Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Hujan di Hari Ulang Tahun
Hujan turun sejak siang, membawa aroma tanah basah dan udara dingin yang merambat perlahan ke dalam rumah. Aku berdiri di dapur, menatap meja makan yang sudah tertata rapi sejak dua jam lalu. Ada ayam bakar madu kesukaan Arvan, sup jagung buatan sendiri, dan puding cokelat yang kubuat diam-diam semalam. Semuanya sudah siap.
Tapi dia belum pulang.
Bukan hal baru, tentu saja. Tapi hari ini seharusnya berbeda. Hari ini ulang tahunku. Hari yang dulu, di awal-awal pernikahan, selalu menjadi momen yang ia buat istimewa. Tiga tahun lalu, ia menyanyikan lagu ulang tahun di tengah malam sambil membawa kue kecil. Dua tahun lalu, kami makan malam di balkon hotel bintang lima. Setahun lalu… ya, mungkin sejak itulah segalanya mulai terasa hambar.
Aku tak meminta banyak. Tidak butuh hadiah mewah atau pesta kejutan. Aku hanya ingin dia mengingat—bahwa hari ini, istrinya, yang selalu ada untuknya, berulang tahun.
Jam menunjukkan pukul 19.12 saat akhirnya pintu depan terbuka. Aku menoleh, berharap melihat Arvan masuk dengan senyum atau setidaknya membawa sekotak kue kecil. Tapi yang kulihat hanyalah Arvan dengan wajah lelah dan ponsel di tangan, sibuk membalas pesan.
“Kamu udah makan?” tanyaku sambil berusaha terdengar biasa saja.
“Belum,” jawabnya pendek, tanpa menatapku. “Capek banget, tadi lembur.”
Aku diam. Aku tak ingin mengeluh. Tidak malam ini. Tapi rasa kecewa itu menyesak di dada. Aku menarik napas panjang dan duduk di hadapannya, berusaha tetap tersenyum meski senyum itu retak.
“Ini aku masak. Ayam madu yang kamu suka.”
Arvan hanya mengangguk, lalu mulai makan. Tanpa pujian, tanpa tanya. Seolah makanan di depannya hanya rutinitas untuk mengisi perut, bukan bentuk kasih dari istrinya.
Kami makan dalam diam. Sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Aku menatapnya sesekali, berharap ia akan sadar. Tapi matanya tetap kosong, pikirannya entah di mana.
Setelah menyelesaikan makan, aku bertanya pelan, “Kamu tahu hari ini hari apa?”
Arvan mendongak sejenak, wajahnya tampak bingung. “Hari apa?”
Aku menahan napas. Rasanya seperti ditampar.
“Hari ulang tahunku,” jawabku lirih.
Arvan terdiam. Bibirnya membuka sedikit, lalu menutup lagi. Ia tidak tampak bersalah, tidak juga terkejut. Hanya datar. Kemudian ia berkata, “Maaf… aku lupa.”
Hanya dua kata. Dua kata yang menampar lebih keras dari apa pun yang bisa kuperkirakan Arvan. “Maaf” dan “lupa”.
Aku tersenyum pahit. “Nggak apa-apa,” jawabku, berbohong.
Padahal sebenarnya, itu sangat menyakitkan.
Setelah itu ia bangkit dari kursinya dan membawa piring ke dapur. Lalu masuk ke kamar tanpa sepatah kata lagi. Meninggalkanku sendiri di ruang makan, di depan meja yang masih berisi puding cokelat dan kue ulang tahun kecil yang kubeli sendiri.
Aku menatap lilin di atas kue. Tak ada yang menyanyikan lagu. Tak ada yang bertepuk tangan. Tak ada tangan yang menggenggamku sambil berbisik, "Selamat ulang tahun, Na. Semoga kamu selalu bahagia."
Aku meniup lilin itu sendiri, dalam kesunyian.
Lalu membuka ponselku dan membaca satu-satunya pesan ulang tahun dari sahabatku.
“Selamat ulang tahun, Na. Kamu perempuan hebat. Jangan berhenti bahagia, ya.”
Perempuan hebat?
Aku tertawa kecil, getir. Kalau perempuan hebat itu menangis sendiri di ulang tahunnya, duduk di ruang makan dengan meja penuh cinta yang tak pernah dihargai, mungkin memang itu aku. Tapi aku tak merasa hebat. Aku hanya merasa… kosong.
Malam itu, hujan masih turun. Deras, seperti menumpahkan semua perasaan yang tak sempat terucap.
Aku memeluk lututku, duduk bersandar di sofa, menatap cahaya dari lilin yang perlahan padam. Dalam diam aku berbisik pada diriku sendiri,
“Aku masih bertahan. Tapi sejujurnya, aku lelah terus merasa sendirian dalam pernikahan ini.”