‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03 : Menolak
Dahayu melirik sekilas sang ibu, memastikan bila sosok kesayangannya itu masih asik dengan dunianya sendiri. Kemudian kembali fokus memandang lekat tepat pada manik hitam pekat, sedikitpun tidak menghiraukan tatapan menghunus bak mata pisau runcing yang dilayangkan istri dari si pria.
“Saya hanya ingin memastikan masa depannya terjamin. Bukankah anak yang terlahir dari pernikahan siri, tak akan diakui oleh negara? Dan juga dia tidak berhak terhadap warisan ayahnya, betul ‘kan?”
Meskipun hanya lulusan SMP, tapi bukan berarti dia tidak tahu tentang hukum pernikahan agama dan negara, selama ini ia hobi membaca, menonton berita, agar memiliki wawasan luas.
“Ku kira kau sesederhana penampilanmu, tapi ternyata begitu picik. Belum apa-apa sudah memikirkan soal warisan, kelihatan sekali ingin menguasai harta suamiku. Perlu ku ingatkan! Bayi yang kau lahirkan nanti, hanya akan diakui sebagai anak biologis mas Amran dan diriku, kau sama sekali tak berhak. Mengerti?!” Sira menyilangkan kakinya, gayanya sangat arogan.
Dahayu terkekeh, nada sumbang nya sarat akan ejekan. “Anda lucu sekali Nyonya. Belum juga mengenal saya, tapi sedari tadi sudah entah berapa kali menyemburkan racun lewat perkataan tak masuk akal. Sebegitu takutnya kah kalau harta suami Anda jatuh ke tangan wanita asing?”
“Tentu saja bu_kan,” jawabnya terbata-bata, tak menyangka mendapatkan balasan telak.
“Terserah Anda mau menuduh bahkan mencap saya seperti apa. Sebagai seorang wanita yang akan mengandung selama sembilan bulan, lalu setelahnya meninggalkan darah dagingnya untuk diasuh oleh orang lain – bisa jadi seumur hidup takkan pernah berkesempatan bertemu lagi, bukankah wajar bila saya ingin memastikan masa depannya nyaman, aman, tak kekurangan sesuatu apapun?” Dayu menaikkan kedua alisnya, menatap sepasang suami istri secara bergantian dengan raut datar.
“Tapi, tak perlu juga dengan menikah resmi, secara siri saja sudah cukup, yang penting sah!” sanggah Sira, tidak mau kalah dan keukeuh menolak.
Amran sendiri masih duduk tenang, menyandarkan punggungnya pada sofa, kaki kirinya bertumpu di atas lutut sebelah kanan.
“Sah di mata agama, namun tidak dengan negara, apa untungnya coba? Mungkin bagi saya tak masalah karena pernikahan ini hanyalah bersifat sementara. Tapi, tidak dengan si jabang bayi! Siapa yang bisa menjamin masa depannya, sedangkan hati manusia sukar ditebak. Apalagi dia akan dibesarkan oleh sosok ibu tiri yang mana tak memiliki ikatan darah dengannya. Untuk sekarang Anda bisa mengatakan setuju, tapi di masa depan siapa yang tahu.”
Wajah Sira merah padam, baru pertemuan pertama, tapi hatinya sudah membenci wanita dihadapannya ini.
“Saya setuju!” jawaban tegas itu langsung mendapatkan respon berbeda dari kedua wanita.
“Mas! Dirimu apa-apaan sih?!” Masira mengguncang lengan suaminya, mencoba mencari perhatian penuh, tapi tidak hiraukan.
“Kalau Anda telah setuju, saya harap secepatnya membuat surat perjanjian! Agar tak ada yang dirugikan, ataupun ingkar janji.”
“Tak ada surat perjanjian. Pernikahan ini akan dilakukan seperti pada umumnya,” ujarnya tegas, netranya menatap tepat manik Dahayu.
“Tak bisa seperti itu!” Dahayu berseru spontan, tubuhnya ikutan kaku. "Anda juga harus memastikan terlebih dahulu, kalau saya sehat serta memiliki rahim yang subur."
“Betul itu! Harus ada surat perjanjian seperti yang sudah aku berikan kepada Bandi! Begitu dia melahirkan.” Tunjuknya pada Dayu. “Maka, harus segera diceraikan dan pergi dari kehidupan kita!”
Kali ini netra Amran – menatap tajam manik hitam wanita yang telah dinikahinya selama 5 tahun. “Apa harus sampai sejauh ini kau bertindak seorang diri, Sira? Pertama, tanpa memberi tahu terlebih dahulu, dirimu memutuskan mencari wanita lain untuk menampung benih ku, lalu tanpa persetujuan dariku ... langsung saja tanda tangan surat perjanjian dengan imbalan bangunan ruko yang mana sertifikatnya atas namaku. Sebetulnya yang kepala keluarga, aku atau kau?”
Mendapatkan tatapan menghunus, kata-kata rendah nan tajam, tubuh Sira seketika menegang, keberaniannya menguap entah kemana. Ia memang salah, bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu, meremehkan sang suami yang jelas-jelas memiliki sifat mendominasi.
“Ma_af, Mas. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga kita,” ucapnya mencari aman.
Namun, Amran tidak menanggapi, ia memilih berdiri. “Persiapkan dirimu! Seminggu lagi kita menikah, di sini!”
Kening Dahayu mengernyit, ia tidak dapat menebak jalan pikiran pria yang sudah berlalu itu. Bukan ini yang dia harapkan, setidaknya ada perjanjian jelas hitam di atas putih, bermaterai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Setelah kepergian Amran, dua wanita tadi sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai tidak menyadari sosok pria lain telah berdiri di hadapan mereka.
“Nona Dahayu!”
Yang dipanggil langsung mendongak, menelisik penampilan pria berpakaian rapi, kemeja kotak-kotak, celana jeans panjang, wajah oriental nya berkulit sehat.
“Perkenalkan, saya Randu. Asisten Tuan Amran,” ucapnya tanpa mengulurkan tangan.
“Anda sudah boleh kembali ke afdeling 5, bila nanti berkas syarat pernikahan telah lengkap, saya akan memberitahukan kepada Anda,” lanjutnya dengan intonasi sedang dan sopan.
Dahayu tidak langsung menanggapi, apalagi beranjak dari duduknya, banyak yang ia pikirkan, mencoba menerka kejanggalan ini. ‘Sampai mana mereka memberi informasi tentangku? Mengapa pria tadi seakan telah mengenal diri ini? Bagaimana mungkin ia menanggapi permintaanku dengan begitu mudah serta terkesan santai?’
“Adik!”
Teriakan melengking Bu Warni membuyarkan lamunan Dahayu, ia langsung menoleh ke arah ibunya.
“Lapar. Makan!”
Dahayu menatap jam murahan di pergelangan tangannya, ternyata sudah masuk tengah hari. Ia mengedarkan pandangannya, sudah tidak ada sosok wanita arogan tadi, tapi asisten yang katanya bernama Randu, masih berdiri kokoh tidak jauh dari tempatnya duduk.
“Ayo pulang, Buk!” Ia berjongkok, memungut kartu domino dan kembali memasukkan ke dalam plastik, kemudian menuntun ibunya keluar dari hunian terbilang mewah.
***
“Apa dia sudah pulang?” tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari lembaran kertas yang sedang diperiksa.
“Sudah, Tuan.”
“Kau urus semuanya, gunakan uang serta kekuasaan agar berkas pernikahan itu cepat selesai!”
Randu mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”
Selepas kepergian sang asisten, Amran menyudahi kegiatannya, lalu membuka laci meja kerja, mengeluarkan satu map, dan membukanya. Netranya langsung disuguhi potret wanita berambut pendek, lengkap dengan data dirinya.
Pria berumur 30 tahun itu menatap lekat sosok yang memiliki kecantikan natural – tersembunyi dibalik busana serba longgar. Ia akui, bila Dayu memiliki daya tarik tersendiri, terlebih tatapan matanya yang menyimpan luka berbingkai amarah.
.
.
Sementara di lantai dua, tepatnya di kamar utama. Masira tengah mengamuk, membanting lampu tidur. “Kurang ajar! Tak bisa dibiarkan! Aku harus membatalkan pernikahan itu!”
Sira mengambil ponselnya, mencoba menghubungi seseorang, tapi sudah tiga kali panggilan tetap belum ditanggapi.
Akh … ia kembali berteriak, niat hati ingin mengamankan harta sang suami agar tidak jatuh ke tangan orang lain, dirinya mengusulkan ide gila. Awalnya hanya ingin menyewa rahim wanita lain, dikarenakan dirinya divonis sulit memiliki keturunan.
Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah oleh sang mertua, berujung suaminya harus melakukan kontrak pernikahan siri.
***
Seminggu telah berlalu, usaha Masira sia-sia. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut, kini dirinya terpaksa menyaksikan pernikahan kedua suaminya.
Tepat di ruang tamu villa, sosok gagah bersahaja itu menjabat tangan pak penghulu.
“Baik, apa sudah bisa kita mulai…?”
.
.
Bersambung.
Crasssssshh!!!!!!!
kurang apa aku sayaaaaanggggg
sudah tampan Maksimal,bau uang
tanah beribu hektaaarrrr
gak bisakah kau akui, kau banggakaaaaaaannnnnn????????😬😡
dia lupa kalo status ini rapuh
status sementara,cuma kesepakatan
ada tembok tinggi menjulang surat perjanjian
lupa paaakkkkkk,di karena mabokkkk
za.....mabok asmara 😆😆😆🤭🤭🤭