NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Serena & Semua Lukanya

“Andai aku bisa menghilang seperti bayangan di kala senja. Lenyap tanpa jejak, tersapu gelap tanpa suara. Mungkin dengan begitu, aku tak perlu lagi menanggung sakit yang terus menggigit. Karena nyatanya, tak ada seorang pun yang benar-benar peduli apakah aku ada atau tidak.”

\~ Serena Azura Auliana \~

***

Serena melangkah cepat meninggalkan kafe, sedang melarikan diri. Wajahnya diliputi kegelisahan. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Brian tidak mengejarnya.

Begitu tiba di luar, ia segera merapat ke sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ia menunduk dengan lebih dalam, bersembunyi di balik kendaraan itu sambil berusaha menenangkan napasnya yang tersengal.

Tangannya yang gemetar merogoh tas kecil yang tersampir di bahu. Ia mengambil ponsel, lalu menonaktifkan semua akses komunikasi. Mode pesawat aktif, notifikasi dibungkam.

"Sekali ini saja," gumam gadis itu lirih. "Aku nggak mau bicara dengan siapapun. Apalagi dengan Brian."

Pandangannya tiba-tiba jatuh ke seberang jalan—melihat orang-orang berlalu-lalang tanpa tahu bahwa hatinya sedang berantakan.

Alasannya karena Brian.

Brian adalah tunangannya. Setidaknya, untuk saat ini masih begitu. Namun akhir-akhir ini, Serena merasa ia hanya menjadi pelengkap. Brian lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman tongkrongannya—tak peduli laki-laki atau perempuan. Saat tidak bersama mereka, ia tenggelam dalam dunia game virtual, yang katanya hanya cara untuk "mengusir bosan".

Serena tidak mempermasalahkan itu semua. Lagi pula, terlalu mengekang bukanlah hal yang baik dalam menjalin hubungan. Tapi, semakin hari, Brian justru menunjukkan sikap yang membuat Serena mempertanyakan dirinya sendiri.

Apakah wajar untuk seorang pria tebar pesona dengan banyak wanita? Apakah wajar untuk seorang pria lebih banyak bermain game, daripada memberi kabar pada pasangannya?

Pada akhirnya, Serena merasa bahwa dia memang bukan prioritas utama. Kehadirannya selalu berhasil terpinggirkan.

Tak lama, pintu kafe terbuka. Brian muncul dengan wajah kebingungan. Matanya menyapu ke segala arah, mencari sosok Serena yang hilang secara tiba-tiba.

Serena semakin menahan napas, menunduk lebih dalam. Ia berharap Brian tak menemukannya di balik mobil, tempatnya bersembunyi.

"Serena, di mana kamu?" Brian terlihat begitu panik. Dia berdiri cukup lama di trotoar. Wajahnya tampak ragu dan bimbang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, namun akhirnya menyerah. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju motornya, mengenakan helm, dan melaju pergi. Dia berharap, bisa menemukan Serena saat di perjalanan pulang menuju ke apartemennya.

Serena memerhatikan semua itu dari tempatnya. Barulah setelah Brian benar-benar menghilang dari pandangan, ia bisa bernapas dengan lega. Setidaknya untuk malam ini, ia berhasil menjauh—bebas sejenak dari tuntutan kesabaran yang semakin menyesakkan.

Tapi satu masalah belum terpecahkan: Serena tak punya tujuan. Ia tak ingin pulang. Di apartemennya hanya ada kesunyian, dan ia tahu Brian bisa saja menyusul ke sana. Serena butuh pelarian. Tempat untuk melepaskan perasaan yang mengeruhkan hatinya malam ini.

Tanpa arah yang jelas, gadis itu pun melangkah pergi, membiarkan kakinya memimpin, entah ke mana.

Ia menyusuri trotoar di tengah keramaian kota yang masih sibuk di bawah sinar matahari yang tidak lagi terasa terik.

Langit di atasnya masih berwarna biru cerah dengan semburat awan putih tipis yang melayang pelan. Sinar matahari masih cukup kuat untuk menyinari bangunan-bangunan tinggi, memantulkan cahaya keemasan di kaca-kaca jendelanya. Udara terasa hangat, dan bayangan panjang mulai terbentuk di trotoar, pertanda matahari mulai turun menuju singgasana di cakrawala.

Ada banyak hal yang melintas dalam pikirannya. Bisikan-bisikan samar yang membuat semuanya semakin semrawut bak benang kusut.

Mulai dari masa lalu yang terus menghantui, hubungannya dengan Brian yang selalu membuatnya rendah diri, dan masa depan yang tidak jelas.

Tanpa sadar, langkah kaki membawa Serena ke sebuah taman baca yang belakangan ini cukup populer di kota.

Bangunan itu berdiri di antara rindangnya pepohonan, menampilkan kesan sejuk dan asri yang memanjakan mata. Salah satu sisinya terbuka lebar, membiarkan angin sore bebas keluar-masuk, membawa serta aroma angin yang menyegarkan.

Bagian depannya didominasi dinding kaca bening, memperlihatkan dengan jelas bagian dalamnya; berupa rak-rak kayu tinggi penuh buku yang berjajar rapi hingga ke sudut ruangan. Beberapa meja baca kecil menghadap langsung ke jendela. Mengundang siapa saja yang sedang mencari ketenangan untuk singgah dan menyepi dari hiruk-pikuk kota yang terlalu bising.

Serena berhenti di depan pintu, sempat ragu, lalu menghela napas beberapa saat, dia akhirnya melangkah masuk.

Begitu ia memasuki ruangan, seorang wanita berusia sekitar 25 tahun, bangkit dari tempat duduknya dan menyambut kedatangan Serena dengan ramah.

"Selamat datang," sapa wanita itu dengan hangat, suaranya rendah dan terasa menyenangkan. "Silakan, ambil tempat yang nyaman."

Serena membalas sapaannya dengan senyum kecil, mengangguk sopan sebelum melangkah lebih jauh ke dalam.

Mengedarkan pandangan ke segala penjuru, Serena menyadari bahwa taman baca ini memiliki dua akses, area terbuka dan tertutup. Namun, alih-alih memilih tempat yang ramai dan terang, Serena melangkah menuju sudut yang lebih tenang, di mana ia bisa menyendiri tanpa gangguan.

Meski berada di area tertutup, hawa di dalam ruangan tetap terasa sejuk. Aroma khas kertas yang bercampur dengan wangi lemari kayu memenuhi udara, menciptakan suasana yang menenangkan, seolah membisikan kedamaian yang telah lama ia rindukan.

Setelah menemukan sudut yang dirasa nyaman, Serena membiarkan tubuhnya tenggelam di atas pangkuan sebuah kursi kayu yang terasa dingin.

Perlahan, ia mengangkat kedua tangan dan meletakkannya ke atas meja, lalu menundukkan kepala dan membiarkan dahinya bersandar di atas lengan yang terlipat. Ia memejamkan mata, berusaha menemukan ketenangan di antara rasa lelah dan kecewa yang tiada memiliki ujung.

Tak butuh waktu lama, matanya terasa mulai memanas. Dada yang sesak memaksa air mata yang selama ini ia tahan untuk mengalir tanpa bisa dihentikan.

Segala beban, kekecewaan, dan kesepian—yang bertumpuk selama ini—akhirnya meluap dalam tangis tanpa suara.

Di sudut ruangan yang sepi ini, ia merasa bebas untuk menangis sepuasnya, tanpa khawatir pada pandangan orang lain.

Waktu terus berjalan, sementara Serena membenamkan wajah di antara lengan. Isakannya masih tertahan, namun air mata tak berhenti mengalir.

Hingga beberapa saat kemudian, Serena pun mengangkat wajahnya, mengusap leher yang terasa kaku setelah terlalu lama menunduk dan terisak.

Gadis itu tersentak saat mendapati sebuah topi baseball berwarna hitam dan sebuah kacamata hitam tergeletak di sudut meja. Entah sejak kapan benda-benda itu ada di sana?

Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapa yang mungkin telah meletakkan kedua benda itu, namun tak ada seorang pun di sekitarnya.

Masih dengan dipenuhi banyak tanya, Serena meraih sapu tangan itu, dan memerhatikannya lebih saksama.

Di bagian depan topi itu, terdapat sebuah bordir inisial "AS," seperti sebuah logo perusahaan.

Jari-jarinya menyentuh bordir itu, ia bisa merasakan tekstur jahitan dibaliknya. Dari topi itu juga, tercium aroma segar dari parfum yang masih melekat.

"Siapa yang meninggalkan ini? Kenapa aku nggak sadar ada yang mendekat?"

Serena benar-benar merasa malu, memikirkan dirinya yang kedapatan sedang menangis oleh orang asing.

Tidak bisa hanya diam saja, ia akhirnya memutuskan untuk mencari tahu siapa pemilik dua benda misterius ini. Karena baginya, di dunia ini tidak ada yang namanya gratis. Dia tidak boleh menerima barang pemberian orang lain, apalagi orang yang tidak dikenal dengan begitu mudahnya. Bisa saja, ini modus kejahatan baru. Berhati-hati lebih baik, daripada menyesal di kemudian hari. Maka dari itu, ia pun melangkah menuju kasir, tempat penjaga Taman Baca Lily berada.

"Permisi, Kak. Saya mau tanya," ujarnya hati-hati pada perempuan penjaga di balik meja.

"Iya, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" sahut sang penjaga dengan senyum ramah.

Serena terdiam sejenak. Ia mencoba merangkai kata-kata. Tak mudah menjelaskan bahwa ia menemukan topi dan kacamata setelah menangis. Itu terdengar cukup memalukan.

"Iya, Kak?" tanya sang penjaga lagi. Dari balik matanya, ada rasa penasaran yang begitu kuat.

"Jadi, begini ... saya tadi menemukan topi dan kacamata ini. Apa mungkin ada yang kehilangan?"

"Boleh saya lihat dulu, Kak?"

Serena menyerahkan kedua benda itu. Penjaga wanita itu tampak sedikit terkejut, seolah mengenali barang-barang tersebut.

"Sebentar, ya, Kak. Saya pastikan dulu."

Serena mengangguk pelan. Penjaga itu segera menghubungi seseorang melalui ponsel sambil terus memerhatikan barang di tangannya. Setelah beberapa saat, ia kembali menghampiri Serena.

"Saya sudah konfirmasi. Ini memang milik Bos saya. Tapi kata beliau, Kakak boleh menyimpannya ... karena sepertinya Kakak lebih membutuhkannya."

"Tapi saya nggak bisa menerima begitu saja pemberian dari orang yang bahkan nggak saya kenal."

"Saya mengerti, Kakak pasti merasa was-was. Tapi tenang saja, saya bisa jamin, Bos saya itu orang yang baik. Kalau Kakak masih ragu, anggap saja topi dan kacamata ini pemberian dari saya. Menurut saya pun, Kakak sangat membutuhkannya, karena keadaan Kakak yang terlihat nggak baik-baik aja."

"Apa saya kelihatan seperti itu?" tanyanya, penasaran dengan penampilan wajahnya saat ini.

Sang penjaga hanya mengangguk pelan, tetap tersenyum dengan empati yang tulus.

"Tolong sampaikan terima kasih saya, ya. Suatu hari nanti, saya akan mengembalikannya."

"Baik, Kak. Jangan sungkan untuk datang lagi ke Taman Baca Lily, ya."

Sebelum meninggalkan Taman Baca Lily, Serena berhenti sejenak di depan sebuah cermin yang tergantung di dekat pintu keluar. Ia ingin memastikan ucapan sang penjaga taman baca yang sempat mengatakan bahwa wajahnya tampak tidak baik-baik saja.

Tatapannya jatuh pada bayangannya sendiri—mata sembab, wajah pucat, dan sorot lelah yang tak bisa ia sembunyikan.

Serena akhirnya keluar dari taman baca itu dengan menggunakan topi dan kacamata yang dipinjamkan secara misterius oleh orang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Saat ia menengadah, ia mendapati langit telah berubah warna menjadi oranye keemasan, pertanda senja mulai menyentuh ufuk.

Cahaya matahari yang tersisa membentuk siluet lembut di balik gedung-gedung dan pepohonan, sementara langit perlahan memudar menuju ungu tipis di kejauhan. Belum tampak bintang, hanya sekelebat burung-burung yang terbang pulang ke sarang.

Menghela napas panjang, ia pun melangkah pergi, meninggalkan tempat itu dengan satu harapan kecil yang mengendap di dalam dada—semoga sore ini ia tidak harus bertemu dengan Brian.

***

Setibanya di depan gedung apartemen, tempat Serena tinggal, ia tidak langsung masuk dan lebih memilih untuk bersembunyi. Matanya menatap ke segala penjuru tempat yang terjangkau, memastikan Brian tidak berada di sekitar gedung. Setelah yakin semuanya aman, ia segera berlari menuju ke apartemennya.

Hari yang melelahkan akhirnya berakhir. Serena melemparkan tasnya ke kursi, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang terasa dingin. Pandangannya terarah pada tas itu, seolah memanggilnya untuk mengambil sesuatu. Dengan enggan, ia meraih ponsel dari dalam tas.

Sejenak ia menatap layar yang mati, jemarinya nyaris menyentuh tombol untuk menyalakannya kembali. Namun, ia segera menghentikan dirinya sendiri.

Ini belum saatnya untuk menghadapi pesan, panggilan atau apa pun yang berhubungan dengan Brian.

Mencoba mengalihkan pikiran dari hal-hal yang rumit, Serena memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Di sana, ia membiarkan air mengalir deras membasahi tubuhnya, seolah sedang membasuh semua perasaan yang menghimpit dada, meski semua itu percuma.

Setelah selesai, ia kembali ke kamar dan duduk di kursi dekat jendela. Pandangannya kosong, menatap pemandangan malam yang sunyi. Di tengah keheningan yang kian menyesakkan itu, pikiran Serena jauh melayang.

Ingatan yang datang tanpa permisi, mengais kenangan pahit yang terus membekas di hidup Serena.

Dahulu, Serena memiliki keluarga yang utuh dan penuh kebahagiaan. Ia mencintai mereka sepenuh hati, menjadikan mereka sebagai segalanya. Rumah yang ia tinggali bukan sekadar bangunan, melainkan tempat di mana ia merasa aman, dicintai, dan dikelilingi oleh kasih sayang tanpa syarat.

Namun, kebahagiaan itu hancur dalam sekejap ketika ibunya ketahuan berselingkuh dengan seseorang yang mereka kenal.

Pengkhianatan yang tercipta bukan hanya merusak hubungan di antara orang tuanya, tetapi juga merenggut seluruh kepingan kebahagiaan yang pernah ia miliki. Sejak saat itu, Serena kehilangan lebih dari sekadar tempat yang ia sebut rumah—ia kehilangan kepercayaan, kebahagiaan, dan segala harapan yang pernah ia genggam dengan erat.

Setelah kejadian itu, ibunya pergi meninggalkan mereka, bersama dengan pria yang menjadi selingkuhannya. Sementara sang ayah, berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia berjuang menjadi sosok yang tegar dan bertanggung jawab, meski pada akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk menikah lagi beberapa tahun kemudian.

Rumah yang dulu penuh kehangatan itu kini terasa begitu asing bagi Serena. Tak sanggup lagi tinggal di antara kenangan pahit yang terus menghantui, apalagi harus berbagi dengan keluarga baru sang ayah, Serena pun memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Entah dalam kurun waktu sementara, atau bisa saja mungkin selamanya.

Satu-satunya orang yang ada di sisi Serena adalah Brian—Pria itu adalah harapan yang masih tersisa dalam hidupnya.

Namun kenyataannya, seseorang yang seharusnya menjadi tempat bersandar dan rumah untuk pulang itu, tak pernah benar-benar ada untuknya.

Brian memang terlihat hangat dan perhatian. Sayangnya, perhatian itu tak pernah sepenuhnya untuk Serena. Ia terlalu mudah berbaik hati pada orang lain, membuat Serena sering merasa tersisih dan terabaikan—seolah tak ada tempat untuknya di hati Brian.

Kadang, ia bertanya-tanya, apakah dirinya hanyalah bagian kecil dalam hidup Brian—sebuah fragmen yang tak pernah benar-benar menjadi prioritas di tengah banyak hal lain yang tampak jauh lebih penting baginya.

"Brian ... apakah kau pernah benar-benar peduli padaku?" gumamnya pelan, nyaris tanpa suara.

Serena menghela napas panjang. Perasaan lelah menyelimuti tubuh dan pikirannya, namun ia tak tahu bagaimana harus melupakannya. Ia tahu dirinya tak bisa terus berharap Brian akan berubah, atau akan mengerti bagaimana perasaannya yang selalu merasa terpinggirkan. Harapan itu hanya akan membuatnya semakin terluka, dan ia tak ingin terus tersiksa oleh sesuatu yang tak pasti.

Di luar jendela, suara angin malam berbisik lembut, menggoyangkan sisa dedaunan di pepohonan sepanjang jalan. Serena duduk diam di bawah temaram lampu tidur apartemennya, mencari kedamaian di tengah keheningan yang menyelimuti. Dia sengaja tidak menyalakan lampu penerangan sepenuhnya supaya Brian mengira bahwa dia ada di apartemen sekarang.

Sayangnya, meski sunyi pada malam ini memberinya ruang untuk mencoba bernapas, namun kekosongan di dadanya tetap tak mau pergi.

Matanya mulai terasa berat, dan ia pun merebahkan diri di atas kasur, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dinginnya pelukan ranjang.

Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia berharap bisa tidur tanpa mimpi malam ini—tanpa memikirkan Brian atau siapa pun yang membuat hatinya luka. Akan jauh lebih baik, jika dia bisa tidur panjang dan tak pernah terbangun lagi.

Bersambung

Rabu, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!