“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 25
“Hah? Fakta gila apalagi ini?!” Laila langsung menoleh, menatap penuh kecurigaan. “Mbah tak bermaksud menumbalkan saya kepada mereka ‘kan?”
Mbah Patmi tersenyum lembut, berusaha bersabar menghadapi wanita cantik yang sayangnya memiliki sifat dan karakter ajaib, terkadang sulit ditebak. “Laila, coba kau pikir – kalau sampai salah satu dari mereka mengetahui bila dirimu masih perawan, dan weton aslimu, apa para pemuja iblis itu tetap tinggal diam?”
Lemas sudah badan Laila, dia memilih duduk di lantai batu, bersandar pada dinding di bawah obor. “Kadang aku heran, mengapa diri ini yang diwariskan ilmu hitam dan indera keenam. Aku penakut, ceroboh, lebih suka bertindak duluan baru memikirkan, senangnya memancing bahaya. Mengapa tidak Mas Haidar saja cobak?”
“Kalau semua diborong abang mu, kau dapat apanya? Dengan karakter aneh, sering seperti orang tak waras, saya yakin – umurmu takkan panjang bila tak memiliki keistimewaan itu!” sarkas Pramudya. Pada akhirnya dia tidak tahan untuk tidak menanggapi gadis layaknya gembel ini.
“Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan kalau saya bodoh, iya?!” Ia menegakkan punggung, tak jadi bersandar, memilih panggilan formal.
“Kurang lebih seperti itu!” Pram mengedikkan bahunya.
Laila tersenyum miring, dia memiliki caranya sendiri untuk membalas. Mengerem kata hatinya agar tidak terdeteksi.
"Sudah berapa lama Nilam meninggal, Mbah?" dia baru ingat belum menanyakan hal penting ini.
"Tiga tahun lalu, dan menunggu dua malam satu suro lagi, yang berarti dua tahun lagi, baru hilang kekuatan magisnya."
“Bagaimana caranya penitipan jiwa Nilam ke raga saya, Mbah?” tanyanya kemudian seraya menggoyang-goyangkan kaki seirama.
“Sebelum ritual itu dilakukan, kau harus lebih dulu membebaskan jasad para korban kebiadaban Karsa dan lainnya,” tutur Mbah Patmi.
“Caranya? Bukankah seharusnya mereka tinggal tulang belulang?”
“Ya kau benar, Laila. Kerangka mereka berada di suatu tempat gelap, terperangkap paku dan lilitan jimat – agar tak bisa menghantui pelaku,” beritahu Mbah Patmi, dia duduk di meja yang tadi tempat Laila berbaring.
Laila langsung memandang lebih dari lima arwah berdiri diam seraya menatap sendu dirinya. “Dimana kerangka kalian? Coba katakan! Tapi bila tempatnya susah dijangkau, tolong tahan dulu. Sebab saat ini kepalaku sudah penuh dengan pemikiran berat. Takutnya malah berakhir gila.”
Kemudian dia terkikik geli kala melihat salah satu dari arwah itu menangis darah. “Aku cuma bercanda. Tenang saja! Mau ke neraka pun akan ku datangi. Kalian lihat Jin Kampret tak guna itu!”
Sang Jin menatap pasrah majikannya, dia masih dalam belenggu rantai bercahaya biru.
“Nanti kita tumbalkan dia! Percuma jadi pelindung, tapi tak berguna! Harus diriku nyaris tewas dulu baru pertolongan itu datang,” cibirnya kesal.
Sejenak Laila terdiam, lalu sorot matanya tiba-tiba tajam, menatap lekat remaja laki-laki yang sebelumnya pernah masuk ke mimpinya.
“Kak Ida! Bang Santo! Keluar kalian!” teriaknya, kakinya sudah bersila. Menggunakan keistimewaan nya, dia dapat mengendus keberadaan tetangganya yang sudah ia ketahui sedari tadi.
Ida dan suaminya keluar dari balik batu tempat peti kaca. Wanita bertubuh subur itu memandang sekilas ruh remaja berwajah pucat pasi, penuh luka.
"Apa dia adikmu, Kak Ida?” Laila menunjuk remaja laki-laki yang dia perkiraan berumur 13 belas tahun.
“Iya. Ajiz namanya – dia jadi pengembala Kambing juragan Suryo. Kala itu kami tak tahu kalau Jahanam itu memuja Iblis. Dikarenakan di dalam rumah yang terletak di desa sebelah, sama sekali tak ada yang mencurigakan,” jelas Ida, matanya berkaca-kaca.
“Sudah berapa lama kejadian itu, Kak?” tanya Laila prihatin.
“Sepuluh tahun lalu, saat aku berumur 16 tahu. Belum bekerja dengan juragan Pram. Ajiz di culik ketika menggembala Kambing, sampai sekarang kami tak tahu di mana jasadnya. Aku mengetahui kalau dia telah tiada baru lima tahun lalu, saat baru bekerja dengan juragan Pram dan Mbah Patmi.” Ida tergugu, dia ikutan duduk di lantai seraya menatap sang adik.
"Mbah, apa tak mengapa jika Ajiz merasuki pikiranku, agar dia bisa memberi petunjuk?” dia takut kalau hal itu menyakiti sang arwah.
"Itulah sebabnya kami memancing mu ke sini, Laila. Selama mereka di dekat Nilam, maka akan aman. Kecuali saat malam Jumat Kliwon – Suryo memanggil mereka untuk menakuti orang yang dikehendaki agar tunduk kepadanya. Dengan cara rendaman rambut dan seruas tulang rusuk para korban.”
Hah!
Laila menjerit terkejut. “Ini tak ada dalam pengelihatan ku,” ucapnya dengan rona wajah langsung pias.
“Karena kau penakut akut. Baru melihat potongan adegan belum ada separuhnya sudah langsung menyerah,” sindir Pram.
“Benar juga.” Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kali ini menerima kata-kata tajam itu, karena dia memang se penakut itu. Terlebih memiliki rasa empati tinggi, jadi tidak tega.
Tanpa dipinta, kedua tangan Laila diletakkan di atas paha yang duduk bersila. Matanya tertutup, dan pikirannya dikosongkan. ‘Masuklah! Tunjukkan padaku di mana tempat itu Ajiz!’
Seperti pusara angin topan, ruh Ajiz terseret, memasuki alam bawah sadar Laila. Wanita itu memang sakti, dapat berkomunikasi dan juga mengendalikan para arwah.
.
.
Kilas balik
"J U R A G A N, ampun," itulah kata-kata terakhir kala jiwa masih bersemayam dalam raga. Setelahnya Ajiz tidak lagi bernapas, dibiarkan tergantung dengan kepala tepat di atas patung Hanoman.
"Sudah cukup!" ujar Suryo. Saat dilihatnya patung Hanoman sudah bermandikan kucuran darah adiknya Ida.
Tejo dan Iwan menurunkan jasad yang kulitnya mulai dingin, membaringkan di lantai.
Abdul mengulurkan gunting rumput, yang langsung diraih Tejo.
Kres, Kretek!
Bunyi kulit di gunting dan patahan satu ruas tulang rusuk terdengar. Kemudian bagian penting itu dimasukkan ke dalam toples kaca yang mana sudah ada helaian rambut Ajiz.
Iwan memasukkan batu ke dalam wadah besar, dan Tejo mengangkat jasad berbobot ringan, memasukkan ke dalam karung berwarna coklat.
Saat kepala Ajiz menyembul, dikarenakan remaja itu termasuk memiliki tinggi diatas rata-rata – Abdul menginjak batang leher agar karung bisa diikat.
Kembali terdengar suara tulang patah.
Tejo, Iwan – mengangkat karung tersebut. Mereka berjalan sekitar satu kilo meter, hingga tiba ditepi sungai berair keruh, dan tenang, memiliki kedalaman lebih dari 10 meter.
Karung berisi mayat Ajiz, diayun-ayunkan. "Satu, dua, Tiga!"
Byur!
Seketika pembungkus mayat korban tak bersalah itu langsung tenggelam, dikarenakan diberi pemberat batu besar.
Ha ha ha!
Suara tawa membahana, menyerukan rasa puas, kegembiraan akan keberhasilan persembahan untuk pertama kalinya.
Ya, Ajiz adalah korban pertama. Bukan menjadi satu-satunya, tapi salah satunya. Karena setelah itu, setiap empat bulan sekali – pada malam bulan purnama bertatapan dengan Jumat Kliwon, nyawa perawan maupun perjaka melayang. Demi kekebalan, kekayaan, kejayaan, dan kekuasaan.
.
.
"Badjingan!" Laila memaki, keringat dingin membasahi wajah dan leher, lidahnya getir dikarenakan terlalu lama dia menahan napas.
"Tolong bantu aku mempersiapkan alat menyelam! Secepatnya!"
.
.
Bersambung
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka