Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sepuluh
Saat itu Arkan berusia sekitar tujuh belas tahun. Masa di mana orang lain sibuk pacaran, nongkrong, atau berantem rebutan tempat nongkrong, tapi dia malah sibuk menyembuhkan luka batin akibat diabaikan Ayahnya sendiri.
Sore itu ia bersepeda sendirian di sekitar kompleks rumahnya. Matahari mulai turun, udara hangat, tapi kepalanya dingin—seperti kulkas dua pintu. Ayahnya dan Arfan, sang kakak sempurna, pergi dengan jas formal, tanpa penjelasan, tanpa pamit, tanpa lirikan sekalipun ke arah Arkan.
Jujur, kadang Arkan merasa dirinya cuma figuran di drama keluarganya sendiri. Kalau Arfan itu pemeran utama yang dapat cahaya spotlight dan musik heroik, maka Arkan adalah... pohon di belakang panggung. Tidak punya dialog, tapi ikut stres.
Lucunya, sebutan “pembuat onar” sudah menempel di dirinya sejak kecil. Padahal, orang yang dibilang pembuat onar ini, tidak pernah bolos sekolah, tidak pernah nyontek, apalagi membuat masalah dan rankingnya selalu satu.
Satu-satunya hal yang pernah dia “onar”-kan hanyalah ketika ia jatuh sakit tapi tetap masuk sekolah dan pingsan di depan guru matematika.
Namun semua prestasi itu tak pernah berhasil membuat sang ayah menatapnya seperti menatap Arfan. Tak pernah sekalipun ada ucapan “Ayah bangga padamu, Nak.”
Yang ada cuma tatapan datar dan kalimat, “Kamu bisa lebih baik dari itu.”
Sialnya, “lebih baik dari itu” sudah dia kejar sampai hampir tumbang. Tapi tetap saja tak sampai.
Karena ternyata bukan soal prestasi—melainkan soal wajah.
Arkan mewarisi wajah ibunya. Dan ibunya... adalah luka terbesar ayahnya.
Wanita itu kabur bersama sahabat dekat sang ayah, membawa sebagian surat berharga perusahaan, dan meninggalkan kekacauan.
“Setiap lihat wajahmu, aku teringat padanya,” kata ayahnya waktu itu.
Kalimat sederhana, tapi efeknya kayak peluru.
Arkan tidak pernah bisa membenci ibunya, meski alasan ayahnya masuk akal.
Jadi ia memilih diam. Menanggung semuanya, berharap dengan begitu ayahnya bisa tenang.
Walau nyatanya, yang tenang cuma lingkungan sekitar, bukan batinnya.
***
Arkan terbangun dari mimpi masa lalu itu. Napasnya berat. Tubuhnya berkeringat dingin.
Ia butuh waktu beberapa detik untuk menyadari kalau ia sedang di kamar hotel. Dan di sebelahnya—terdapat Elira, si tunangan dengan bibir manis dan kepribadian seperti petasan.
Gadis itu tidur pulas, memeluk pinggangnya erat seperti boneka guling.
Arkan menatap wajahnya lama, lalu menghela napas.
Sial. Ia baru ingat... sebelumnya mereka jatuh tertidur setelah Elira sibuk “menceritakan” sesuatu dengan gaya yang sangat tidak akademis.
Dan sekarang, tiap kali mengingat ekspresi gadis itu, Arkan ingin menampar pipinya sendiri biar sadar.
Wajah imut begitu tidak seharusnya bisa tampak... se-provokatif itu.
Bahkan sekarang pun tubuhnya refleks bereaksi. Sumpah, ini bukan salahnya—ini biologi.
Ia buru-buru menarik selimut dan menutupi paha Elira yang terlihat tanpa malu.
Kalau ia pria brengsek, habislah gadis itu dari dua jam lalu. Tapi untungnya ia masih punya iman, meskipun imannya sekarang duduk di ujung kursi, gemetaran.
Arkan duduk di sofa kecil di seberang ranjang. Melirik jam—pukul tujuh malam. Berarti mereka sudah di kamar ini lima jam.
Ia menimbang-nimbang untuk membangunkan Elira, tapi wajah tidur gadis itu terlalu damai.
Namun kedamaian itu pecah begitu bel kamar hotel berbunyi nyaring.
Elira menggeliat pelan, meraba sisi kasur yang kosong. “Daddyyy~?” gumamnya dengan suara serak manja.
Arkan langsung menatap langit-langit. Dalam hati, ia berdoa agar Tuhan memaafkan seluruh pikirannya yang sekarang berpotensi haram.
Bel berbunyi lagi.
“Daddy~ kenapa diam aja?” rengeknya sambil menggeliat, rambut acak-acakan menutupi sebagian wajah.
Arkan hanya duduk diam. Ia ingin tahu sampai mana gadis itu sadar.
Ketika Elira akhirnya bangun sepenuhnya dan menatapnya, pipinya langsung merah. “Kenapa lihat aku begitu sih?”
“Karena kamu masih... begitu.”
“Begitu bagaimana?"
“Begitu... tanpa... celana.”
Elira menatap selimut, lalu menatap Arkan dengan senyum nakal. “Mau lihat lagi?”
Arkan nyaris terbatuk. “Tolong jangan goda aku pagi-pagi begini.”
“Ini udah malam, Daddy~”
Bel kamar berbunyi lagi.
“Siapa, sih?” tanya Arkan, akhirnya menyerah.
“Mungkin Farhan. Aku minta dia bawa baju ganti.”
“Farhan siapa?” nada suaranya meninggi setengah oktaf.
“Pengawal pribadi Baby Lira~ jangan cemburu dong, Daddy,” kata Elira sambil nyengir.
“Aku tidak cemburu! Aku cuma... menjaga situasi.”
Arkan berdiri dan berjalan ke pintu. “Biar aku yang buka. Kamu tidak pakai celana. Jangan salah paham.”
Elira menahan tawa. “Farhan sudah sering lihat aku tanpa celana, santai aja~”
Arkan berhenti di tengah langkah. “APA?!”
“Waktu fitting baju, maksudku. Astaga, Daddy, pikirannya kotor sekali~”
Arkan menutup wajahnya dengan satu tangan. “Kau akan membunuhku suatu hari nanti, Lira.”
Begitu pintu dibuka, terlihat pria berjas rapi membawa tas kecil.
“Sore, Tuan Arkan. Saya Farhan. Nona muda meminta saya membawa pakaian ganti.”
Arkan mengulurkan tangan. “Kemarikan.”
Farhan menyerahkan tas itu, dan pintu langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan apapun.
Farhan sempat menghela napas di luar kamar.
Kalau Arkan bukan tunangan Elira, sudah ia pukul sedari tadi.
Di dalam kamar, Arkan menyerahkan tas itu ke Elira.
“Nih.”
“Mana Farhan-nya?”
“Pulang.”
“Lho, terus siapa yang bantu aku pakai bajunya?”
“Ya, kau pakai sendiri.”
“Tapi Baby Lira tidak bisa~”
Arkan menatap gadis itu datar. “Serius?”
Elira mengangguk dengan wajah polos yang ia buat-buat.
“Lira... kau manusia normal, kan? Tanganmu lengkap?”
“Lengkap.”
“Berarti kau bisa pakai baju sendiri.”
“Tapi Baby Lira pengen dibantu Daddy~”
Arkan sudah setengah pingsan mental. Tapi ia mencoba waras.
“Baiklah. Akan kubantu.”
“Yang benar?!” Mata Elira berbinar.
“Ya. Tapi jangan—”
Sebelum kalimatnya selesai, Elira langsung melepas kancing kemejanya.
Dalam tiga detik, kemeja putih itu jatuh ke lantai.
Arkan refleks menutup mata. “WO—WO—WO, ELIRA! KENAPA LEPAS SEMUANYA?!”
“Karena mau ganti baju, Daddy~” katanya santai, sambil—ya Tuhan—melepas celana dalam merahnya tanpa rasa bersalah.
Arkan membalik badan cepat-cepat dan menatap tembok.
“Kenapa aku masih di sini... kenapa aku masih di sini...” gumamnya pelan, setengah panik.
Elira menahan tawa, bahunya berguncang. Godaan sukses. Ekspresi Arkan terlalu lucu.
“Baby Lira tidak bisa pasang kancing sendiri~ bantuin, Daddy~” katanya sambil memegang lengan Arkan.
Arkan langsung kaku seperti patung.
“Lira... pakai bajumu sendiri. Aku percaya kau bisa. Kau bukan anak TK.”
“Baby Lira tidak bisa~” rengeknya lagi.
Dalam hati Arkan menangis. Tuhan, kalau aku bisa melewati ujian ini, aku janji tidak akan marah-marah lagi ke pegawai telat lapor bulanan.
Sementara itu, Elira sudah tertawa setengah mati dalam hati.
Tentu saja dia bisa pakai baju sendiri. Tapi menggoda Arkan jauh lebih seru daripada menonton drama di Netflix.
Dan di sanalah Arkan, masih berdiri menghadap tembok, setengah hidup setengah trauma, menatap ke arah langit-langit sambil berkata pelan,
“Besok aku harus puasa bicara sama perempuan.”
Elira tertawa kecil, menyampirkan gaun barunya, lalu melirik ke arah Arkan dengan mata nakal.
“Kalau Daddy-nya puasa, Baby Lira-nya yang lapar nanti~”
Arkan cuma bisa menatap kosong ke arah dinding.
Benar-benar bencana bernama Baby Lira.