Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab lima. Dibawa ke rumah Gavin.
Mobil berhenti di depan pintu gerbang rumah mewah. Pintu gerbang setinggi empat meter itu terbuka secara otomatis.
Lalu mobil kembali melaju, menyusuri jalan memasuki pekarangan luas. Bella terbeliak melihat area rumah yang begitu luas. Seperti pada cerita dongeng saja. Sebuah rumah megah berdiri angkuh ditengah taman yang luas dan pepohonan yang asri.
Semua ditata serba rapi. Benar-benar luar biasa. Bella tidak menyangka akan dibawa ke rumah yang lebih mirip istana bagi, Bella.
Mobil berhenti. Martin bergegas membuka pintu mobil di sisi Gavin. Lalu membukakan pintu untuk Bella juga. Keluar dari mobil dengan perasaan tidak menentu, Bella disambut aroma semerbak bunga mawar yang tengah mekar di kedua sisi jalan menuju rumah.
Bella meresapi harum mewangi itu. Dan semakin takjub kala pintu rumah terbuka.
"Mari silahkan masuk!" sapaan Martin menyadarkan Bella bahwa dirinya tidak sedang dalam mimpi. Langkahnya yang terhenti di depan serumpun mawar merah membuat rona wajahnya memerah malu.
"Eh, maaf a-ak-ku,," suara Bella terbata tidak mampu memilah kata.
"Anda menyukai mawar ya?" ucap Martin tersenyum lembut dan melirik ke arah Gavin. Wajah Gavin melengos karena dia mengerti kalimat itu ditujukan untuknya bukan untuk Bella.
"Iiya ...saya sangat suka." sahut Bella antusias seperti gadis polos. Senyum Martin makin melebar, ke arah Gavin. Seolah berkata " liat tuh, cuma cewek yang pantas menyukai mawar".
Gavin membalas dengan tatapan tajam.
"Wah! Bagus itu. Setelah ini Anda boleh menikmati keindahan mawar di taman ini, sepuasnya. Asal jangan menyakitinya." Martin tersenyum miring.
"Maksudnya?" Bella mengernyit bingung. Gavin berdehem, penanda dia sudah bosan dengan basa basi asistennya.
"Nanti Anda akan mengerti sendiri." Martin membuka kedua lengannya memberi kode untuk melanjutkan langkah memasuki rumah.
Bella menganggap lucu tingkah Martin, sehingga dia mengangguk dan tersenyum manis sekali. Seketika ada yang menampar hati Gavin melihat senyum itu. Ada rasa yang menelusup aneh menjalar ke hatinya. Namun, segera dia tebas.
Garis wajahnya kembali berubah dingin, padahal tadi sempat tersenyum, meski segaris. Hatinya tidak bisa memungkiri, betapa indah senyum polos Bella di latari tumbuhan mawarnya yang bermekaran.
Sesuatu yang hangat mencoba menerobos masuk menelusup jauh ke dalam lubuk hatinya.
Langkah Bella kembali terhenti begitu masuk ruangan. Kedua netranya melirik diam-diam. Tidak ingin mempermalu dirinya yang mengagumi setiap ornamen dalam ruangan. Cukup tadi dia khilaf saat di taman mawar.
Dia harus bisa lebih menahan diri, karena dia belum mengerti sama sekali kenapa dia dibawa ke rumah ini. Isi kontrak belum dibaca keseluruhan, dan masih banyak hal yang tidak dipahami. Asalan saja dia menelpon Sherly setuju dengan kontrak perjanjian.
Padahal Sherly sudah mewanti-wanti untuk mempelajari surat perjanjian itu.
Sekarang disinilah dia berada. Di dunia yang masih terasing dan penuh misteri. Dan dia harus sadar, keberadaannya disini hanya berkaitan dengan janin yang tumbuh di rahimnya.
Sekilas Bella sudah bisa meraba, bahwa satu-satunya alasan dia berada disini adalah urusan bisnis. Dia dibayar, dan usai melahirkan akan pergi dengan sendirinya.
Seperti tertusuk lembing, Bella merasakan sakit yang tak terbilang. Harusnya kondisinya saat ini adalah momen paling membahagiakan hidupnya. Karena pada akhirnya dia bisa hamil. Kehamilan yang menjadi impiannya selama ini sejak dia menikah.
Sayang, cerita hidupnya harus seperti ini. Rumah tangganya hancur, justru disaat dia mampu membuktikan kalau dirinya tidak mandul. Dan dia harus mempertahankan janinnya karena dia sendiri yang tidak mau mengikuti saran dokter sahabatnnya.
Dia terjebak dengan pilihannya menjadi wanita yang menyewakan rahimnya, karena benih yang tertukar.
Sebagian dari dirinya merasa bahagia karena terbukti tidak mandul. Walau kejadiannya karena kelalaian dokter. Setidaknya terbukti kalau selama ini dia tidak mandul.
Tadinya dia bermaksud hendak membuktikan itu pada suami dan ibu mertuanya. Tapi saat suaminya membawa pulang selingkuhannya, semua rencana itu pupus.
"Silahkan duduk!" lagi-lagi Martin menghentak kesadaran Bella. Dengan gugup Bella duduk. Menghenyakkan pantatnya di kursi empuk berbalut beludru. Sedangkan Gavin langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai atas.
"Maaf, saya ke atas dulu." tanpa menunggu jawaban Bella, Martin bergegas mengejar langkah Gavin. Bella memandang punggung Martin, dan mengikuti langkahnya dengan pandangannya hingga menghilang dibalik daun pintu.
Entah apa yang akan dibicarakan kedua pria itu. Bella tidak mungkin menguping. Mana jaraknya cukup jauh juga.
Kembali Bella memandangi seisi ruangan. Kali ini secara terang-terangan, karena menurutnya hanya dia saja yang berada dalam ruangan itu. Dalam hatinya dia tak behenti berdecak kagum. Pasti lelaki yang menyewa rahimnya bukanlah orang sembarangan.
Lantas dimanakah istrinya. Kenapa rumah sebesar ini sepi sekali. Kemana penghuninya? Apa cuma Martin dan bosnya yang dingin itu yang menghuni rumah ini?
Ceklek!
Bella menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata sebuah pintu terbuka dan suara langkah datang menghampirinya.
Seorang wanita paruh baya dengan langkah teratur dan anggun berjalan ke arahnya. Ditangannya memegang nampan berisi secangkir teh dan toples berisi biskuit. Bella bisa menebak karena wadahnya yang transparan.
Bella buru-buru berdiri dari kursi empuk yang dia duduki.
"Santai saja Nona, saya Nani. Asisten rumah tangga Pak Gavin." Bu Nani dengan hormat memperkenalkan dirinya.
Bella tersentak kaget. Pikirnya yang menyuguhkan minuman itu adalah tuan rumah, ibunya Gavin.
"Maaf Ibu, saya pikir tadi orang tuanya Pak Gavin." sahut Bella kikuk. Bu Nani tertawa renyah, membuat Bella merasa nyaman.
"Hehehe, ibu adalah pembantu di rumah ini. Tapi Pak Gavin, tidak mengijinkan ibu berdandan lusuh. Harus rapi dan menarik. Oh, ya, panggil saja saya Bu Nani.
Pak Gavin itu sudah tidak punya orang tua. Kedua orang tuanya sudah meninggal sewaktu beliau masih kecil. Beliau dibesarkan oleh kakeknya yang keras. Ibu adalah pengasuh beliau dari kecil." urai Bu Nani panjang lebar.
"Sudah lama Gavin tidak membawa perempuan ke rumah ini. Sejak .... Eh, omong apaan ini." Bu Nani spontan menampar lembut bibirnya karena keceplosan.
Bella mengernyit heran. Menurut Bella Bu Nani adalah orang tua yang lekas akrab dengan orang lain. Sikap ramahnya membuat Bella nyaman sekaligus lega. Karena ada orang tua tinggal di rumah besar itu.
Sementara itu di dalam kamar, Gavin langsung melempar bantal ke arah Martin begitu muncul di pintu kamarnya.
"Untuk apa omongan tadi, dasar mulut kakak tua." semprot Gavin kesal.
"Maaf Bos, aku cuma bercanda. Abis wajah Bos sadis sekali. Takut Nona Bella kabur saking ketakutan." sahut Mantin tanpa rasa bersalah. Bibirnya menahan senyum karena geli. Tumben Bosnya peduli dengan ocehannya tadi. Biasanya kan gak pernah mampir di telinganya atau kemasukan dalam lambungnya, eh, hatinya.
"Ya, sudah sana. Obati dulu lutut dan tangannya. Kasihan dia pasti kesakitan saat terjatuh." perintah Gavin. Membuat hati Mantin kembali heran. Tumben Bos nya peduli pada Bella.
"Tunggu apalagi, pergi sana!" Gavin mengambil asbak berpura-pura hendak melemparkannya pada Martin.
"I-iya Bos!" Martin melesat menghilang di balik pintu. Gavin tersenyum. Hal yang sudah langka dia lakukan.***