Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Jika Lelah, Menepilah!
"Mungkinkah--"
"Pak!"
Anggasta segera memutar tubuh ketika mendengar suara Bulan.
"Kita pulang."
Bulan terkejut karena wajah Anggasta sudah sangat berubah. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi tangannya sudah ditarik dengan lembut oleh sang atasan dengan langkah yang lebar. Tak ada obrolan sama sekali di dalam mobil. Hening dan sunyi bagai di pemakaman tengah malam. Hingga suara dering ponsel memecah keheningan.
"Ada apa, Alma?" Seketika mata Bulan tertuju pada Anggasta yang tengah berbicara dengan mantannya.
"Aku hanya sebentar di acara makan malam itu. Dan harus segera kembali ke hotel karena ada hal penting yang harus aku selesaikan."
"Hal penting?"
Ingin rasanya Bulan bertanya. Tapi, dia harus sadar diri. Hal penting yang dimaksud sepertinya bukan perihal pekerjaan. Melainkan perasaan. Apalagi sedari tadi Anggasta tak membuka suara sedikit pun.
"Apa Gaffi tengah menghindari Alma? Soalnya tadi aku liat Alma juga ada di tempat itu."
Hanya spekulasi saja. Bulan pun tak ingin ikut campur terlalu dalam. Ketika mobil berhenti di depan hotel, kebingungan mulai melanda karena Anggasta malah asyik dengan ponselnya.
"Pak Anggasta enggak turun?"
"Saya ada urusan. Kamu masuk duluan aja." Bulan hanya mengangguk pelan dengan rasa sedikit sedih. Setelah di acara makan malam tadi Anggasta hanya diam dipenuhi misteri.
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Bulan. Didudukannya dengan kasar tubuhnya di atas sofa. Teringat akan seseorang yang ada di acara tadi. Tubuh kekar yang tak asing serta lesung pipi yang menghiasi wajah amat sangat familiar. Dicarinya ponsel yang ada di dalam tas. Dibaca dengan seksama pesan balasan dari orang itu.
"Meeting penting sampai malam."
Ponsel diletakkan dengan sembarangan. Hembusan napas sangat berat dikeluarkan. Seperti orang yang sangat kelelahan. Beranjak dari sofa dan memilih masuk ke kamar mandi. Merendam tubuhnya dengan air hangat untuk menghilangkan segala pikiran yang menumpuk di kepala.
.
Kepulan asap rokok sudah terbang ke udara. Serta minuman kalengan yang mengandung alkohol sudah ada di meja. Jeno diminta untuk datang ke Bandung oleh sang sahabat. Sudah pasti ada hal penting yang ingin Anggasta ketahui.
"Alma."
Jeno tertawa renyah mendengar nama yang Anggasta sebut. Perempuan yang secara terang-terangan mengajak Anggasta pacaran dengan tujuan agar bisa dikenalkan ke keluarga. Anggasta menerima karena pada waktu itudia pun dituntut hal yang sama. Mereka berharap akan tumbuh rasa cinta dan sayang. Tapi, selama lima bulan menjalin hubungan tak ada desiran apapun hingga mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan tetap menjadi teman baik sampai sekarang ini.
"Gua serius, No."
Jeno mematikan bara rokok yang masih hidup. Menatap Anggasta dengan sangat serius.
"Apa lu lupa? Dia sama lu itu sama. Sulit untuk diretas. Kan si Alma cucu dari teman opa lu."
Penjelasan Jeno membuat Anggasta memejamkan mata. Alma bukan dari kalangan sembarangan. Keluarganya hampir setara dengan keluarganya.
"Setelah lulus kuliah, dia kerja di salah satu perusahaan kakeknya. Jabatannya juga cukup tinggi." Anggasta mendengarkan dengan sangat serius.
"Kalau asmaranya?"
Dahi Jeno mengkerut mendengar ucapan sang sahabat. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menanyakan asmara seorang Alma Mahira. Si gadis ceria yang cantik. Juga humble.
"Lu udah mulai jatuh cinta sama si Alma?"
Kaleng minuman yang sudah kosong sudah dilempar ke tubuh Jeno. Lelaki yang tak kalah tampan dari Anggasta itupun tertawa.
"Baru kabar burung sih," sambung Jeno sebelum memaparkan apa yang dia ketahui. "Dia lagi dekat sama seseorang yang katanya juga salah satu petinggi perusahaan."
Kedua alis Anggasta menukik dengan tajam. Mulai menyambungkan kejadian di minimarket serta acara makan malam tadi.
"Sayangnya informasi tentang lelaki yang dekat dengan Alma cukup sulit ditembus. Entah ditutup oleh Alma atau emang bekingan lelaki itu juga kuat."
Informasi dari Jeno begitu minim. Matanya kembali tertutup, tapi pikirannya terus bekerja. Bayang wajah Bulan mulai hadir.
"Semoga aja lu enggak liat, Lan."
.
Bulan sudah menatap Anggasta yang sedari keluar dari kamar hotel terus menatap serius benda pipihnya.
"Semalam pulang jam berapa?"
Mata Anggasta beralih. Bulan Noora terlihat sangat cantik pagi ini. Sopir yang tengah membawa mobil hitam mengkilap sudah mengulum senyum melihat sang boss dan asisten sudah saling tatap dengan sangat intens. Bibir mereka memang tak berkata, tapi sorot mata mereka berbicara.
"Cantik." Berkata tanpa suara, tapi mampu Bulan mengerti hingga pipinya merona. Segera pandangan itu diputus agar wajahnya tak semakin merah.
Sedangkan Anggasta sudah mengulum senyum melihat Bulan yang salah tingkah. Pikiran mereka sekarang sudah terfokus pada keputusan menang atau kalah. Telapak tangan Bulan sudah tak mau diam bertanda dia begitu gugup. Jangan ditanya bagaimana jantungnya sudah berdegup sangat kencang.
Hati kecilnya ingin meraih tangan Bulan, tapi logikanya melarang. Anggasta hanya bisa menatap tangan itu tanpa bisa menggenggamnya. Suasana ruangan terasa sangat menegangkan menuju pengumuman. Berbeda dengan Anggasta yang sangat santai karena sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti ini.
"Yang akan bekerja sama dengan perusahaan ini adalah Wiguna Grup."
Bulan terlonjak dan refleks memeluk tubuh Anggasta di depan semua orang saking bahagianya. Lelaki itu malah tak bisa berkata karena kembali merasakan pelukan yang sudah sangat lama dia rindukan.
"Gua bahagia banget, Fi."
Sebuah kalimat yang sama seperti 5 tahun lalu. Dulu, kalimat itu terucap karena cintanya mulai terbalaskan oleh lelaki yang dia cinta sangat dalam. Dan sekarang kalimat itu terlontar kembali, tapi dengan cerita yang berbeda. Ucapan selamat membuat Bulan mulai mengendurkan pelukannya. Dia nampak malu karena semua mata sudah tertuju padanya. Matanya mulai tertuju pada Anggasta yang tengah berbincang dengan rekan bisnisnya.
"Saya single. Kamu boleh peluk saya sesuka hatimu karena tak akan ada yang akan marah atau melarang."
Suara yang begitu pelan di telinga sampai membuat bulu kuduk meremang. Ditambah senyum yang tipis membuat Bulan tak bisa berkutik.
Mereka merayakan keberhasilan dengan Menikmati makan malam di sebuah restoran dengan pemandangan yang sangat indah sebelum kembali ke Jakarta. Lagi, bibir Anggasta terangkat tanpa dia sadari karena sebuah wajah bahagia Bulan yang begitu kentara. Namun, senyumnya harus memudar ketika ponsel Bulan yang ada di atas meja bergetar. Hanya dilihat, tanpa dijawab atau ditolak. Samar terlihat nama Haidar yang ada di layar tersebut.
"Kenapa enggak dijawab?" Sengaja memancing.
"Biarkan saja." Sorot mata Bulan sudah berubah.
Keheningan mulai tercipta. Tak ada yang berucap di antara mereka berdua. Menyelami pikiran sendiri-sendiri.
"Are you happy?"
Sebuah tanya yang memecah keheningan serta mengalihkan pandangan. Seulas senyum mencoba diukirkan, tapi matanya nanar. Diraihnya tangan Bulan yang ada di atas meja. Diusapnya punggung tangan itu dengan sangat lembut.
"Kalau capek, menepilah. Jangan terus memaksa."
Jleb!
Sangat menusuk relung hati ucapan Anggasta. Teringat akan perkataan sang teman yang tak sengaja bertemu di acara semalam.
"Kok lu di sini? Bukannya lu baru datang sama Haidar."
"Haidar?" Sebuah anggukan tanpa kebohongan temannya berikan. Melihat wajah Bulan yang terkejut membuat dia bingung.
"Terus siapa yang digandeng Haidar masuk tadi?"
...*** BERSAMBUNG***...
Mana atuh komennya??
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya
jiwa melindungi gagas mencuat 🤭
btw oppa cucu nya abis di siram sama Mak nya Haidar TUHH masa diem2 aje