Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pergi tanpa menoleh
Zico sudah berdiri di depan lobi apartemen, jas hitamnya rapi seperti biasa, tapi wajahnya tampak tegang. Begitu melihat Amara berjalan keluar dengan langkah pelan namun pasti, ia segera membuka pintu mobil untuknya.
Amara berhenti sejenak di depan pintu kaca besar apartemen itu. Matanya menatap bangunan tinggi yang selama ini menjadi tempat mereka, tempat ia pernah berusaha membangun rumah tangga, tempat yang dulu penuh berjanji tapi kini hanya menyisakan luka dan kenangan yang ingin ia kubur dalam-dalam.
Udara pagi itu dingin, tapi bukan udara yang membuat tubuhnya menggigil, melainkan emosi yang ia tahan sedari tadi. Tangannya perlahan menyentuh perutnya, lalu ia menatap langit sebentar, seolah sedang berusaha menelan semua rasa sakit yang tertinggal di sana.
Shaka tidak muncul, tidak juga menelepon. Dan itu cukup menjadi jawaban bagi Amara. Ia menarik napas panjang, menahan sisa air mata yang ingin jatuh. Kemudian tanpa menoleh lagi, ia berjalan ke arah mobil tempat Zico menunggu.
Begitu duduk di kursi belakang, pintu tertutup rapat. Sunyi sesaat. Zico melirik lewat kaca spion.
“Kita langsung ke rumah Marvionne, Nona?” tanyanya hati-hati.
Amara menatap lurus ke depan, wajahnya dingin dan tegas, benar-benar berbeda dari Amara yang dulu lembut dan penuh pengertian. Nada suaranya rendah, tapi tegas dan tajam seperti pisau.
“Iya,"
Amara memejamkan mata sejenak, kemudian membuka kembali. Tatapannya tajam penuh ketetapan hati.
“Cabut semua kerja sama antara keluarga Marvionne dengan Wirantara Air.”
Zico sontak menatap Amara lewat kaca spion, matanya membesar.
“Nona Amara … itu ... itu kontrak utama perusahaan. Dampaknya besar sekali. Semua investasi lintas negara akan berhenti.”
Amara tersenyum tipis tanpa emosi. “Aku tahu, Zico. Tapi aku juga tahu, selama nama keluarga Marvionne masih berdiri di bawah nama Wirantara, aku tidak akan pernah lepas dari bayang-bayangnya.”
Zico menelan ludah. “Tapi … Tuan Edward...”
“Aku yang akan bicara dengan Kakek,” potong Amara cepat. “Aku nggak mau satu pun pesawat Wirantara Air lepas landas dengan izin keluarga Marvionne. Cabut semua, mulai malam ini.”
Suara Amara datar, tapi setiap kata terasa seperti palu yang menghantam keras. Zico hanya mengangguk pelan, tahu bahwa kali ini keputusan Amara tidak bisa diganggu gugat. Mobil pun mulai melaju, meninggalkan apartemen itu di belakang. Dari kaca jendela, Amara sempat melirik gedung tinggi itu untuk terakhir kalinya, tempat yang dulu jadi rumah, kini hanya menjadi simbol dari pengkhianatan.
“Mulai sekarang,” gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam desau mesin mobil,
“aku akan pastikan … keluarga Wirantara merasakan apa rasanya kehilangan.”
Mobil hitam itu meluncur di jalanan utama Jakarta dengan kecepatan stabil. Langit sore tampak mendung, seolah ikut menyelimuti amarah yang sedang bergolak di dada Amara. Di kursi belakang, ia duduk tenang tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.
Zico yang menyetir hanya sesekali melirik lewat kaca spion. Ia sudah lama bekerja untuk keluarga Marvionne, dan ia tahu betul, setiap kali Nona Amara bersikap setenang itu, berarti badai besar akan datang.
Suasana di dalam mobil begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin dan hujan rintik-rintik yang mulai jatuh.
“Nona,” suara Zico akhirnya memecah keheningan, lembut tapi ragu, “jika kontrak dengan Wirantara Air dicabut sepenuhnya, mereka akan kehilangan lisensi internasionalnya. Banyak kru yang bergantung pada itu, termasuk…” ia menahan kalimatnya, “Kapten Shaka.”
Amara tidak langsung menjawab. Tatapannya kosong menembus kaca jendela yang mulai buram oleh tetes hujan.
“Zico,” ucapnya pelan, “selama ini aku menahan diri karena aku masih menganggap Mas Shaka suamiku. Tapi sekarang aku sadar … tidak semua ikatan layak dipertahankan.”
Ia menghela napas panjang.
“Dia lebih memilih percaya pada kebohongan daripada melihat siapa yang benar-benar berjuang di sisinya. Kalau kehilangan segalanya adalah satu-satunya cara untuk membuatnya sadar, biarlah begitu.”
Zico terdiam, kemudian mengangguk perlahan. “Baik, Nona. Aku akan kirim surat pemutusan kontrak malam ini.”
Amara memejamkan mata sebentar, suaranya pelan tapi penuh luka.
“Pastikan juga semua aset dan saham keluarga Marvionne di bawah naungan Wirantara dibekukan. Aku tidak mau satu rupiah pun mengalir ke perusahaan itu lagi.”
“Baik,” jawab Zico mantap.
Mereka tiba di kediaman Marvionne menjelang senja. Rumah besar itu berdiri megah di tengah taman yang luas. Begitu mobil berhenti, beberapa pengawal langsung membukakan pintu.
Tuan Edward Marvionne sudah menunggu di teras dengan tongkat di tangan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tapi matanya tajam, menilai setiap langkah cucunya.
Begitu Amara mendekat, pria tua itu berkata tenang namun dalam,
“Jadi … kau sudah memutuskan, Amara?”
Amara berdiri tegak di hadapannya. “Ya, Kek. Aku sudah memutuskan. Mulai malam ini, keluarga Marvionne tidak lagi berhubungan dengan Wirantara Air.”
Edward mengangguk pelan. Ada sedikit kesedihan di matanya, tapi juga kebanggaan.
“Kalau itu keputusanmu … aku percaya kau sudah memikirkan semuanya.”
Amara menunduk hormat, lalu berkata lirih,
“Maaf, Kek. Tapi kali ini, aku harus memilih diriku sendiri.”
Sementara itu di sisi lain kota, Shaka tengah berdiri di balkon ruangannya, menerima kabar mengejutkan dari Haris.
“Kapten … barusan ada pemberitahuan resmi dari keluarga Marvionne. Semua kerja sama dengan Wirantara Air … telah dicabut.”
Ponsel di tangan Shaka hampir terjatuh, wajahnya memucat.
“Tidak mungkin…” gumamnya lirih.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya