kembali ke mobil mereka. Pada rekaman terlihat waktu menunjukkan 04.02 WIB. Mereka langsung meninggalkan Dermaga Lama itu tepat pukul 04.03 WIB.
Amara menegakkan tubuhnya, "Mereka pelakunya!"
Telpon seluler Amara bergetar di atas meja, IPDA Raditya. Amara menekan tombol jawab pada telponnya.
"IPTU Amara, Hasil otopsi dan hasil uji forensik sudah keluar! " suara berat IPDA Raditya terdengar dari balik telpon.
"Iya, saya akan segera ke sana." Amara menutup telponnya.
Ia berdiri mengambil jaketnya yang tergeletak di meja. Matanya menatap sekilas rekaman yang masih berjalan. Dalam rekaman terlihat sesosok pria tinggi dengan helm hitam full face mengendarai Kawasaki Ninja 250 keluar dari Dermaga. Ia terduduk kembali, memutar ulang rekaman yang mungkin terlewat.
Terlihat di waktu 04.35 WIB sebuah motor Kawasaki Ninja 250 memasuki Dermaga lalu 15 menit kemudian ia keluar dan pergi meninggalkan Dermaga. Kedua alis Amara hampir bertemu, matanya menyipit mencoba mencari jawabnya.
"Inikah suara motor besar yang dikatakan nelayan itu? Dia tidak salah menebak! Tapi buat apa orang seperti itu di Dermaga Lama?" Pikiran Amara melayang, mencoba mencari jawaban.
Telpon selularnya bergetar, pesan bergambar masuk. Itu adalah hasil laporan otopsi mayat.
"Ah yang penting dia tidak terkait, " Amara menutup laptopnya, memasukkannya ke dalam tas bersama buku note hitam miliknya dan meninggalkan ruangan itu menuju Polsek.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amara berdiri tegak di samping meja, matanya menatap lurus. Jaket hitamnya masih melekat pada tubuhnya, sementara kedua tangannya sedang bersembunyi dalam kantong jaketnya. Raditya ada di sebelahnya, diam, kedua tangannya terlipat di dada.
Dokter Rendra, seorang dokter forensik yang berusia sekitar empat puluh tahun memasang wajah serius. Dokter itu menatap lembar hasil laboratorium yang baru saja dicetak, lalu menyerahkannya pada Amara dan Raditya.
“Korban, laki-laki, usia tiga puluh lima tahun. Tidak ada tanda kekerasan fisik eksternal. Tidak ada memar, jeratan, atau luka tusuk. Namun, kami menemukan satu bekas suntikan segar di lengan kiri bagian dalam.” Ia menunjuk foto close-up luka suntikan di lembaran laporan. “Jarum masuk lurus dan bersih. Tidak ada tanda perlawanan di jaringan sekitar, yang artinya korban tidak bergerak ketika disuntik. Ia sudah tidak berdaya.”
Amara mengernyit. “Dilumpuhkan lebih dulu?”
Dokter Rendra mengangguk perlahan. Ia membuka lembar toksikologi. “Zat utama yang kami temukan di dalam cairan lambung korban adalah Gamma-Hydroxybutyrate (GHB), juga metabolit benzodiazepine dalam dosis yang rendah. Bisa jadi ini adalah cara korban dilumpuhkan sementara. Keduanya merupakan zat depresan sistem saraf pusat. Efeknya korban akan mengalami kelumpuhan motorik sementara, penurunan kesadaran, dan hilang kendali tubuh."
Raditya mengernyit. “Tapi bagaimana bisa masuk tanpa ada bekas suntikan lain? Bukannya pada hasil toksikologi sisa minuman keras sekitar korban juga tidak ditemukan zat ini?"
Dokter Rendra menunjuk hasil analisis lambung. “Ada sisa cangkang gelatin yang sudah larut. Bentuknya menyerupai kapsul tipis berisi cairan. Artinya, korban menelan obat ini. Bukan injeksi, bukan inhalasi tapi, oral. Dalam sepuluh sampai lima belas menit, tubuhnya akan lumpuh total.”
Suasana hening sejenak. Amara merasakan nuansa ruangan yang terasa berat.
Dokter menunjuk hasil uji air liur.“Dan ini cukup menarik! Dalam rongga mulut korban, kami mendeteksi residu GHB dengan pH dan konsentrasi yang tidak konsisten seperti bila dikonsumsi melalui minuman. Pola distribusinya menunjukkan cairan itu dimasukkan secara bertahap lewat kontak oral. Dengan kata lain… korban kemungkinan besar mendapatkan zat itu melalui interaksi mulut-ke-mulut.”
Amara menatap lembar hasil itu lama. “Ciuman…” bisiknya.
Dokter mengangguk pelan.“Ya. Itu juga menjelaskan kenapa hanya korban yang terkena efeknya. Jika pelaku wanita menahan larutan GHB di mulutnya dan kemudian mentransfernya pada korban, dia bisa menghindari menelan dosis penuh. Efek zat ini sangat bergantung pada jumlah yang tertelan. Sedikit sisa yang mungkin ikut tertelan oleh pelaku hanya menimbulkan rasa kantuk ringan, tidak berbahaya.”
Dokter Rendra melanjutkan. “Kami juga menemukan kadar opiata sintetis dalam darahnya, sekitar tiga kali lipat dosis mematikan. Itulah yang benar-benar menghentikan jantungnya.” Ia meletakkan foto hasil laboratorium di atas meja, terlihat grafik angka-angka yang menukik tajam tergambar pada laporannya.
Raditya menyandarkan tubuhnya pada dinding. “Jadi wanita itu memanfaatkan kontak intim untuk memasukkan obat bius? Saat korban sudah lumpuh, mereka lalu menyuntikkan narkotika agar terlihat seperti OD…”
Amara menatap dokter Rendra pikirannya berputar cepat.“Dan karena tidak ada tanda kekerasan fisik di tubuh korban, cara ini akan tampak alami. Tidak akan terdeteksi tanpa analisa toksikologi mendetail.”
Dokter Rendra lalu mengambil plastik bukti, berisi sebatang puntung rokok. “Mengenai ini… filter rokok menunjukkan campuran DNA dua orang. Pertama, korban. Kedua, seorang perempuan. Dari urutannya, bisa digambarkan bahwa korban menghisap lebih dulu, lalu si perempuan. Tidak ada zat berbahaya pada rokok. Rokok hanya bukti interaksi.”
Raditya menunduk, wajahnya menegang. “ini berarti korban dan perempuan itu punya hubungan spesial.”
Dokter Rendra menutup map dengan bunyi pelan, seolah menegaskan akhir dari kesimpulan. “Kesimpulan medis dari saya, korban mati bukan karena overdosis biasa. Ini adalah pembunuhan yang sangat terencana.”
Amara berbisik pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kita harus menemukan wanita itu.”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....