Lihat, dia kayak hantu!"
"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widya saputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah di Atas Luka
Dunia luar ternyata lebih sunyi dari yang Ayla bayangkan.
Jalanan malam adalah ruang terbuka yang tanpa atap, tapi juga tanpa arah.
Dan Ayla, dengan tubuh kecilnya yang hanya dibungkus jaket bekas dari lemari panti,dengan menggendong tas ranselnya dan membawa sebuah plastik ia berjalan menyusuri trotoar seperti bayangan yang tak diinginkan siapa pun. Pelan dan perlahan ia mencari tempat untuk bisa merebahkan tubuh kecilnya.
Tidak ada bintang malam itu. Hanya lampu jalanan redup yang berkedip-kedip seperti hendak mati. Mobil terakhir telah melaju entah ke mana, dan suara dunia tinggal sisa anjing liar menggonggong, botol pecah di trotoar, dan suara langkah Ayla yang pelan namun pasti.
Ia tidak tahu akan ke mana.Tapi ia tahu ia tidak akan kembali ke tempat yang membuatnya sakit.
Di dalam tas kecilnya, selain sepotong roti dan botol air, ada benda paling berharganya yaitu buku catatan lusuh berisi semua tulisannya.
Di halaman depan, tertulis namanya dengan pensil:
“Ayla R.”
(Ayla yang Rani yakini bisa hidup, meski dunia tak memberinya alasan.)
Di halaman belakang, terselip surat yang ia tulis untuk Rani tapi tidak pernah terkirim.
Malam dimana dia kabur ,dia sempat menulis surat untuk orang panti dan meletakkannya di atas meja.
Isi Surat Terakhir Ayla
*Untuk siapa pun yang peduli (jika ada):
Aku pergi,bukan karena aku pengecut. Tapi karena aku lelah membela diri di tempat yang tak pernah mau mendengar. Sejak kecil tak seorang pun yang tulus menyayangiku,tak ada yang bisa membelaku disaat semua orang menyakiti dan menghinaku.
Aku bukan anak baik. Tapi aku juga bukan anak jahat. Aku cuma ingin hidup seperti yang lainnya tanpa harus terus ditendang karena keberadaan ku. Aku hanya mau hidup normal seperti yang lainnya,disayang dan dicintai oleh kalian.
Kalau aku hilang dan tak pernah ditemukan, anggap saja aku memang tidak pernah benar-benar ada atau anggap saja aku sudah mati. Mungkin dengan aku pergi hidup kalian semua akan bahagia.
Dan jika suatu hari aku berhasil menjadi manusia sukses,menjadi apa yang aku inginkan, menjadi manusia utuh, menjadi apa pun selain luka maka ini akan jadi bukti bahwa aku tidak salah hanya tak diterima. Semoga suatu hari nanti disaat kita bertemu aku sudah bukan Ayla yang lemah dan cengeng.
Tolong, jangan cari aku. Kecuali untuk bilang: "Kamu pantas dicintai."
– Ayla
Dua hari pertama di jalanan, Ayla tidur di halte bus. Di bawah bangku besi dingin. Ia makan roti kering yang ia bawa, minum sedikit demi sedikit dari botolnya, dan menggulung jaketnya menjadi bantal.
Ia melihat dunia dari sudut yang berbeda sekarang.
Orang-orang berjalan cepat dan sibuk. Tak ada yang melihat anak kecil dengan wajah pucat duduk di pojok bangku. Tak ada yang peduli apakah ia lapar, atau takut, atau mati.
Di hari ketiga, roti habis. Air habis. Hujan turun.
Ayla masuk ke minimarket dan pura-pura membaca majalah. Saat tak ada yang lihat, ia mencuri satu bungkus roti kecil dan minuman kotak. Lalu lari secepat kilat. Nafasnya nyaris berhenti.
Ia menangis saat makan. Bukan karena ketahuan. Tapi karena ia tidak ingin menjadi seperti ini. Ada rasa menyesal tapi demi bertahan hidup dia harus melakukannya.
Tapi apa pilihan yang ia punya? Tidak ada.
Malam keempat, ia mulai demam.
Tubuhnya menggigil. Ia tidur di belakang warung tutup, di bawah tumpukan kardus. Perutnya perih,kepalanya berat tapi matanya terbuka terus. Ketakutan membuatnya sulit terpejam.
Dan saat itulah ia membuka bukunya.
Tangannya gemetar, tapi ia memaksa membaca ulang puisi-puisinya sendiri. Di halaman tengah, ada yang ia tulis saat usianya baru sepuluh tahun.
Puisi Ayla “Anak Kardus”
-Aku lahir dari kardus
Diselimuti hujan, ditinggalkan malam
Bukan karena aku buruk
Tapi karena dunia takut mencinta
Aku tumbuh tanpa pelukan
Tanpa suara yang berkata, "Selamat pagi"
Yang aku punya hanya bayanganku sendiri
Dan suara langit yang tak pernah menertawai
Tapi jika satu hari aku berdiri
Dengan buku di tangan dan luka di dada
Maka tahu lah, Anak kardus ini telah berubah menjadi cahaya
Meski hanya sekelumit kecil di ujung gelap dunia.
Ayla menangis pelan. Tapi kali ini air matanya bukan hanya karena sakit.
Tapi karena ia mendengar suaranya sendiri.
Selama ini, ia tak pernah didengar siapa pun. Tapi malam itu, di bawah langit gelap, di antara kardus basah dan bau sampah, ia mendengar dirinya sendiri dan untuk pertama kalinya, ia percaya.
"Aku hidup dan aku pantas."
Pagi hari, tubuhnya makin lemah. Ia nyaris pingsan. Tapi sebelum itu terjadi, seorang perempuan tua penjual jamu menemukan Ayla tergeletak. Perempuan itu panik, membawa Ayla ke pos ronda, lalu ke rumah kecil sederhana miliknya. Namanya Bu Marni.
"Ya ampun nak,kasian sekali kamu." Bu Marni membersihkan wajah dan tubuh Ayla yang sangat kotor.
Setelah selesai Bu Marni ke warung membelikan Ayla obat penurun demam.
Sejak hari itu kisah Ayla mulai berubah.
Di Panti Asuhan Kasih Ibu…
Fajar baru saja menyingsing ketika seorang anak panti yang hendak mengambil air wudhu melihat pintu kamar Ayla terbuka lebar. Kasurnya kosong. Selimutnya tergeletak di lantai.
Dia segera masuk dan mencari Ayla,bahkan keliling panti tapi Ayla tidak ada.
Anak itu segera berlari ke ruang makan.
“Bu Ratna! Ayla nggak ada!” teriaknya panik.
Bu Ratna, pengurus panti yang galak itu, awalnya hanya mengerutkan kening.
“Paling main ke halaman.”
"Aku sudah mencarinya Bu tapi tidak ada."
"Coba kalian semua cari Ayla sampai ketemu!" Teriaknya murka
Tapi setelah setengah jam mencari, Ayla tetap tidak ditemukan. Pintu gerbang kecil di samping gudang ternyata tidak terkunci.
“Bodoh! Kalian jaga apa semalam?” bentak Bu Ratna pada dua anak lelaki yang biasa bertugas mengunci.
"Maaf Bu kami lupa menguncinya." katanya dengan nada pelan dan takut.
"Pakaiannya juga sebagian tidak ada." Pengurus panti yang lain datang melapor.
Di ruang belakang, Pak Joko kepala panti sekaligus pemilik panti datang setelah mendengar laporan dari salah satu anak disana. Dia meremas rambutnya,wajahnya pucat, bukan karena cemas pada keselamatan Ayla, tapi takut.
“Kalau anak itu buka mulut ke polisi habis kita." desisnya.
Bu Ratna menelan ludah. Ia tahu maksudnya. Mereka sudah terlalu sering memanfaatkan anak-anak panti untuk kerja paksa, memotong jatah makanan, bahkan mengambil uang donasi untuk kepentingan pribadi.
“Kalau dia sampai bicara apalagi sama wartawan kita bisa masuk penjara, Pak.” Kata Bu Ratna panik
“Cari dia. Sekarang juga! Bagaimanapun caranya kita harus menemukannya. Akh yakin dia pasti belum jauh dan cari di tempat-tempat anak jalanan,pasti dia ada disana." Bentak Pak Joko.
Mereka mulai menyusun rencana. Dua anak laki-laki suruhan panti disuruh berkeliling kampung mencari jejak Ayla. Foto lamanya dikeluarkan. Tapi di hati mereka, bukan rasa kehilangan yang muncul melainkan ketakutan akan rahasia kelam yang terungkap.
***
Kadang dunia menolak kita sampai kita pergi.
Tapi justru di luar dunia itulah, kita mungkin menemukan diri kita sendiri.
Dan kadang, di antara orang-orang asing,kita akhirnya dipeluk sebagai manusia.
Bersambung...