NovelToon NovelToon
Bukan Upik Abu

Bukan Upik Abu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Konglomerat berpura-pura miskin / Menyembunyikan Identitas / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:793
Nilai: 5
Nama Author: Ceriwis07

Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Upik Abu Eps 5

Udara desa yang segar dan pemandangan sawah yang menghijau. Hari ini genap dua minggu Regina menginap, ia dan Bima tengah membantu sang ibu menyiapkan makan siang.

"Bima, kamu sudah pulang?" suara lembut itu menusuk telinga Regina.

Regina menoleh. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang dan senyum menawan berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan gaun sederhana namun elegan, membuatnya tampak anggun.

Bima, yang sedang mengupas kentang, terdiam. "Riana? Sedang apa kamu di sini?" tanyanya dengan nada dingin.

Riana tersenyum, matanya berbinar menatap Bima. "Aku hanya ingin menyambutmu. Kudengar kamu sudah pulang."

Regina merasa seperti orang asing di sana, bayangan yang tak dianggap. Ia berdiri kaku, menggenggam pisau di tangannya erat-erat. Ibu Bima, yang menyadari ketegangan di udara, berusaha mencairkan suasana.

"Riana, mari masuk. Ini Regina, istri Bima," ucap Sandra, memperkenalkan Regina dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Riana menoleh pada Regina, senyumnya sedikit memudar. "Istri?" tanyanya, dengan nada suara yang mengandung keraguan.

"Iya, kami menikah," jawab Bima singkat.

Riana mengangguk, namun matanya terus menatap Bima. "Selamat. Aku tidak tahu kamu sudah menikah."

Sandra sangat menikmati adegan yang tegang ini, seperti menonton drama dengan popcorn di tangan. Ia sangat menantikan adanya keretakan dalam rumah tangga Bima dan Regina, bersandar di tembok dengan tangan terlipat di dada.

Suasana menjadi canggung. Regina merasa tidak nyaman dengan tatapan Riana yang seolah menguliti dirinya, mencari setiap kekurangan yang ada. Ia merasa seperti sedang dihakimi.

"Silakan duduk, Riana. Biar kubuatkan teh," tawar ibu Bima.

Riana duduk di kursi, matanya masih tertuju pada Bima. "Jadi, apa yang membawamu ke sini, Bima? Kudengar kamu membawa istrimu."

"Aku hanya ingin mengunjungi keluargaku," jawab Bima.

"Aku senang kamu kembali. Aku merindukanmu," ucap Riana lirih, suaranya bagai bisikan angin yang menusuk kalbu.

Tak tak tak tak... Tak tak...

Suara pisau dan talenan kayu beradu, irama yang mengiringi kegelisahan Regina.

Regina merasa darahnya mendidih, amarahnya membara seperti bara api yang siap meledak. Ia tidak tahan lagi dengan situasi ini. Ia meletakkan pisau dan kentang di atas meja, mencacahnya menjadi kecil-kecil, seolah melampiaskan emosinya pada sayuran malang itu.

Kemudian ia melangkah pergi dengan kaki yang dihentakkan, bagai badai yang menyapu ketenangan. Sandra melotot, tak menyangka jika Regina akan seberani itu. Bima hanya tersenyum tipis, sangat tipis, seolah hanya ia seorang yang tahu arti senyuman itu.

Sang ibu hanya bisa mengode Bima lewat bahasa mata, matanya melotot seakan bersiap loncat dari tempatnya.

Malam itu, Regina tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang Riana dan masa lalu Bima. Ia bertanya-tanya, apakah ia bisa bersaing dengan wanita itu? Apakah ia cukup kuat untuk mempertahankan cintanya?

Saat ia sedang melamun, Bima masuk ke kamar. Ia melihat Regina yang sedang gelisah. Mengetahui Bima masuk, Regina dengan sengaja membalikkan tubuhnya secara kasar hingga kasur tempatnya berbaring bergoyang.

Bima tersenyum kecil, melihat kelakuan wanita yang belum genap sebulan menjadi istrinya itu.

"Ada apa, Nona?" tanya Bima.

"Tidak apa-apa," jawab Regina singkat.

Bima duduk di samping Regina, meraih tangannya. "Katakan padaku. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu."

Regina menatap Bima, matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan segala gundah yang ia rasa. "Siapa Riana?" tanyanya.

Bima terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Dia... mantanku."

"Kamu masih mencintainya?" tanya Regina, suaranya bergetar, takut mendengar jawaban yang akan menghancurkan hatinya.

Bima menggeleng. "Tidak. Aku sudah menikah denganmu. Kamu adalah istriku."

"Tapi, dia bilang dia merindukanmu," ucap Regina. "Apakah dia yang akan kamu nikahi?" sambungnya.

Mata Bima membulat, terkejut Regina masih mengingatnya, kejadian dua minggu lalu saat ayahnya mengerjai dirinya.

Bima menggeleng. "Bukan, kan sudah saya bilang kalau yang itu akal-akalan ayah, Nona," ungkap Bima.

"Menikahlah dengannya besok, aku akan pulang. Uang pun sudah kamu terima dari ayah," ucap Regina dengan bibir bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan. Setelah mengatakan itu, ia langsung membelakangi Bima, memaksa diri untuk tidur, meski hatinya hancur berkeping-keping.

Bima menghela napas kasar. Ia memilih untuk menggelar kasur lipat di lantai, kemudian duduk bersila sambil bersandar pada dinding kayu.

Ia bingung, bagai bidak catur yang kehilangan arah, harus bagaimana menjelaskan pada Regina jika dirinya sudah tak ada hubungan dengan Riana.

Matahari sudah menampakkan sinarnya, membelah kegelapan malam. Pagi ini, Regina sengaja tak langsung keluar dari kamar. Ia sedang haid, jadi ia pun tak melaksanakan shalat.

Perutnya yang terasa nyeri membuatnya merasa malas untuk bangun dari pembaringan. Ia meraih ponsel, mengusap layarnya, ingin melihat jam.

"Baru jam delapan," ucapnya lirih.

Ia menoleh ke jendela. Secangkir susu hangat sudah tersedia di sana, bagai oase di padang gurun. "Siapa yang buat?" ucapnya dalam hati. Susu cokelat hangat dan roti dengan selai cokelat kesukaannya sudah siap, menunggunya.

Ia menyeruput susu hangat, sesekali meniupnya, menikmati setiap tegukan yang mengalirkan kehangatan ke tubuhnya. Sayup-sayup, ia mendengar suara orang bergaduh, seperti pasar yang baru dibuka.

Ia pun meletakkan gelasnya dan perlahan membuka pintu kamarnya. "Kok cuma segitu? Ke mana sisanya? Mau sampai kapan kamu menunggak utang, Sundari?" ucap Bulek Darmi, yang diketahui ialah adik dari almarhum ayah Bima, yang berarti adalah adik ipar sang mertua. Suaranya setajam belati, menusuk pendengaran.

"Sabar, Bima sedang usaha," ucap ibu mertua dengan nada bergetar, bagai daun yang diterpa angin kencang.

Bulek Darmi langsung pergi dari rumah, bagai elang yang menyambar mangsanya. Regina, yang merasa ada sesuatu yang ganjal, memilih membuntuti Bulek Darmi diam-diam, bagai mata-mata profesional.

Sampai di sebuah gang kecil nan sempit, hanya bisa dilewati pejalan kaki, Bulek Darmi berhenti. Tak lama, seorang pria mendekatinya. "Gimana? Dibayar semua?" tanya pria itu.

"Nggak, cuma separuh," ucap Bulek Darmi kesal.

"Nggak papa, kamu sudah bilang kan kalau tidak segera dilunasi, utangnya malah akan beranak-pinak," ucap pria itu sembari menghitung uang gepokan yang diberikan Bulek Darmi.

Sudah cukup mereka membagi uang yang diberikan oleh Sundari, ibu mertua Regina, mereka pun membubarkan diri, bagai kawanan serigala yang kenyang.

Regina pun ingin pulang ke rumah mertuanya, namun dering ponsel mengejutkannya, memecah keheningan. Di layar terpampang nama pemanggil: Bima.

Regina tak langsung menerima panggilan tersebut. Ia malah memilih mensilent ponselnya dan melanjutkan langkahnya untuk pulang. Jalanan yang becek membuatnya kesulitan berjalan, bagai meniti jembatan yang rapuh. Sendal tepleknya tersangkut di tanah yang lengket, bagai terperangkap dalam lumpur hisap.

Mau tak mau, ia menjinjing sepasang sendalnya dan memilih bertelanjang kaki, merasakan dinginnya tanah yang menusuk telapak kakinya. Sesampainya di rumah, ibu mertuanya panik melihat sang menantu sudah seperti sapi yang habis membajak sawah.

"Hahaha, habis bajak sawah ya kamu," ejek Sandra, bagai lebah yang menyengat.

"Ya ampun, Nduk, kamu dari mana? Kenapa kakinya sampai kotor begitu?" ucap ibu mertua, dengan nada khawatir.

Mendengar suara ibu sedang berbicara, Bima keluar dari kamar. Matanya dan mata Regina bersirobok, bagai dua bintang yang bertabrakan. Namun, sorot mata Regina lebih tajam, menyimpan amarah yang membara.

Setelah mencuci bersih kakinya, Regina memilih untuk masuk ke kamar, ingin membersihkan diri dari segala kotoran yang menempel. Baru saja membuka pintu kamar, tangannya langsung ditarik masuk, bagai ikan yang terpancing.

Bima yang menarik tangannya. "Dari mana? Kenapa saya telepon nggak diangkat?" Pertanyaan Bima beruntun, bagai rentetan peluru yang ditembakkan tanpa ampun. Namun sayang, alih-alih menjawab pertanyaan Bima, Regina malah mengambil handuknya yang tersampir tepat di atas kepala Bima, mengabaikannya seolah ia tak kasat mata.

Ia membuka koper, mengambil baju ganti, lalu keluar dari kamar, meninggalkan Bima yang terpaku dengan seribu pertanyaan di benaknya. "Ibu harus bayar hutangnya semua, Buk. Kalau nggak, utangnya bisa manak lagi, tambah banyak lagi," ucap Sandra, bagai burung gagak yang menagih bangkai, menginginkan harta mertuanya.

"Utang? Utang apa, Buk?" tanya Regina dengan mata menyelidik, bagai detektif yang mencari petunjuk.

Kedua wanita itu terkejut melihat Regina yang sudah berdiri di ambang pintu dapur, bagai hantu yang tiba-tiba muncul. "Heh... menantu baru nggak perlu tahu. Kamu juga nggak mungkin bisa bayarkan utang Ibu, kan," ucap Sandra ketus, bagai duri yang menusuk hati.

"Tergantung," ucapannya menggantung di udara, bagai pedang yang siap dihunus. Regina berjalan mendekati dua wanita yang duduk di lantai, menatap mereka dengan tatapan tajam.

"Tergantung Ibuk mau cerita sama aku apa nggak," ucap Regina, menatap wajah sang ibu mertua yang sudah tak lagi muda, wajah yang seolah menyimpan beban bertahun-tahun, wajah yang seolah bingung, entah apa yang dipikirkan oleh mertuanya itu.

Regina menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah mencari sesuatu yang hilang. "Buk, di mana sembako bawaanku kemarin?" tanyanya.

"Sudah dijual buat nutupin utang Ibu di warung Mpok Nah," jawab Sandra dengan cepat, bagai burung beo yang terlatih.

"Sebanyak itu?" tanya Regina tak percaya, suaranya meninggi, bagai petir yang menggelegar. "Ibu sudah tua, nggak mungkin berutang sebanyak itu. Dan lagian, di sini ada kalian, dua menantu Ibu, masa nggak bisa kasih makan Ibu?" ucap Regina berang, amarahnya meluap, bagai air bah yang tak terbendung. Ia jengkel, marah, dengan apa yang ada di depannya kini, dengan ketidakadilan yang merajalela.

"Heh, kamu itu nggak tahu apa-apa, nggak usah banyak omong, ya," ucap Sandra jengah, bagai ular yang mendesis. Ia mengangkat tangannya, ingin menampar pipi Regina, bagai petir yang hendak menyambar.

Hap!

Tangannya menggantung di udara, membeku di tengah jalan, bagai patung yang kehilangan nyawa.

Bukan Upik Abu

Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangat ku ❤️

See you ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

1
🚨🌹maly20🌹🏵️
Bagus banget nih novel, author terus berkarya ya!
Ceriwis: Alhamdulillah 😍 terimakasih ❤️
total 1 replies
Azure
Endingnya puas. 🎉
Ceriwis: Alhamdulillah 😍 kalau kakak puas 😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!