Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Satu minggu setelah drama melarikan diri. Maura tidak menyangka Dave akan benar-benar menyembunyikannya di tempat yang aman.
Ia tidak tahu sedang berada di mana, tetapi, kalau dilihat-lihat rumah itu bukan rumah pribadi karena tidak ada foto keluarga atau apa pun. Untuk sampai ke sana membutuhkan waktu berjam-jam. Mereka tiba hampir menjelang siang, dan ia yakin sedang berada di luar kota yang jauh dari peradaban. Pasalnya, tidak ada rumah lain selain rumah yang ia tempati.
Selama satu minggu ini Dave hanya datang satu kali, yaitu pada keesokan hari setelah mengantarnya. Itu juga hanya sebentar, membawakannya baju ganti dan bahan makanan. Pria itu juga memberinya ponsel dan sejumlah uang tunai.
Maura melenguh panjang. Bosan. Setelah pertemuan terakhir mereka, Dave tidak bisa dihubungi, ponselnya tidak aktif. Ia mendadak parno Dave kenapa-napa.
"Sebenarnya ke mana dia pergi?" monolognya, berdiri di depan pintu menatap jalan, berharap pria itu muncul di sana.
Dave berjanji akan sering menghubungi, tetapi sudah berhari-hari tidak ada kabar. Dia memang sedingin itu, tetapi tidak seharusnya bersikap seperti itu di situasi seperti ini, kan?
Maura menutup pintu, lalu berbaring di sofa ruang tamu. Memejamkan mata. Ia tidak menyangka akan berada di fase ini. Bibirnya tertarik tipis tanpa sadar, di dalam hati menertawakan nasibnya yang tidak pernah berjalan baik.
Ibunya meninggal karena sakit, ayahnya harus berjuang keras menyekolahkannya, dan yang paling sial, ia terjebak dalam obsesi bosnya yang gila.
"Tidak, tidak, sayang. Semua akan baik-baik saja selama kamu menurut."
"Saya akan mengabulkan apa pun yang kamu mau, kecuali kebebasan."
"Saya tidak bisa tidur sebelum mencium aromamu."
"Wangi tubuhmu seperti magnet, Saya tidak bisa melepaskannya."
"Jangan memanggilku 'pak'. Saya lebih suka gaya bicara yang sama seperti saat kamu berbicara dengan orang lain. Membuatku bergairah."
"Syutt.... Kamu bukan jalang atau simpanan, jangan pernah berpikir seperti itu. Kamu kucing peliharaan Marvel Hedwin Maverick."
Kalimat-kalimat dengan nada rendah memabukkan yang selalu berhasil membuatnya bertekuk lutut itu bersahutan di kepalanya. Maura membuka mata dengan napas memburu. Tidak bisa dipungkiri, ia takut pria itu menemukannya.
Beberapa menit terdiam menahan frustasi yang menggerogoti benaknya, suara mobil yang berhenti di halaman membuatnya tersadar. Ia segera bangkit dan berlari menuju pintu. Belum sempat membukanya, pintu sudah didorong dengan kasar.
Bersamaan dengan terbukanya pintu itu, seseorang jatuh tersungkur di hadapannya.
"Dave!" pekik Maura, terkejut melihat pria itu babak-belur dan merintih kesakitan.
Ia bersimpuh di samping Dave, matanya berkaca-kaca melihat darah yang sudah kering berlumuran di kemeja pria itu. "Ap-apa yang terjadi?" tanyanya tergagap. Tangannya bergetar menangkup wajah pria itu, memperhatikan dengan saksama. Tidak ada satu sisi wajahnya yang selamat.
Ketika akan membatu berdiri, tangan lemah Dave menepisnya. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya menatap lurus ke depan.
Mata Maura membelalak ketika matanya menangkap sosok Marvel berdiri di sana. Ia tidak ingin menangis, tetapi air matanya menetes; menggeleng kecil seraya memeluk Dave di pangkuannya. Mimpi buruk yang tidak ingin ia impikan berdiri di depan matanya.
"Kenapa, hem?" Marvel berjalan mendekat. "Kamu terkejut?" Ia berhenti di ambang pintu. Seringai serta sorot mata tajam itu membuat air mata Maura mengalir semakin deras.
"Maaf tentang kekasihmu ini. Aku hampir membunuhnya jika saja dia tidak segera memberi tahu keberadaanmu," ujar Marvel, ringan tanpa rasa bersalah dan berhasil mengoyak sisi kemanusiaan Maura.
Perlahan ia meletakkan kepala Dave ke lantai, lalu merangkak menghampiri Marvel, berlutut di bawah kaki pria itu. "Ma-maafkan saya. Maafkan saya!" ucapnya cepat. "Pak Marvel bisa melakukan semuanya pada saya, tapi jangan Dave atau siapa pun itu. Mereka tidak bersalah, saya yang pantas disalahkan," pintanya terisak, terlihat putus asa dan menyedihkan.
"Syut ...." Marvel meletakkan jari telunjuknya di bibir seraya menunduk meraih lengan Maura, membimbing tubuh bergetar itu untuk berdiri. "Jangan membelanya. Kalian sama-sama bersalah," bisiknya di telinga Maura.
Marvel menarik pinggang Maura semakin menempel padanya dan menghirup kuat-kuat aroma wanita itu. Aroma perselingkuhan dan penghianatan, membuatnya menggeram menahan diri agar tidak menerjangnya di depan orang kepercayaannya.
"Saya sudah menghajarnya. Lalu menurutmu, apa hukuman yang pantas untuk penghianat sepertimu?"
Maura menggeleng kecil, tubuhnya meremang dan semakin bergetar ketakutan. "Maafkan saya." Kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Kamu tahu, saya tidak pernah mengampuni penghianat."
"Maafkan saya," ucap Maura lagi.
"Kenapa saya harus melakukannya?" desis Marvel kemudian menarik lengan Maura, menyeretnya menuju mobil. Air mata wanita itu semakin mengalir deras, berusaha memberontak, tetapi Marvel enggan melepaskannya.
Ia terseok dengan sesekali menoleh ke belakang untuk melihat Dave yang sudah mulai bangkit. Matanya membelalak, ia berteriak histeris, "Dave! Dave!" raungnya ketika melihat dua pria bertubuh besar berjalan masuk ke dalam rumah. Mereka menutup pintu, menenggelamkan diri bersama Dave yang tidak berdaya.
"Apa yang akan kamu lakukan padanya?" tanya Maura, berteriak sambil memberontak berusaha melepaskan diri. Pria itu melepaskan cekalannya begitu saja hingga tubuh Maura terhempas ke dinding mobil. Ia meringis merasakan benturan di kepala.
Dada Maura bergerak naik turun seiring napasnya yang memburu, ia mengambil sikap waspada ketika Marvel maju satu langkah. Dua sudut bibir pria itu tertarik tinggi, membentuk lengkungan sempurna dengan sorot mata tajam, mengintimidasi. Ia melirik rumah di belakangnya sekilas.
"Apa yang akan kulakukan padanya?" Marvel mengulangi pertanyaan Maura, lalu tergelak seolah baru saja melontarkan lelucon.
"Tolong, tolong jangan sakiti dia, saya mohon. Saya yang bersalah, saya yang menyeretnya ke dalam lingkaran ini. Pak Marvel seharusnya menghukumku!"
"Tentu saja!" Marvel menatapnya lekat-lekat. "Kamu yang menggodanya dan berhasil menciumnya. Puas, berhasil menaklukannya di dalam mobil, eh? Dasar jalang. Ternyata seleramu serendah itu!"
Mata Maura membelalak, ia tidak tahu apa yang dikatakan Marvel. Namun, ia berasumsi yang dimaksud adalah perbuatannya saat di dalam mobil malam itu.
Dari mana dia tahu?
"Saya tidak seperti itu! Pak Marvel salah paham."
"Jadi, itu benar, ya!"
Maura menggeleng, menyangkal pernyataan itu.
"Tidak?" Sebelah alis Marvel terangkat. Ia berjalan mendekat, membuat Maura merapatkan tubuh pada mobil. "Kamu tidak bisa menyangkal. Saya melihat sendiri saat kamu naik ke pangkuannya, menggodanya, bahkan berani menciumnya."
Nada bicaranya datar, namun begitu menusuk membuat Maura menelan ludah susah payah. "Dia menolakku!" sergahnya cepat.
Marvel tertawa, pengakuan itu terdengar lucu. Namun, hanya sesaat karena detik berikutnya rautnya berubah datar. Ia meletakkan sebelah tangannya di samping kepala Maura, mengamati lekat-lekat mata sembab itu.
"Tidak ada kucing yang bisa menolak ikan yang menjatuhkan diri secara cuma-cuma, Maura," desisnya.
"Dave bukan dirimu!" Napas Maura memburu, ia teringat ucapan Dave saat menolaknya. "Dia tidak brengsek sepertimu!"
Marvel menggeram murka. Ia menarik wajah Maura dengan mencengkeram rahangnya kuat-kuat dan menciumnya kasar. Maura memberontak, tetapi itu tidak berarti apa pun, karena detik berikutnya Marvel mendorongnya masuk ke dalam mobil. Belum usai dengan keterkejutannya, Maura memekik ketika Marvel menarik celana yang ia pakai hingga terlepas.
"Saya memang brengsek, Maura!" desis pria itu sebelum menenggelamkan Maura ke dalam hasrat dan penderitaan tidak berujung.