Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Bukan aku!
Cahaya matahari menembus tirai besar di ruang tengah, menyinari lantai marmer yang berkilau lembut. Dari arah tangga, Arum dan Reghan berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Ada ketenangan di wajah Arum, dan di mata Reghan untuk sesaat dan terlihat kelembutan yang belum pernah ia tunjukkan di depan siapa pun.
Namun ketenangan itu seketika pecah ketika Alena keluar dari kamarnya. Pandangannya langsung terpaku pada tangan mereka yang bergandengan. Hatinya terasa panas, seolah bara lama yang disiram bensin. Tatapannya turun ke arah leher Arum dan di sanalah ia melihatnya. Sebuah tanda merah samar yang membuat dadanya bergetar hebat, bukan karena terkejut, tapi karena cemburu yang menyesakkan.
Alena berjalan mendekat dengan senyum palsu di wajahnya.
“Reghan,” panggilnya lembut. “Terima kasih … karena waktu itu kamu menolongku. Kamu masih sama seperti dulu, selalu melindungiku.”
Suasana mendadak hening, Arum menunduk pelan, genggaman tangannya di tangan Reghan mulai longgar. Ada sesuatu dalam kata-kata Alena yang membuatnya ragu tentang semua yang sudah mereka lalui.
Namun sebelum ia sempat menarik diri sepenuhnya, Reghan menggenggam tangannya lebih erat. Tatapannya tajam mengarah ke Alena.
“Itu hanya naluri manusia yang menolong manusia lain,” ucapnya tegas. “Tidak lebih, jangan terlalu senang, karena apa yang kamu harapkan tidak akan pernah sama seperti dulu.” Nada suaranya dingin, tapi juga menegaskan batas.
Alena terdiam di tempatnya, senyum tipis di bibirnya perlahan memudar. Reghan kemudian menarik lembut tangan Arum, menatapnya singkat.
“Ayo, kita berangkat. Aku ingin kau ikut menemuiku ke makam Ibu.”
Arum hanya mengangguk pelan, masih bisa merasakan sisa detak cemburu dari arah belakangnya. Ia tahu, sejak pagi itu, ada sesuatu yang berubah tidak hanya antara dirinya dan Reghan, tapi juga dalam hati orang-orang di rumah itu.
Siang itu, suasana rumah keluarga Argantara kembali tegang. Mobil hitam berhenti di pelataran, membawa Reghan dan Arum yang baru saja pulang dari makam orang tua Reghan. Arum membuka pintu lebih dulu, tapi Reghan tak langsung turun. Ponselnya berdering, panggilan dari Bu Nara, sekretaris pribadinya. Dengan nada tegas namun tenang, Reghan berkata,
“Masuk dulu, Arum. Aku menyusul setelah ini.”
Arum mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa lebih sejuk dibanding terik di luar. Dia berjalan perlahan menuju tangga, hendak naik ke kamarnya. Namun di tengah anak tangga, langkahnya terhenti saat melihat seseorang berdiri di atas, Alena, dengan senyum samar di wajahnya.
“Oh, kamu sudah pulang,” ucap Alena lembut, menatap Arum dari atas anak tangga.
“Iya,” jawab Arum singkat, suaranya datar.
Alena menuruni beberapa anak tangga hingga jarak mereka hanya terpaut dua langkah.
“Kau tahu,” katanya pelan, “aku dan Reghan dulu sangat dekat. Dia selalu menjagaku, bahkan ketika semua orang menjauh.”
Arum hanya diam, dia tidak tertarik menggali masa lalu yang jelas bukan urusannya. “Aku tidak ingin tahu,” balasnya dingin, hendak melangkah pergi. Namun ketika ia berusaha melewati Alena, tangan Alena tiba-tiba mencengkeram lengannya kuat-kuat.
“Lepas, Alena,” ujar Arum, berusaha menghindar. Tapi Alena justru menatapnya dengan tatapan aneh, senyum samar di bibirnya berubah menjadi licik. Dalam hitungan detik, tubuh Alena oleng ke belakang dan suara jeritannya memecah keheningan rumah.
“Aaah!”
Tubuhnya terhempas ke bawah tangga, jatuh dengan keras. Suasana mendadak kacau, para pelayan berlari keluar, diikuti oleh Maya yang baru turun dari ruang tengah.
“Ya Tuhan! Alena!” teriak Maya histeris.
Oma Hartati muncul dari arah ruang keluarga, wajahnya pucat. Di saat bersamaan, pintu depan terbuka, Reghan baru saja masuk, matanya membelalak melihat pemandangan di depannya.
Arum terpaku di anak tangga, jantungnya berdegup keras. Dia segera menuruni tangga dengan tergesa, suaranya gemetar.
“Bukan aku yang mendorongnya! Aku tidak mendorong Alena!”
Namun tidak ada yang mendengarkan. Semua mata tertuju pada tubuh Alena yang meringis kesakitan di bawah, tangannya menekan perutnya yang terasa nyeri hebat. Teriakan Maya kembali menggema ketika melihat darah mengalir dari sela-sela paha Alena.
“Darah! Reghan! Cepat panggil ambulans! Cepat!”
Elion, yang baru saja tiba dari halaman, langsung berlari menghampiri. Wajahnya penuh amarah saat melihat keadaan Alena. Dia menatap Arum dengan pandangan pembunuh.
“Kau gila, Arum?!” bentaknya keras. “Kalau terjadi apa-apa sama Alena, aku pastikan kau tak akan hidup tenang! Dia sedang hamil seminggu!”
Kata hamil membuat semua orang terkejut. Oma Hartati terdiam di tempatnya, Maya menutup mulutnya dengan tangan gemetar, sementara Reghan menatap ke arah Alenal dan kemudian menatap Arum. Pandangan itu tajam, dingin, dan penuh kekecewaan.
Arum terisak, berusaha menjelaskan di tengah kepanikan.
“Aku tidak mendorongnya, Tuan Reghan … aku bersumpah, aku tidak melakukannya…”
Namun Reghan tak menjawab. Suaranya akhirnya terdengar pelan namun menusuk,
“Arum … aku tidak pernah menyangka kau sanggup sejauh ini.”
Arum memandangnya tak percaya, air mata mulai jatuh satu per satu.
“Tidak … bukan aku, Tuan Reghan … kumohon, percayalah padaku…”
Namun Reghan hanya diam, lalu berjalan menuju Alena yang masih tergeletak. Arum berdiri di tangga, menatap punggung Reghan yang menjauh.
Ruang rumah sakit sore itu penuh ketegangan. Bau obat dan antiseptik bercampur dengan aroma ketakutan yang menggantung di udara. Alena terbaring di ranjang pasien, wajahnya pucat namun matanya mulai terbuka perlahan. Reghan berdiri di sampingnya, bersama Oma Hartati, Maya, dan Elion. Arum berada agak jauh di sudut ruangan, menunduk, kedua tangannya bergetar, masih tidak percaya bahwa semua ini menimpanya.
Begitu Alena sadar, suara serak keluar dari bibirnya.
“Re ... Reghan?”
Reghan segera mendekat. “Aku di sini, jangan banyak bicara dulu, kamu baru sadar.”
Namun tatapan Alena beralih cepat ke arah Arum. Bibirnya bergetar, seolah sedang menahan air mata.
“Dia ... dia mendorongku…”
Seketika ruangan membeku. Maya menatap tajam ke arah Arum, sementara Oma Hartati perlahan menegakkan tubuhnya di kursi.
“Apa yang kamu katakan, Alena?” tanya Oma, nadanya berat dan dingin. Alena mulai menangis, tangannya memegangi perutnya yang masih sakit.
“Aku tidak tahu kenapa dia begitu membenciku … aku hanya ingin bicara … tiba-tiba dia mendorongku, aku jatuh … aku tidak sempat melindungi bayi ini … bayi yang baru seminggu kami ketahui keberadaanya.”
"Itu artinya kau hamil sebelum pesta pernikahan?" tanya Oma, Alena menunduk. Lalu, Reghan mengepalkan tangannya. Dia menjaga Alena dengan benar, tetapi Alena tak pernah menjaga dirinya dengan benar.
Tangis Alena kemudian pecah, dan suara itu seperti pisau yang menggores telinga Arum.
“Tidak!” seru Arum gemetar. “Aku tidak mendorongnya, Oma! Aku bahkan ingin menolongnya!”
Tapi tidak ada yang memandangnya dengan percaya. Maya mendekat ke arah Oma Hartati, wajahnya dingin namun matanya berkaca-kaca.
“Oma … Alena kehilangan anaknya. Ini aib bagi keluarga kita jika pelakunya dibiarkan.”
Oma menatapnya dalam diam. Maya melanjutkan dengan suara tegas,
“Menurut peraturan keluarga kita, pelayan yang menyebabkan kehilangan nyawa ... apalagi calon penerus keluarga ... harus dihukum cambuk seribu kali. Itu aturan dari dulu. Aku minta Oma menegakkan itu malam ini juga.”
"Tapi Arum bukan pelayan!" bantah Oma. Suasana hening sesaat, Reghan menatap Maya dengan mata melebar.
“Tidak! Arum tidak pantas dicambuk seperti itu. Kita tidak punya bukti!”
Elion yang sejak tadi berdiri di samping Alena mendekat, suaranya dingin.
“Kalau begitu penjarakan dia. Lihat saja apakah polisi mau percaya atau tidak. Lima bulan, Reghan. Lima bulan dia akan dikurung sebelum kamu bisa menebusnya.”
Reghan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia menunduk, rahangnya menegang keras. Ia tahu kalau Arum dipenjara, ia tidak akan tahan melihatnya di balik jeruji. Beberapa detik hening, lalu dengan suara rendah namun mantap, Reghan berkata,
“Cambuk dia saja.”
Arum menatap Reghan tak percaya, matanya membesar dan air mata mulai jatuh.
“Tidak, Tuan … bukan aku … Tuan Reghan, ku mohon…”
Namun Reghan hanya menunduk, menahan emosi di matanya yang mulai memerah.
Malam itu, rumah besar keluarga Argantara berubah menjadi tempat penghukuman.
Beberapa pelayan menyiapkan ruangan belakang, tempat keluarga dulu menegakkan disiplin. Arum dibawa ke sana, kedua tangannya diikat di tiang kayu, tubuhnya hanya berbalut kain tipis di punggung.
“Nyonya Arum, mengaku sajalah, mungkin hukumannya akan diperingan,” bisik salah satu pelayan dengan mata penuh iba.
“Aku tidak bersalah…” jawab Arum pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Oma Hartati berdiri di kursi utama, wajahnya dingin tanpa ekspresi.
“Mulai.”
Plak!
Cambukan pertama mendarat di punggung Arum. Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Arum menggigit bibirnya, menahan jerit yang hampir lolos. Punggungnya mulai memerah, tapi cambukan terus datang, keras dan berulang. Beberapa pelayan menunduk, tak sanggup menatap.
“Cukup!” seru Reghan akhirnya, matanya berair menatap Arum yang nyaris roboh. Tapi Oma tidak menghiraukannya.
“Dia harus menanggung akibat perbuatannya. Ini demi kehormatan keluarga,” ujar Oma dingin. Arum terhuyung, napasnya berat. Darah mulai membasahi punggungnya. Dia menatap ke arah Reghan dengan pandangan sayu, bukan lagi memohon, tapi menyimpan luka. Luka yang kelak tumbuh menjadi dendam.
Ketika cambukan terakhir mendarat dan semua orang meninggalkan ruangan, Arum masih di sana, bersandar di tiang dengan tubuh gemetar. Air matanya jatuh pelan, tapi senyum tipis muncul di bibirnya, dalam hati ia berbisik lirih,
“Baiklah … aku akan ingat ini semua.”
gas laaah
ga jelas banget dah itu orang
dulu aja menghakimi tanpa belas kasih
sekarang aja sok berhak atas cucunya
g usah dipaksa klo emng membhyakan re,, gampang ja nebus keslhan yg telah mnghncurkn arum , pnjrakan atau siksa aja itu orang yg sdh fitnah arum han, greget bngt sm mereka yg jhat tp aman" aja hidupnya 😢😢
gara gara part ini aku sampai nangis bombai.......,😭😭😭 nyesek banget rasanya nya.....
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,