Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Pagi itu, setelah sarapan sederhana bersama nenek Reva dan Leo, Arabella menggandeng ketiga anaknya menuju sekolah.
Udara pagi masih sejuk, sinar matahari menembus lembut di antara pepohonan, sementara langkah kecil Michelle berayun pelan di samping ibunya.
Hari ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah.
Arabella sempat menunduk, membetulkan pita rambut Michelle yang sedikit miring sebelum menyerahkan mereka pada guru kelas.
Begitu masuk ke ruang bermain, beberapa anak langsung menghampiri Michelle.
Mereka terpana melihat gadis kecil itu kulitnya putih lembut, pipinya bulat berwarna merah muda, dan matanya sebening kristal yang memantulkan cahaya.
“Michelle cantik sekali, kayak boneka hidup!” seru salah satu anak perempuan yang duduk di dekatnya.
Michelle tersipu, tapi hanya menatap mereka diam-diam sambil menggenggam ujung rok seragamnya.
Dimitri dan Michael berdiri tak jauh darinya keduanya memperhatikan dengan ekspresi serius seperti dua pengawal kecil.
“Kalian boleh bermain sama Michelle,” ucap Dimitri hati-hati, “tapi jangan terlalu dekat, ya. Michelle suka takut kalau ramai.”
Beberapa anak mengangguk, lalu kembali bermain menyusun balok warna-warni di lantai.
Michelle perlahan mulai ikut menata balok itu, meski masih diam dan sesekali melirik kakak-kakaknya untuk memastikan mereka tidak jauh.
Dari balik kaca jendela, Arabella memperhatikan semuanya dengan senyum lega dan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Anak-anaknya sudah tumbuh besar pelan-pelan belajar menghadapi dunia yang dulu pernah terlalu kejam bagi mereka.
Setelah memastikan ketiga anaknya aman di sekolah, Arabella menarik napas lega.
Ia menatap cermin spion sejenak, melihat pantulan wajahnya yang kini tampak lebih tegas dan matang bukan lagi gadis rapuh yang dulu sering disakiti.
Dengan keyakinan penuh, ia menghidupkan mesin mobil dan melaju menuju kantor pusat.
Hari itu bukan hari biasa.
Audit besar-besaran akan dilakukan, dan Arabella sendiri yang memimpin langsung penataan ulang sistem perusahaan yang selama ini berantakan akibat ulah orang dalam.
Begitu ia melangkah masuk ke ruang rapat, seluruh pegawai berdiri memberi hormat.
Suasana kantor terasa berbeda, ada tekanan sekaligus harapan baru di mata semua orang.
Arabella memimpin dengan tenang, meninjau laporan, memberi instruksi, dan menandatangani berkas-berkas penting tanpa ragu.
Sementara itu, di ruang lain, Vania menatap semua itu dengan amarah yang nyaris tak bisa disembunyikan.
Baginya, Arabella hanyalah seseorang yang sok hebat karena baru kembali ke perusahaan.
Apalagi sejak hasil audit menunjukkan bahwa selama ini kinerja Vania buruk, membuatnya diturunkan ke bagian gudang.
“Dia pikir siapa dirinya? Baru juga datang sudah mengatur segalanya,”
geram Vania sambil menendang kursinya dengan kesal.
Namun Arabella tak terpengaruh.
Ia justru memanggil kembali beberapa staf lama yang dulu bekerja untuk mendiang ibunya orang-orang terpercaya yang dulu disingkirkan ketika Vania dan pamannya, Dani, mulai mencampuri urusan perusahaan.
Julian sempat menentang keputusan itu.
“Kau tidak bisa seenaknya membawa orang lama kembali, Bella. Mereka sudah tidak relevan!”
tapi Arabella hanya menatap ayahnya dingin.
“Yang tidak relevan adalah orang-orang yang menghancurkan perusahaan ini dari dalam.”
Langkah Arabella berikutnya membuat semua orang terkejut.
Ia menyita aset milik Dani berupa perusahaan baru yang di bangun nya, rumah mewah, beberapa vila, dan mobil sport yang dibeli dari uang perusahaan.
Ia tak peduli bahwa Dani adalah paman Vania.
“Siapa pun yang curang harus menanggung akibatnya,” ucap Arabella tegas di hadapan dewan direksi.
Dan untuk pertama kalinya, semua orang melihat sisi Arabella yang berbeda dingin, cerdas, dan berani.
Waktu berjalan begitu cepat.
Tanpa terasa, matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan yang menembus jendela besar ruang kerja Arabella.
Ia menutup laptopnya perlahan, menumpuk beberapa dokumen yang sudah ia tandatangani, lalu menarik napas panjang.
Hari ini berjalan berat tapi memuaskan.
Perusahaan mulai tertata kembali, sistem mulai stabil dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arabella merasa seolah hidupnya kembali ke jalur yang benar.
Ia menatap foto kecil di meja kerjanya potret dirinya bersama Dimitry, Michael, dan Michelle.
Senyumnya merekah lembut.
“Sudah waktunya menjemput mereka,” gumamnya pelan.
Beberapa staf masih menunduk bekerja ketika Arabella melangkah keluar dari ruangannya.
“Selamat sore, Bu Arabella!” sapa salah satu karyawan.
Arabella hanya mengangguk singkat, tapi senyum hangatnya cukup untuk membuat suasana kantor terasa ringan.
Mobil oranye metalik melaju pelan di antara lalu lintas sore kota.
Cahaya jingga senja menari di kaca depan, membuat hatinya terasa tenang.
Tak lama, gerbang sekolah anak-anaknya terlihat di kejauhan dan di sanalah tiga sosok kecil sudah menunggu sambil melambai-lambaikan tangan.
Dimitry memeluknya lebih dulu, disusul Michael yang menunjukkan kertas gambar penuh warna, sementara Michelle menatap ibunya dengan senyum malu-malu.
Hari yang panjang itu seketika terasa ringan.
“Bagaimana hari kalian?” tanya Arabella lembut sambil membelai rambut Michelle.
“Seru, Ma! Michelle tadi main balok sama teman barunya,” jawab Michael antusias.
Arabella tersenyum, merasa haru karena untuk anak sekecil Michelle yang sulit berinteraksi, itu adalah kemajuan besar.