Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan malam
Di ruangan rapat, suasana terasa tegang. Para detektif dan anggota kepolisian telah berkumpul kembali, menatap layar besar yang menampilkan rekaman CCTV tersembunyi di area pelabuhan, kamera yang mereka pasang diam-diam untuk memantau gerak Evan.
Dalam rekaman itu, Evan terlihat berdiri di tengah ruangan gelap dengan beberapa pengawalnya. Wajahnya dingin dan penuh amarah. Tanpa ragu, dia melayangkan tinju ke arah kamera. Gambar langsung berguncang hebat, suara retakan terdengar jelas.
Rekaman berpindah ke kamera lain—kali ini menunjukkan para pengawal Evan menghancurkan satu per satu kamera tersembunyi dengan kejam. Hingga akhirnya, kamera terakhir menyorot wajah Evan yang menatap lurus ke lensa. Ia tersenyum miring, mengangkat pistol, lalu—
Dor!
Suara tembakan menggema, dan layar tiba-tiba berubah hitam total.
"Sial...!" desis Andra, meninju meja dengan keras. "Bagaimana mereka bisa tahu semua posisi kamera itu?" Tatapannya tajam menyapu seluruh ruangan, berhenti pada para detektif dengan dingin dan penuh curiga.
Tak ada yang berani bersuara. Hanya suara napas dan ketegangan yang menggantung di udara.
Valencia duduk tenang di kursinya, menatap layar hitam itu tanpa ekspresi. Namun, di sudut bibirnya... terselip senyum tipis, hampir tak terlihat.
•●•
Seperti janjinya, malam ini Valencia memutuskan pergi ke pantai setelah pulang kerja. Di dalam mobil, ia menatap layar ponselnya yang sunyi—tidak ada pesan, tidak ada panggilan dari Evan. Ia menghela napas pelan, menaruh kembali ponsel di jok sebelah. Meski hatinya ragu, ia tetap menyalakan mesin dan melajukan mobil menuju pantai. Dalam diam, Valencia berharap Evan akan datang... walaupun bagian dirinya tahu, harapan itu kecil sekali.
Beberapa saat kemudian, suara ombak mulai terdengar. Ia tiba di tempat yang sering mereka kunjungi dulu—pantai sepi dengan cahaya lampu jalan yang redup dan angin malam yang menusuk lembut kulitnya.
Valencia turun dari mobil, menatap hamparan laut gelap di depannya. Langkahnya pelan, menyisakan jejak di pasir yang dingin, sebelum akhirnya ia duduk di tepi pantai, menatap langit tanpa bintang.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari belakang.
“Elina.”
Nada suara itu dalam, tegas, tapi tak sekeras biasanya. Valencia menoleh cepat—Evan berdiri di sana, siluet tubuhnya kontras di bawah cahaya bulan yang samar.
“Om…” suara Valencia nyaris bergetar. Ia berdiri, menatap pria itu dengan tatapan bersalah.
“Aku nggak tahu kalau polisi bakal datang pagi itu. Aku nggak pernah kasih tahu siapa pun soal tempat itu, ponselku waktu itu ditahan. Aku cuma bisa diam,” ucapnya cepat, seolah takut kesempatan menjelaskan akan hilang.
Evan menatapnya lama, tanpa ekspresi. Namun, sorot matanya tak lagi sekeras sebelumnya. “Jadi kamu sama sekali nggak tahu?”
Valencia menggeleng kuat. “Aku nggak mungkin ngelakuin hal yang bisa nyakitin Om.”
Evan menarik napas dalam, lalu melangkah mendekat. “Aku sempat ragu, El… tapi sekarang aku tahu kamu nggak berkhianat.”
Nada suaranya melembut, seperti es yang mulai mencair.
Mendengar itu, Valencia menunduk, menahan emosi yang mulai menggenang di matanya. “Terima kasih, Om… aku kira Om bakal benci aku.”
“Kalau aku benci, aku nggak akan datang malam ini,” jawab Evan singkat.
Valencia tersenyum kecil, lalu melangkah maju dan memeluknya pelan.
“Om… energi aku hari ini banyak terkuras. Gak apa-apa kan, kalau aku peluk Om sebentar? Soalnya, kayaknya… energi aku cuma bisa balik kalau aku deket Om.”
Evan terdiam sejenak, tapi kemudian tangannya terangkat membalas pelukan itu. “Nggak apa-apa, El,” katanya pelan. “Istirahat aja sebentar.”
Mereka berdiri dalam diam, hanya ditemani suara ombak dan angin laut yang berdesir lembut. Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka terasa berhenti—seolah cuma ada dua orang yang saling mengerti, di tengah segala kekacauan yang baru saja berlalu.