“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. KESAKITAN
Dengan kehati-hatian yang tampak tulus, Emira membalut luka goresan pada lutut Rhui. Bocah laki-laki itu duduk tegak di sofa, menaikkan lutut kirinya yang terluka, sementara kedua mata gelapnya secara diam-diam mengamati raut wajah Emira. Kelelahan yang samar membayangi mata wanita itu, namun ia tetap memaksakan ketenangan dan senyum.
"Baiklah, lukanya telah rampung dipasangi plester antiseptik," ujar Emira, suaranya lembut, seraya menutup dan menyimpan kotak P3K dengan rapi.
"Telima kacih, Mama," tutur Rhui, memaksakan seulas senyum agar wanita itu tidak menangkap kegelisahan. Ia benar-benar letih harus terus berperan sebagai Rexan.
"Hari ini Mama sungguh gembira melihat keberanianmu, Rexan," puji Emira, jari-jarinya yang halus mengusap lembut pipi Rhui. "Dahulu, kau teramat takut kepada Nenek. Bahkan sering mengompol di kamarnya. Namun kini, kau sungguh luar biasa hebat."
Rhui merasakan gelombang kebanggaan memenuhi dadanya. Lui emang hebat olang na! Namun, dalam kebanggaan itu terselip pula rasa iba mendalam terhadap Rexan yang asli, yang begitu gentar menghadapi neneknya sendiri.
Nenek Lejan milip Nenek cihil, matana Nenek atut. Tapi talo itu Lui, Lui bakal tawan Nenek cihil, cihil jahat!
Melihat Emira yang tampak tenggelam dalam lamunannya, Rhui meraih jemari wanita itu yang tergeletak di sampingnya. "Mama, cini Lejan antal ke kamal," ajaknya, menawarkan pengabdian kecil sebagai bentuk terima kasih. Emira tersenyum, senyum yang sedikit dipaksakan, lantas berjalan bersama Rhui. Mereka melintasi lorong menuju kamar Rea, dan langkah Emira terhenti. Ia seolah ragu, hasrat untuk membuka pintu itu kuat, tetapi ketakutan akan kenangan yang menghantui dan rasa bersalah yang akan bertambah, menahannya. Rhui menunjuk kamar itu, "Mama, mau macuk cini?" Emira menggeleng perlahan, dan melanjutkan langkah menuju kamarnya sendiri.
Sementara itu, Azelio berdiri di kamar tamu. Ia menatap lekat foto pernikahannya di layar ponsel, bayangan masa lalu sejenak melintas. "Cih! Mengapa pula aku harus repot-repot memikirkannya?!" gerutunya. Jari-jarinya bergerak untuk menghapus foto itu, tetapi entah mengapa, niat itu urung terlaksana. "Arghh…" Azelio menjambak rambutnya sendiri, diliputi frustasi yang membingungkan. Perasaan tidak enak mendadak menyergapnya, dan ia melangkah keluar menuju balkon. Tak lama, sebuah pesan dari Jeremy masuk, mengingatkannya untuk segera pulang sebelum pukul 10 malam karena Papa Joeson mencarikan cucunya. Azelio mendengus, "Jika Papa mencarinya, mengapa tadi kau tidak membawa saja bocah itu ikut pulang bersamamu?! Menyusahkan!"
Di kamar Rea, ibu si kembar itu baru saja masuk ke kamar mandi. Di ranjang besar, Ruchia dan Rexan masih terlelap dalam tidur. Rhui, yang baru saja selesai mengantar Emira, mengetuk pintu kamar ibunya. Tak lama, pintu terbuka. Rhui terkejut bukan main, dan ia melihat bayangan dirinya sendiri berdiri di depannya. Rexan pun sama terkejutnya, dalam benak polosnya, ia mengira Rhui memiliki kekuatan sihir yang suka muncul tiba-tiba.
"Napa tamu ada cini?" tanya Rexan, matanya membulat.
Rhui melangkah masuk dan menutup pintu dengan gesit. "Mau tukelan!" Ia berbisik, nadanya tegas.
"Tukelan apa?" tanya Rexan polos, wajahnya menunjukkan kebingungan murni. Rhui merasa jengkel. "Madtuna, tamu dadi dili cendili, telus Lui dadi dili cendili, paham nda?"
"Nda mau. Lejan nda mau tukelan. Cini enat!"
"Heh, tapi tamu alus balik ke Ibumu cendili. Janan ambil Mama ku!" sentak Rhui, nadanya meninggi tanpa sengaja.
"Nda mau, Mama Lejan nda tayang tama Lejan. Talo Lejan liat Mama, Mama muka na celalu pucat. Lejan atut liat Mama. Apaladi Papa nda tuka tama Lejan," tutur Rexan, suaranya merendah penuh kesedihan. "Lejan mau cini telus tama Mama Jela tama Ade Luci. Meleka tayang Lejan."
Rhui terdiam, menyadari betapa rumit situasi ini. Rexan sudah menemukan kenyamanan dan kasih sayang di tempat yang salah. Rhui mengangkat kedua tangan, membuat Rexan seketika menutup mata, mengira akan dipukul. Namun, Rhui justru menariknya ke dalam pelukan.
"Nda ucah cedih. Mama Lejan tama Papa Lejan udah nda pelti dulu ladi! Meleka udah tayang tama Lejan, Lejan yang cukacita," Rhui menenangkan, menepuk punggung adiknya. "Tamu nda boleh atut ladi, alus belani tadi laki-laki tuat tama pembelani. Talo mau tadi teman Lui, tamu alus tadi olang hebat! Tamu patti bica!"
"Cius Lejan bica tadi teman Lui?" tanya Rexan ragu, air matanya menahan untuk tumpah.
"Cius! Lui janji!" ucap Rhui mantap. Ia kemudian menjelaskan bahwa Ayah dan Ibu kandung Rexan sesungguhnya ada di rumah itu, menanti dirinya.
Rexan tersenyum cerah, senyum yang begitu tulus, lantas bergegas keluar, menuju kamar Emira. Rhui menghela napas panjang, semacam kelegaan membanjiri dadanya, lalu merebahkan diri di sebelah Ruchia.
Tak lama, Rea keluar dari kamar mandi, mengenakan piyama, dan merebahkan diri di sisi putrinya. Tiba-tiba, Ruchia terbangun dengan napas pendek. "Mama… pala Luci atit…" lirihnya lemah. Rea mengoleskan minyak balsem di keningnya, tidak terlalu khawatir. Namun, Ruchia kembali merintih, suaranya semakin pilu,
"Mama… dingin…"
Rea memeluk putrinya, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk menghibur. Tetapi, badan Ruchia semakin panas, dan ia terus meracau kesakitan. Dilanda kepanikan yang hebat, Rea berdiri, ingin mengambil baskom dan handuk untuk mengompres. Ia bergegas keluar kamar dan menuju dapur.
Saat Rea mengambil baskom dari rak dan berbalik badan, baskom di tangannya terlepas, jatuh menghantam lantai keramik dengan bunyi nyaring. Di hadapannya, berdiri seseorang yang membuatnya terkejut bukan kepalang, jantungnya serasa berhenti berdetak. Orang itu juga sama terkejutnya. Mereka saling pandang dalam keheningan yang mencekam.
Reaa…
srmoga saja fia mau, wlu pyn marah dan kesal pada kelakuan papa ny
tapi ingin menyelsmat kan putri ny darimaut
maka ny dia marsh sambil ngebrak meja 😁😁😁
songong juga nech si Ron2.
henti kan kegilaan mu Rhui, utk memberi pelajaran dan menghancue kan perusahaan ayah mu
jika bukan Luna dan Celina...
Emira hafis baik, dia tdk akan mauenikah dengan mu, katena ituenyakiti jati afik ny Rea.
paham kamu..
kokblom keliatan.
jarus kuat. pergi lah sejauh mungkin, dan utup indentitas mu, agar yak afa yg bisa menemu kan mu Rea.
biar kita lihat, sampai do mana sifat angkuh nu ny si Azeluo