Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 35.
Paginya, sinar matahari menyelinap lewat tirai jendela rumah Raisa. Ia terbangun dengan kepala sedikit berat, bukan karena lelah fisik melainkan karena perasaan yang bercampur aduk. Ada lega, ada takut, ada sesuatu yang tak bisa ia beri nama.
Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai pelan. Di bawah sana, di seberang jalan sebuah mobil hitam masih terparkir. Daniel... pria itu benar-benar tidak pulang semalaman.
Raisa menggenggam kain tirai lebih erat.
Di dalam mobil, Daniel membuka mata setelah beberapa jam tidur singkat. Punggungnya terasa kaku, tapi matanya segera tertuju ke jendela lantai dua rumah itu. Ia melihat bayangan Raisa di balik tirai, sekilas saja, lalu menghela napas panjang.
Teleponnya bergetar, panggilan dari Rendra.
“Dia aman?” suara di seberang terdengar datar.
“Ya, Tuan. Saya berjaga di sini semalaman.” Jawab Daniel singkat lalu telepon mati.
Raisa duduk di ruang tengah yang sepi.
Tiba-tiba, ada bunyi ketukan pelan di pintu. Ia berjalan hati-hati, membuka pintunya sedikit. Dan di luar sana, Daniel berdiri.
“Boleh aku masuk? Hanya sebentar...” suara Daniel rendah tapi jelas, di kedua tangannya ada dua papar bag kertas.
Raisa menatap pria itu lama, antara ingin menolak namun rasa penasaran lebih mendominasi. Ia pun membuka pintu lebih lebar, membiarkan Daniel melangkah masuk.
Aroma kopi yang sudah lama dingin masih tercium samar di meja ruang tengah. Daniel duduk namun tubuhnya tegang, seakan takut salah gerak di hadapan wanita yang begitu rapuh di hadapannya.
Raisa memeluk dirinya sendiri, duduk di sofa berseberangan. Matanya menatap lantai, lalu beralih ke pria itu.
“Kau tidak pulang semalaman?” tanyanya lirih.
Daniel tersenyum tipis, lelah namun hangat. “Aku sudah bilang, aku tidak akan pergi. Aku akan selalu berada di dekatmu, biarpun hanya duduk di dalam mobil. Kecuali, kamu ijinkan aku tinggal denganmu... seperti di desa dulu."
Raisa menarik napas panjang. “Daniel… kenapa? Kenapa kau tega menyiksa dirimu sendiri hanya untuk seseorang sepertiku? Aku sudah terlalu kotor oleh dendam, oleh semua rasa sakit ini. Aku bukan Raisa yang dulu lagi.”
Daniel memajukan tubuhnya sedikit, suaranya tenang tapi penuh tekanan. “Justru Raisa yang penuh luka lah, wanita yang kucintai. Aku tidak peduli seberapa hancurnya dirimu, karena aku tidak jatuh cinta pada kesempurnaanmu. Aku jatuh cinta pada keberanianmu dalam bertahan.”
Raisa menggigit bibir agar tidak menangis. “Tapi aku tidak bisa menjanjikan kebahagiaan, Daniel. Yang bisa ku tawarkan hanya jalan penuh darah dan air mata.”
Daniel bangkit, berjalan perlahan mendekatinya. Ia berlutut di hadapan Raisa, menatap lurus mata wanita itu.
“Kalau itu jalan yang kau pilih, maka biarkan aku berjalan di sampingmu. Aku tidak butuh janji bahagia, Raisa. Aku hanya butuh kau tidak mengusirku atau kau pergi menghilang dariku lagi.”
Raisa terisak, menutup wajah dengan tangannya. Daniel tidak memaksa, hanya menunggu dengan sabar. Beberapa detik berlalu, lalu Raisa menurunkan tangannya, menatap Daniel dengan mata basah.
Suasana hening, hanya ada desah napas dan detak jantung yang terdengar terlalu keras.
"Raisa... aku capek, bau dan lapar. Boleh aku numpang mandi dan makan di sini?” Daniel menoleh ke arah paper bag yang ia bawa, suaranya tenang tapi penuh harap. “Aku bawa semua keperluanku sendiri, jadi nggak akan merepotkan mu. Dan… aku juga belikan sesuatu untukmu.”
Daniel membuka salah satu paper bag, perlengkapan mandi dan pakaian bersih. Sementara dari paper bag lain, ia mengeluarkan sebuah kotak cake tiramisu... favorit Raisa sejak dulu.
Mata Raisa langsung berkaca-kaca. Kotak kecil itu membuat hatinya bergetar, karena tiramisu adalah cake yang dulu selalu diberikan Rio. Dadanya sesak, seperti kembali ditarik ke masa lalu.
Daniel menatapnya dengan lembut. “Aku nggak akan pernah bisa gantiin Rio di hatimu, Raisa. Aku cuma minta… sedikit saja ruang. Biarkan aku ada di sampingmu.”
Air mata Raisa akhirnya jatuh juga. Daniel mendekat, memeluknya perlahan. Dekapan itu hangat, tidak menuntut dan hanya menenangkan. Tapi Raisa buru-buru mendorong tubuh Daniel, lembut namun tegas.
“Mandi dulu. Aku akan siapkan sarapan,” katanya serak, lalu mengusap sisa air matanya sambil berusaha tersenyum. “Terima kasih… waktu di desa kamu sudah merawatku. Sekarang, biarkan aku gantian balas kebaikanmu.”
Daniel hanya mengangguk. Ia tahu, ia tidak boleh memaksa. Cukup dengan bisa berada di dekat Raisa, hatinya sudah penuh. Ia mengikuti Raisa menuju kamar tamu, lalu masuk untuk membersihkan diri.
Di dapur, Raisa menyiapkan sarapan sederhana. Ia menanak nasi hangat, menggoreng telur dan menuangkan kopi hitam. Ia juga memotong tiramisu itu, mencicipi sedikit. Rasanya masih sama, manis, lembut dan mengingatkannya pada Rio.
Rio… bolehkah aku membuka hatiku untuk orang lain? bisiknya dalam hati.
“Rai…” suara bariton itu memecah lamunannya. Daniel sudah duduk di kursi makan, dengan pakaian bersih dan aroma sabun yang segar. “Kopinya enak, terima kasih.”
Raisa tersentak kecil, buru-buru menoleh. “Sesuai seleramu?”
Daniel menatapnya lekat, lalu tersenyum miring. “Asal kamu yang buat, pahit pun akan aku minum. Soalnya… gulanya cukup kamu aja.”
Wajah Raisa langsung merona, panas merambat ke telinga. Sudah lama ia tak mendengar gombalan sederhana seperti itu, sejak Rio pergi. Jantungnya berdetak lebih cepat, membuat tangannya kikuk saat meletakkan piring.
“Dasar… gombal,” bisiknya pelan, berusaha menyembunyikan senyum yang tak tertahan.
Daniel tertawa kecil, lalu menyodorkan sepotong tiramisu ke arah Raisa. “Ayo, makan bareng. Aku nggak mau nikmatin ini sendirian. Anggap saja… pagi ini, kita sepakat akan memulai semuanya bersama-sama.”
Raisa menatap Daniel lama, ia ragu-ragu. Tapi akhirnya, ia mengambil garpu kecil itu dan mencicipinya dari tangan Daniel. Manisnya cake menyatu dengan getaran aneh di dadanya.
Daniel menahan napas, menatap Raisa yang malu-malu. Dalam hati ia berjanji, akan membuat Raisa... jatuh cinta padanya.
harusss lebih kuatttt
semangat
lanjuuut