Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
cat man
5 Tahun yang Lalu
“Ahh… anj**g!”
Prang! Tong sampah terpelanting setelah ditendang lelaki berusia tiga puluhan itu. Sampahnya berhamburan di jalanan.
“Gue udah pasang dua puluh juta, kenapa mesti kalah! Sial!”
Dia meremas rambutnya, wajahnya penuh frustasi. “Rumah udah gue gadai, tanah orang tua udah habis kejual! Dimana lagi gue cari duit buat judi?”
Miau~
Matanya menoleh ke bawah, melihat seekor kucing kecil berdiri di depannya.
“Syuh! Sana! Gue nggak ada makanan!” usirnya sambil menendang. Tapi kucing itu hanya bergeser sedikit, tetap menatapnya.
“Lo nggak mau pergi? Dasar kucing sialan!” Tendangan lain mendarat, tapi kali ini cakar kucing itu menancap di kakinya.
“Sial!” Lelaki itu mengaduh, lalu meraih sebatang kayu di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, dia menghantam kucing itu berkali-kali.
Bugh! Meong! Bugh!
“MATI LO!”
Jeritan kucing itu lirih, menyayat malam. Darah mengalir, tubuh mungil itu terkulai. Lelaki itu terengah, tersenyum puas.
“Hei.”
Suara asing membuatnya menoleh. Seorang pria berdiri beberapa meter di belakangnya. Sorot matanya tajam menusuk, wajahnya tanpa ekspresi.
Lelaki itu malah terkekeh. “Lo manggil gue?” Ia mendekat, menyeringai. “Ganteng juga lo. Banyak duit pasti, ya?”
Pria itu tak menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada kucing yang terkapar.
“Ohh… itu kucing lo?” Lelaki itu nyengir jahat. “Sorry, udah gue bunuh! Hahaha!”
Pria itu menggeretakkan rahang. “Manusia menjijikkan.”
“Apa lo bilang?!” Lelaki itu mengayunkan tinjunya, tapi—
“Kenapa tangan gue nggak bisa maju?!”
Pria itu tersenyum tipis. “Aku bahkan bisa mematahkan tanganmu.”
Prak!
“ARRGH! Tanganku!”
“Juga kakimu.”
Prak!
“AAARGHH!!” Lelaki itu jatuh meraung kesakitan.
Pria itu berjongkok, menatap dingin. “Aku tidak akan membunuhmu. Belum waktunya. Tapi hiduplah… dalam keadaan lumpuh.”
Dia berbalik pergi, meninggalkan teriakan putus asa lelaki itu.
---
Pria itu duduk di batu besar dekat kolam, sunyi, hanya ditemani bau amis darah dari tubuh kucing kecil yang hancur dipukuli manusia tadi.
Tangannya perlahan menutup kepala kucing itu. Matanya terpejam, bibirnya berkomat-kamit melafalkan sesuatu yang terdengar lebih seperti mantra daripada doa.
Beberapa menit kemudian—
“Miau~”
Tubuh kecil itu bergerak. Namun kali ini berbeda: sorot matanya terlalu jernih, pupilnya berpendar samar, seolah memantulkan cahaya bulan. Luka di tubuhnya hilang, darah yang tadi membasahi bulu kini tak ada bekas.
Pria itu mengusap lembut bulu kucing itu. “Bukan lagi tubuhmu, tapi rohmu. Aku hanya memberimu bentuk… supaya kamu tidak kesepian.”
Kucing itu mengeong pelan, lalu melompat ke pundaknya. Cakar kecilnya mencengkeram baju, ekornya melambai-lambai.
“Hei, turun! Jangan nempel terus.” Ia menepis pelan, tapi kucing itu justru menggesekkan wajahnya ke pipi pria itu.
Malam terasa semakin dingin, tapi ada sesuatu yang hangat di hati pria itu.
“Kamu seharusnya sudah pergi… tapi rupanya kamu ingin tetap di sini, ya?” katanya, menurunkan kucing itu ke tanah.
Kucing itu menatapnya, pupilnya bersinar samar, lalu mengeong panjang.
“….” Pria itu menghela napas, berkacak pinggang.
“Baiklah. Kalau memang kamu mau ikut, ikutlah. Tapi ingat, kamu bukan lagi makhluk hidup. Kamu hanya roh. Jangan ikut campur urusan manusia.”
Kucing itu duduk tegak, seolah mengerti, lalu mengeong nyaring sekali—dan seakan-akan mengangguk.
Sejak malam itu, roh kucing yang ia panggil Sem selalu bersamanya. Ke mana pun ia pergi—atap rumah sakit, gang sempit, kuburan—roh kecil itu tak pernah meninggalkannya.
Kadang Sem terlihat normal, seperti kucing biasa. Tapi kadang, saat tak ada orang lain, tubuhnya berpendar samar, seolah cahaya bulan membungkus bulunya.
Masa Kini
“Sem, liat tuh.” Lelaki itu menunjuk seorang nenek yang tertawa bahagia bersama cucunya di taman.
“Sekarang dia bisa tertawa. Dua jam lagi, dia akan mati.”
Miau.
Sem turun dari kursi dan berjalan. Lelaki itu mengerutkan alis, lalu melihat kucingnya berhenti di bawah seorang gadis muda yang tengah duduk makan es krim sendirian.
“Eh, kamu lucu banget!” Gadis itu menunduk, memberi Sem es krim di tangannya. Sem menerimanya dengan lahap.
Lelaki itu tertegun. Lima tahun bersama, Sem tak pernah dekat dengan manusia. Tapi pada gadis ini—Sem seakan jatuh hati pada pandangan pertama.
“Eh, jangan ke jalan, kucing!” Gadis itu panik saat Sem berlari menyeberang. Ia spontan ikut mengejar.
Brak! Vrooom!
Sebuah mobil hitam melaju kencang menuju si gadis.
“Tidak… ini belum waktunya dia mati!” Lelaki itu berdiri cepat. Tangannya terangkat.
Sekejap, dunia berhenti. Klakson membeku di udara, burung berhenti mengepak sayap, angin pun terdiam. Semua terhenti.
Gadis itu membuka mata, terkejut. Ia berdiri kaku, menoleh ke sekitar.
“Kok… semua berhenti?” bisiknya.
Ia segera mundur ke trotoar. Begitu ia selamat, lelaki itu menurunkan tangannya.
Waktu kembali berjalan.
Mobil melintas begitu saja, orang-orang beraktivitas seolah tak terjadi apa-apa.