NovelToon NovelToon
Mencari Suami Untuk Mama

Mencari Suami Untuk Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Single Mom / Anak Genius / Hamil di luar nikah / Anak Kembar / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Alesha Aqira

Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.

Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:

"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5 MSUM

"Halo Meila, aku ada urusan. Nggak bisa hadir ke acara perayaan pesta pameran."

"Kamu juga nggak akan hadir ke pesta? Memang ada masalah apa?"

"Masalah mendesak. Nanti aku ceritain deh."

"Hmm… kamu nggak biasanya kayak gini. Tapi baiklah. Nanti aku update segala hal tentang pestanya, ya."

"Iya, terima kasih, Meila. Maaf banget."

"Tenang aja. Pokoknya semua beres di tangan Meila."

"Sudah, sana lanjutkan urusanmu."

"Okeh, dadah."

___

 

Alia menutup telepon sambil menatap layar ponselnya beberapa detik. Raut wajahnya masih khawatir. Ia baru saja selesai mengisi formulir rawat inap untuk pria yang bahkan belum ia kenal namanya.

Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang IGD.

"Dokter, bagaimana kondisinya?" tanya Alia cepat.

"Pasien dalam keadaan pemulihan. Tidak ada luka serius, hanya kehilangan banyak darah dan kelelahan fisik. Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Anda bisa mengunjunginya nanti," jawab dokter dengan ramah.

Alia mengangguk pelan. "Terima kasih, Dok."

Ia menghela napas lega. Dalam hati, ada sesuatu yang mengganjal. Pria itu… wajahnya seperti familiar, tapi ia tak bisa mengingat dari mana.

"Aneh… kenapa aku merasa aku pernah bertemu dengannya?" gumamnya.

Ia melirik jam tangannya. Pesta pasti sudah dimulai, namun hatinya tak bisa tenang meninggalkan pria itu sendirian.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menunggu hingga ia diizinkan masuk ke ruang rawat.

 ____

Setelah menunggu beberapa saat, seorang perawat menghampiri Alia.

"Ibu, Anda boleh menjenguk sekarang. Pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat 305."

Alia mengangguk dan mengikuti perawat menuju lantai atas. Di depan pintu bertuliskan 305, ia menarik napas dalam-dalam. Rasa penasaran dan gugup bercampur jadi satu.

Perlahan, ia mengetuk pintu lalu membukanya pelan.

Ruangan itu tenang. Seorang pria terbaring di ranjang rumah sakit, infus terpasang di tangannya. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya, meski masih pucat. Luka di pelipisnya sudah dibersihkan dan dibalut rapi.

Alia melangkah masuk. Suara langkah kecil sepatu haknya menggema pelan di ruangan itu.

"Pria ini dikejar-kejar di hotel… perutnya tertusuk pisau…" gumam Alia pelan, menatap Leonardo yang terbaring lemah di ranjang.

Ia melipat tangan di dada, pikirannya penuh tanya.

"Penampilannya seperti ini… apa mungkin dia tahanan yang kabur? Tapi…" Ia menggeleng pelan, menatap wajah pria itu lebih dalam.

Pandangan Alia beralih pada pipi pria itu yang  memucat. Ada bercak merah samar di sana—reaksi alergi atau mungkin karena demam. Tapi justru di situlah, sesuatu terasa mengguncang hatinya.

"Aneh… Arel juga seperti ini kalau sakit. Pipi timbul bercak merah samar, di tempat yang hampir sama."

Tatapannya mematung. Hatinya mencengkeram perasaan yang tak bisa dijelaskan.

"Wajahnya… bahkan bentuk matanya mirip dengan Arel.

Mungkin hanya kebetulan saja gumam Alia pelan.

 ____

"Sudah sadar?"

"Mmm... belum sadar, tapi berani megang tanganku kuat sekali," jawab Alia pelan, setengah bingung, setengah gugup.

Ia menatap tangan pria asing yang masih menggenggam pergelangan tangannya, bahkan dalam keadaan tak sepenuhnya sadar. Cengkeramannya hangat—erat—seolah ada sesuatu yang ingin ia tahan, agar tak hilang lagi.

Alia menghela napas, mencoba menarik perlahan tangannya, namun genggaman itu belum juga lepas. Wajah pria asing itu tampak gelisah, keringat membasahi dahinya.

"Dia seperti sedang bermimpi buruk..." gumamnya, kini menatap penuh rasa iba.

____ 

"Kamu nggak punya apa-apa untuk menunjukkan identitasmu. Aku nggak bisa hubungi keluargamu," ucap Alia, menatap pria di hadapannya yang masih terlihat lemah dan belum sadar.

Pria itu hanya diam. Tatapannya kosong, seperti tengah mencari ingatan yang hilang.

Alia menarik napas panjang. "Sepertinya… aku nggak bisa pulang malam ini."

Ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil ponselnya, lalu menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya.

"Halo, Mamah."

"Halo, sayang."

"Mamah nggak bisa pulang malam ini. Ada urusan yang harus mama selesaikan," ujar Alia lembut.

"Mama sudah minta Tante Meila untuk menemani kalian malam ini. Sebelum Tante Meila datang, kamu dan adikmu harus tetap diam di rumah, ya. Jangan membukakan pintu untuk siapapun."

"Mamah… Mamah, apakah mama memerlukan bantuanku?" tanya Arel di seberang telepon, suaranya terdengar khawatir namun tulus.

Alia tersenyum. "Nggak perlu, sayang. Mama bisa menanganinya."

"Ya sudah. Mama hati-hati, ya."

"Iya, sayang."

"Mama tutup dulu teleponnya, ya."

"Iya, Mama."

"Dadah, Mama!"

Alia menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia menahan napas, lalu berbalik menatap Leonardo yang matanya masih terpejam belum sadar.

"Anak-anak ini… manis sekali. Mereka sangat memperhatikanku," bisiknya dalam hati.

"Kamu sudah sadar?" tanya Alia, mendekat ke sisi ranjang.

"Apakah masih ada yang sakit?"

Leonardo hanya menatapnya dalam diam. Tatapannya kosong, tapi di balik mata itu, ada bayangan samar yang perlahan kembali.

Sekelebat ingatan muncul—kilatan cahaya di lorong hotel, suara langkah tergesa, rasa sakit yang menembus perut, dan darah... banyak darah.

Wajah-wajah tanpa nama, sorakan kasar, lalu sosok yang menarik tangannya—membawanya pergi dari kegelapan.

"Kamu yang menolongku?"

"Kamu mau apa? Kasih tahu aku," kata Leonardo dengan wajah dingin, penuh curiga. Tatapannya tajam, nyaris menusuk, membuat Alia sedikit tertegun.

"Hei, Tuan..." Alia menegakkan tubuh, menyilangkan tangan di dada.

"Aku nggak mau apa-apa darimu. Aku cuma kebetulan ada di tempat kejadian dan melihat kamu terluka. Jadi, aku menolong."

"Kamu yang menolongku, jadi aku harus kasih kamu imbalan."

Suara Leonardo terdengar tegas namun datar, masih dengan nada yang menjaga jarak.

Alia menoleh cepat. Tatapannya menyipit, sedikit tak percaya.

"Sudah kubilang… aku nggak mau apa-apa," ucap Alia dalam hati, menahan rasa kesal yang perlahan tumbuh.

"Tuan, aku nggak perlu imbalanmu.

Anggap saja aku orang baik yang kebetulan lewat saat kejadian itu," ucap Alia sambil tersenyum tipis.

Pria asing itu masih menatapnya, diam. Pandangannya belum sepenuhnya percaya, tapi kali ini tidak ada lagi ketegangan dalam sorot matanya.

"Tuan pasti lapar. Aku cari sarapan keluar dulu."

Pria asing itu hanya mengangguk pelan, tanpa sepatah kata pun.

Alia mengambil tas kecilnya lalu berjalan keluar kamar rawat. Ia melangkah menyusuri lorong rumah sakit.

____ 

Setelah membeli makanan di kantin rumah sakit, Alia langsung kembali ke kamar rawat.

Tangannya membawa sebungkus bubur hangat dan segelas teh manis. Langkahnya cepat, disertai kekhawatiran yang tak ia pahami. Ada dorongan dalam dirinya untuk segera kembali—seolah sesuatu bisa saja terjadi saat ia pergi.

Sesampainya di depan pintu, Alia mendadak berhenti.

Pintu kamar terbuka sedikit. Tidak seperti sebelumnya.

Alia mengetuk pelan. "Tuan? Aku kembali."

Tidak ada jawaban.

Perasaan Alia makin tak enak. Ia mendorong pintu perlahan dan masuk. Ruangan itu… kosong.

Tempat tidur dirapikan seadanya, selang infus dicabut begitu saja, dan jendela kecil di sisi kiri terbuka, menampakkan tirai yang berkibar tertiup angin.

"Tuan?!" panggil Alia lagi, panik.

Ia meletakkan makanan di meja, lalu berlari ke koridor mencari perawat.

"Permisi! Pasien yang tadi di ruang ini, ke mana dia?!"

Salah satu perawat menghampiri. "Pria yang didalam kamar tadi sudah pulang nyonya".

"Baik, terima kasih."

"Sama-sama"

"Ya sudah, aku pulang saja. Mungkin pria itu sudah dijemput keluarganya," gumam Alia pelan, mencoba menenangkan hatinya yang masih gelisah.

Ia menatap sekeliling ruangan untuk terakhir kalinya, lalu menarik napas panjang dan melangkah keluar. Bubur yang tadi dibelinya masih tertata di meja, perlahan menjadi dingin.

1
Evi Lusiana
giliran nengok muka ke duany mirip
Mericy Setyaningrum
Ya Allah ada nama aku hehe
Ermintrude
Gak bisa berhenti!
Mashiro Shiina
Terharu, ada momen-momen yang bikin aku ngerasa dekat banget dengan tokoh-tokohnya.
filzah
Sumpah baper! 😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!