Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Jakarta
Mobil Galih melaju dengan kecepatan tinggi. Sejak tiga puluh menit yang lalu meninggalkan Wonosobo, belum ada pembicaraan diantara mereka, keduanya masih larut dalam pikiran masing-masing. Arumni menatap jalan depan dengan tatapan kosong, sesekali Galih hanya melirik.
"Arumni." Galih mencoba membuka obrolan.
"Iya, mas." jawabnya singkat, tanpa menatap Galih.
"Menurut mu, lebih suka tinggal di Jakarta atau di Wonosobo?" tanya Galih asal.
"Tinggal di mana saja sebenarnya aku suka, mas, asalkan sama kamu."
Galih sempat bahagia mendengar kalimat itu. Sudut bibirnya sempat melengkung membentuk bulan sabit. Galih jadi berpikir, bahwa Arumni akan mudah menerima kenyataan dan sudah memaafkannya.
"Tapi harusnya jangan ada orang ketiga, apa lagi dia sampai hamil." Sambung Arumni. "Itu yang tidak bisa aku Terima dengan lapangan dada, rasanya sulit."
Senyum Galih seketika menyusut. "Aku salah bicara, ya?"
"Bukan salah bicara, mas. Karena semua sudah terjadi dan tidak bisa dirubah."
"Tapi aku akan menceraikan Mita saat dia sudah melahirkan, dan kita bisa memulainya dari awal, Arumni! "
Arumni membenarkan posisi duduknya, ia menghela napas sambil bersandar dengan kepala menengadah ke langit-langit mobil. "Kamu pikir akan semudah itu ya, mas?" Arumni kembali menghela napas.
"Memangnya kenapa lagi, Arumni? Aku dan Mita sudah sepakat, dan semua selesai kan?"
"Lalu anak kalian, bagaimana? Kalian jadi orang tua jangan egois, semudah itu membuat kesepakatan tanpa memikirkan mental anak?" nadanya mulai meninggi.
"Jadi menurut mu aku harus bagaimana, Arumni!" Bentak Galih, sambil membanting setir ke arah kiri dan berhenti tiba-tiba. "Aku sudah cukup sabar mengerti perasaan mu, aku cerai sama Mita salah, ngak cerai pun lebih salah, oke! aku akui aku bersalah padamu, aku sudah berkali-kali minta maaf, tapi ucapan mu terus menyudutkan aku." Galih terlihat sangat marah.
Arumni masih bersandar, diam tanpa suara sambil memejamkan matanya. Arumni tidak peduli akan semarah apa Galih padanya, itu tidak sebanding dengan luka yang Arumni rasakan.
Tiba-tiba Galih menangis tergugu. "Jangan hukum aku seberat ini, Arumni."
Mendadak Arumni jadi ikut menangis, Galih begitu menyesali perbuatannya, namun semua penyesalannya tidak bisa merubah suasana hati Arumni.
"Maafkan aku, mas. Mungkin aku belum terbiasa dengan situasi ini." napasnya tercekat. "A- aku, aku akan berusaha menyediakan ruang ikhlas di hati, agar aku terbiasa dengan situasi ini." ucapnya terbata.
Arumni duduk menunduk sambil meremas jari-jarinya, butiran kristal berjatuhan tanpa henti, keduanya larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Galih mulai melaju dengan kecepatan rendah, hatinya sungguh berantakan.
Galih dalam posisi serba salah karena ulahnya sendiri, mereka lebih memilih diam daripada bicara akan membuat mereka saling menyakiti.
Di tengah perjalanan Galih menghentikan mobilnya di sebuah rumah makan, untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya.
Galih membukakan pintu untuk Arumni, sampai mereka duduk satu meja dan makan bersama, keduanya tak ada niat untuk memulai obrolan. Di meja makan itu mereka terasa seperti orang asing, hingga secara kebetulan Arumni bertemu dengan salah satu teman sekolahnya.
"Arumni? kamu Arumni kan?" sapa seorang wanita yang tengah mengendong bayi.
Arumni menoleh ke arah sumber suara. "Salwa? apa kabar mu? kamu sedang apa di sini? ini anak mu?" tanya Arumni.
"Iya, ini anak ku. Suami ku sedang ke toilet, kita akan pulang ke Bogor."
"Eh iya, duduk Wa!" Arumni mempersilahkan Salwa untuk duduk bersamanya.
"Aku sepertinya pernah lihat, ini siapa ya Arumni?" Salwa menunjuk Galih setelah duduk bersama mereka.
Arumni mengulas senyum, "Ini mas Galih, kalau kamu pernah lihat ya wajar." ucapnya sambil tertawa kecil.
Galih melebarkan senyuman. "Pernah lihat dimana, Salwa?" tanya Galih sok akrab.
"Ah, iya." Salwa pun jadi teringat. "Ini yang menjadi alasan setiap kali kamu meninggalkan jam pelajaran kan, Arumni?" ucapnya sambil melirik Arumni.
Mereka jadi meledakkan tawa, di meja makan itu suasana jadi hangat berkat kehadiran Salwa.
"Kalian hubungannya awet banget?" canda Salwa. "Jarang-jarang loh, pacaran saat sekolah bisa sampai menikah."
"Iya, Salwa. Alhamdulillah."
Arumni tidak ingin temanya itu sampai tahu tentang keretakan rumah tangganya. Mereka ngobrol tentang hal-hal yang baik saja, hingga suami Salwa pun tiba di sana.
"Sayang, aku cari di sana ternyata kamu di sini?" ucap suami Salwa dengan suara lembutnya.
"Iya, maaf sayang. Aku melihat Arumni di sini, makanya aku ke sini."
Mendengar obrolan mereka begitu hangat membuat Arumni ingin kembali ke masa sebelum suaminya itu berkhianat. Dulunya Galih sehangat itu, bahkan terasa lebih dari itu.
Mereka berkenalan dan saling menyapa, karena waktu sudah cukup malam dan mereka harus segera melanjutkan perjalanannya, mereka pun mengakhiri kebersamaan itu.
Arumni membenamkan kecupan di dahi, pipi kanan dan kiri, bayinya Salwa. "Sehat-sehat ya, sayang." ucapnya sebelum Salwa memasuki mobil.
Salwa tersenyum. "Semoga kalian segera mendapatkan momongan, ya?"
"Aamiin." jawab Galih.
Sementara Arumni hanya mengulas senyum sambil melambaikan tangan untuk mereka. Galih merangkul pundak Arumni, membuat hati Arumni terasa menghangat, mereka pun segera melanjutkan perjalanannya ke Jakarta.
Sejak pertemuannya dengan Salwa, mereka jadi lupa akan ujian yang sedang menimpa mereka. Satu jam perjalanan yang mereka tempuh dari rumah makan itu, tangan Arumni belum lepas dari gengaman Galih sedikitpun.
Galih terus tersenyum bahagia, sesekali ia mengecup tangan Arumni dengan tangan satu memegang setir mobil.
Galih melirik Arumni. "Kamu tidak tidur, Arumni? "
"Aku ngak ngantuk, mas."
"Mau minum, atau makan sesuatu?"
Arumni menggelengkan kepalanya.
"Terimakasih ya, Arumni, aku bahagia melihat mu seperti ini, aku janji setelah menyelesaikan urusan ku dengan Mita, aku hanya akan membuatmu bahagia. Kamu sabar dulu ya, sayang?"
Arumni hanya mengulas senyum.
**
Pagi itu Galih dan Arumni sampai di rumah Galih yang di Jakarta. Terlihat Mita sedang berjalan tanpa alas kaki di area rumah. Mita segera menghampiri mobil Galih yang baru saja sampai di depan.
Arumni keluar sebelum Galih membukakan pintu, ia pun mengulas senyum untuk Mita.
"Mbak Arumni!" sapa Mita.
Arumni yang baik hati, mengesampingkan rasa sakitnya, Arumni memberi pelukan hangat pada Mita.
Cairan bening pun membasahi pipi Mita. "Maafkan aku, mbak!" lirih Mita dipelukan Arumni.
Arumni mengusap punggung Mita, ia melepas pelukan sambil tersenyum. "Semua sudah terjadi, aku hanya berusaha ikhlas, Mita." napasnya tercekat, ia hampir melelehkan butiran kristal, namun harus berusaha tegar.
"Mita, ini pesanan mu." Cetus Galih sambil membopong lima dus minuman carica. Galih lupa, bahwa ada hati yang harus ia jaga. Galih harus super hati-hati saat bicara pada Mita, agar tidak membuat Arumni merasa cemburu secara berlebih.
Sudut bibir Mita melengkung, ia nampak sangat bahagia, karena keinginannya minum carica tercapai. "Terimakasih, mas!" ucapnya sambil membuka kardus paling atas di tangan Galih, Mita langsung meminumnya saat itu juga, layaknya seseorang yang sedang berjalan kaki di padang pasir.
"Jadi, carica itu untuk Mita? padahal mas Galih bilang untuk tetangga yang pesan." Arumni memalingkan wajahnya saat melihat pemandangan itu.
Entah bagaimana jadinya, jika Arumni bersama mereka lebih lama, baru melihat pemandangan sesederhana itu saja rasanya bagai tersulut api.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi