NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6. Om Kepo

Kevia pulang sekolah dengan langkah gontai. Ucapan ayahnya semalam terus berputar-putar di kepalanya, menusuk lebih dalam daripada yang bisa ia tanggung.

“Maafkan Ayah, Via… Ayah akan menikah lagi. Bukan karena Ayah tak mencintai Ibu. Justru karena Ayah terlalu mencintai Ibu… Ayah tak rela kehilangan dia.”

Ia menggigit bibir, berusaha menepis gema itu. Tapi satu hal tak bisa ia abaikan: ayahnya akan menikah lagi.

Itu berarti… ia akan punya ibu tiri.

Dan dalam pikirannya, image ibu tiri jarang terdengar baik.

Apakah ayahnya masih akan menyayangi dirinya dan ibunya?

Apakah mereka masih bisa tinggal bersama?

Bagaimana kalau ayahnya nanti lebih mencintai perempuan itu?

Bagaimana kalau suatu hari ia benar-benar ditinggalkan?

Bagaimana jika ibunya meninggal… lalu dirinya harus hidup dengan ibu tiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti, menyesakkan. Membuatnya takut, risau, tak tenang. Kepalanya penuh, matanya kosong.

Hingga…

TIIINNN!!!

CKKIITTT!!!

“Akh!”

Kevia terperanjat. Ketika menoleh, matanya menangkap kilatan lampu depan mobil yang melaju cepat ke arahnya. Jaraknya terlalu dekat. Dunia seakan berhenti sejenak.

Rem mendecit keras. Mobil berhenti hanya beberapa senti di depannya. Kevia jatuh terduduk di aspal, lututnya seketika lemas bagai tak bertulang, jantungnya serasa hendak meloncat keluar.

“Hei! Kalau jalan, pakai mata, dong!” hardik sopir mobil itu, wajahnya masam.

“Ma… maaf…” suara Kevia gemetar. Ia bahkan tak sadar tadi sudah menyebrang tanpa melihat.

Mobil itu melaju lagi, meninggalkan debu dan tatapan orang-orang yang hanya sekilas menoleh sebelum berlalu. Kevia masih terdiam di aspal, tubuhnya kaku, hatinya syok.

Lalu, suara lain datang. Bukan marah, bukan menghardik.

“Hei, gadis kecil… kau baik-baik saja?”

Seorang pria turun dari motor yang berhenti tak jauh darinya. Jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya teduh, berusia jauh lebih dewasa. Tanpa ragu ia menunduk, mengulurkan tangan, memapah Kevia ke trotoar.

Kevia mendongak. Pandangan mereka bertemu sejenak. Entah kenapa, di balik keterkejutannya, ada rasa hangat aneh yang mengalir.

“Kau masih gemetar,” ujar pria itu lembut, senyumnya tipis, “tak apa. Tarik napas pelan. Kau selamat.”

Kevia mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan. Ia sudah terbiasa menahan banyak hal sejak lama. Namun wajahnya jelas menyimpan syok, kesedihan, sekaligus rasa lega.

“Ayo, Om antar pulang. Kau tinggal di mana?”

Dengan suara pelan, hampir berbisik, Kevia menyebut alamat rumahnya.

Tak lama, ia sudah duduk di jok belakang motor. Angin sore menyapu wajahnya, sedikit menenangkan.

“Pegangan,” ucap pria itu santai, sebelum menoleh sebentar. Senyumnya seperti bercanda, tapi ada ketulusan di dalamnya. “Kalau jatuh, ribet. Sayang kalau gadis kecil semanis kamu keburu dipanggil malaikat.”

Tangannya meraih jemari Kevia, menuntun agar melingkar di pinggangnya. Dan anehnya, Kevia tak menolak. Justru ia menggenggam erat.

Untuk pertama kali sejak semalam, ia merasa aman.

Sepanjang perjalanan, pria itu tak henti mengajaknya bicara. Bukan obrolan besar, hanya percakapan ringan. Namun cukup untuk membuat Kevia lupa kalau tadi hampir mati ketabrak mobil.

“Kamu kelas berapa?” tanyanya, mata tetap fokus ke jalan.

“Tujuh,” jawab Kevia lirih.

“Hm, baru masuk SMP. Hobimu apa?”

“Memasak.”

Pria itu terkekeh kecil. “Bagus. Om suka gadis yang pintar masak. Nanti bisa bikin orang lain betah di rumah.”

Kevia menunduk, pipinya hangat.

“Udah punya pacar belum?” lanjut pria itu sambil melirik sebentar, nadanya enteng seperti bercanda.

Kevia menggeleng cepat.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengalir, entah karena pria itu memang kepo, atau hanya berusaha menghiburnya. Kevia tak tahu. Yang jelas, ada sesuatu yang berbeda: hangat, menenangkan… seperti seorang kakak yang peduli, atau seorang sahabat yang sudah lama ia kenal.

Tanpa sadar, motor berhenti di depan kontrakan kecilnya. Kevia menoleh dengan mata melebar, perjalanan itu terasa begitu singkat.

Pria itu hanya melambaikan tangan sebelum pergi, meninggalkannya dengan angin sore dan perasaan aneh di dada.

“Ya Tuhan… aku lupa berterima kasih. Bahkan namanya saja aku tak tahu…” gumam Kevia pelan.

Entahlah, apakah ia akan bertemu pria itu lagi. Tapi wajahnya, senyumnya, dan suara hangatnya… sudah menancap dalam di ingatan.

***

Tiga hari kemudian, pernikahan itu akhirnya terjadi.

Sederhana, tenang, tanpa pesta mewah. Sesuai dengan permintaan Ardi.

Para tamu datang sekadar mengucapkan selamat, tak sampai seratus orang. Rima berdiri anggun di samping Ardi, gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Senyumnya lebar, puas, seolah hari itu adalah puncak dari doa yang paling lama ia panjatkan.

"Akhirnya… Ardi jadi milikku," batinnya penuh kemenangan.

Sementara di sisi lain, Ardi berdiri kaku di pelaminan. Wajahnya datar, senyumnya hambar. Tak ada rona bahagia yang biasanya terpancar dari seorang pengantin. Ia menjalani prosesi itu dengan tenang, tapi mata kosongnya membuat beberapa tamu berbisik pelan.

“Ekspresi pengantin prianya aneh, ya? Kayak dipaksa,” gumam seorang wanita berbaju putih tulang.

“Iya. Dia kelihatan nggak bahagia sama sekali,” sahut yang berbaju biru.

“Rima udah nikah lima kali, lho. Nggak ada yang bertahan lama selain suami pertamanya. Aku rasa yang ini pun bakal sama.”

“Tapi kali ini auranya beda. Aku udah sering lihat Rima menikah, dan kali ini… dia benar-benar terlihat bahagia.”

“Wajar. Katanya Ardi cinta pertamanya. Dan lihat perempuan pucat di kursi sana, itu Kemala, istri sah Ardi. Setahuku dia sakit ginjal.”

“Mungkin karena itu Ardi menikah lagi.”

“Aku nggak yakin. Lihat cara Ardi melirik ke arah Kemala. Tatapannya lembut banget. Penuh cinta. Dan coba lihat ekspresi Kemala…”

Serentak mata mereka menatap sosok itu.

Kemala duduk tenang, Kevia di sampingnya. Jemari kurusnya menggenggam tangan kecil putrinya erat, mengusap punggung mungil itu seolah menanamkan keteguhan.

Semua akan baik-baik saja. Ibu di sini.

Tak ada air mata di wajah Kemala. Hanya ketenangan. Hanya tekad. Pandangannya menuju pelaminan, bukan dengan iri atau patah hati, melainkan doa yang dalam. Harapan kecil terbersit,

Jka Tuhan memberinya waktu lebih lama hingga Kevia bisa mandiri, itu sudah hadiah terindah baginya.

Kevia yang duduk di sampingnya hanya menatap ayahnya dengan bibir terkatup rapat.

“Ayah menikah lagi demi Ibu. Jadi aku harus kuat. Aku nggak boleh kelihatan sedih. Kalau aku sedih, Ayah dan Ibu juga pasti sedih. Aku harus jadi anak yang lebih baik lagi supaya Ayah tetap menyayangiku.”

Gadis kecil itu menegakkan bahunya, seolah memaksa dirinya berpikir positif bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia berusaha tampak dewasa, jauh melebihi usianya.

Di pelaminan, Rima melirik ibu dan anak itu. Senyum yang sejak tadi terpatri di bibirnya nyaris meredup. Ada sesuatu yang menohok batinnya.

"Bagaimana mungkin mereka setegar itu? Harusnya mereka menangis. Harusnya mereka hancur. Tapi kenapa… kenapa wajah Kemala malah tenang begitu?"

Di sampingnya, Riri, putri kecilnya yang setahun lebih tua dari Kevia, bergelayut manja.

“Ibu, kali ini ayah baru bakal baik sama aku, 'kan?” bisiknya penuh harap.

Rima mengelus kepala putrinya, lalu tersenyum manis. “Tentu saja. Iya, 'kan, Ardi?”

Ardi menoleh. Tatapannya jatuh pada Riri, lalu ia mengangguk kecil, berusaha menampilkan senyum hangat.

“Tentu. Asal kamu memperlakukan Ibu Kemala seperti ibumu sendiri, dan Kevia seperti adikmu… maka aku juga akan menganggapmu putriku.”

Kalimat itu terdengar seperti nasihat untuk anak kecil, tapi nada Ardi jelas lebih tertuju pada Rima. Pesan terselubung yang menusuk: perlakukan anak dan istriku dengan baik, kalau tidak…

Rima membeku sejenak. Senyum tipisnya retak, meski segera ia pulihkan.

Tak seorang pun tahu apa yang benar-benar terjadi di balik pernikahan itu. Namun semua bisa merasakan, ada sesuatu yang disembunyikan.

Pernikahan sederhana itu akhirnya selesai. Semua tamu pulang. Rumah besar Rima kini menjadi rumah mereka semua.

Kemala dan Kevia diberikan kamar. Tak luas, jelas lebih kecil dari kamar-kamar lain. Mirip kamar pembantu. Tapi Kemala tidak protes. Baginya, kamar itu sudah lebih baik dari kontrakan sempit yang dulu mereka tempati.

Kevia segera masuk ke kamarnya. Tangannya sibuk menata tas sekolah di meja, sementara bibirnya bersenandung pelan. Entah mencoba membiasakan diri, atau pura-pura tidak tahu apa-apa, seperti seharusnya gadis seusianya. Padahal nalurinya berbisik lirih, mulai malam ini ia harus lebih kuat dari sebelumnya.

Namun, di sela keresahan itu, bayangan pria yang menolongnya tempo hari tiba-tiba hadir. Ingatan itu membuatnya tersenyum kecil, seolah sekilas kenangan mampu menambal hatinya yang sebenarnya risau dan gentar menghadapi masa depan yang mungkin akan semakin sulit… terutama setelah ayahnya memilih menikah lagi.

Sementara Ardi masih bersama Kemala, duduk di tepi ranjang dengan kasur tipis yang kini jadi tempat tidur istrinya.

Namun, sebelum ia sempat bicara, suara Rima memotong dari ambang pintu.

“Malam ini… malam pengantin kita, Ardi. Rasanya sungguh tak bijak, bahkan kejam, jika kau memilih tidur di kamar Kemala, bukan?”

Ucapannya semanis sutra, namun di balik kelembutan itu tersembunyi bilah belati: mengiris halus, tak berjejak, tapi meninggalkan luka yang mungkin takkan sembuh.

Ardi terdiam. Rahangnya mengeras, tapi sebelum ia menanggapi...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!