Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23-Positif
Senja baru saja menutup tirainya ketika langit Jakarta beralih warna menjadi kelabu. Angkasa duduk di ruang rapat kantor pusat Arda Karya, tetapi pikirannya sama sekali tidak berada di ruangan itu. Tatapan matanya kosong, jemarinya sibuk mengetuk meja kayu mahoni seolah mencari pegangan untuk mengalihkan kegelisahan di dadanya.
Beberapa menit sebelumnya, ia sempat menuliskan pesan singkat pada Aliya:
“Sayang, malam ini aku tidak bisa pulang untuk makan malam. Jangan menungguku.”
Hanya itu. Tidak ada penjelasan panjang lebar, tidak ada alasan yang membuat Aliya bisa merasa tenang. Angkasa sengaja tidak menyebutkan detail karena ia sendiri sedang kalut. Ia tidak ingin Aliya tahu bahwa keluarga besarnya pulang.
Tidak lama kemudian Tania mengabari Angkasa, mengatakan kalau ia kini sudah berada di rumah utama, menunggu dengan sabar kedatangan Angkasa.
Pesan dari Tania itu terasa menyesakkan. Bagaimana mungkin setelah sekian lama ia berhasil menjaga jarak, kini Tania datang lagi membawa masalah?
Angkasa mengusap wajahnya kasar. Rapat yang biasanya menjadi tempat ia berkuasa penuh, kini terasa hambar. Kalimat demi kalimat yang disampaikan direksi senior hanya lewat begitu saja tanpa masuk ke dalam pikirannya.
“Angkasa.” Suara berat itu memotong lamunannya.
Daddy Samudra, sang kepala keluarga sekaligus sosok yang paling dihormati di perusahaan, menatap tajam anak lelakinya itu. “Kau tidak fokus. Ada apa?”
Sorot mata ayahnya terlalu dalam, seolah mampu menembus segala topeng yang coba Angkasa pasang. Angkasa buru-buru menunduk, menarik napas panjang, dan menjawab seperlunya. “Tidak apa-apa, Dad. Hanya sedikit lelah.”
Samudra tidak membalas. Ia hanya menghela napas berat, lalu kembali memusatkan perhatian pada rapat. Namun jelas terlihat dari wajahnya: ia tahu ada sesuatu yang sedang disembunyikan anaknya.
Di sisi lain kota, rumah Angkasa terasa begitu hening. Lampu kristal di ruang makan memantulkan cahaya keemasan, menerangi meja panjang yang penuh dengan hidangan. Namun hanya satu kursi yang terisi. Aliya duduk sendirian, menatap piringnya yang hanya berisi nasi setengah sendok dan lauk yang tak disentuh.
Sejak pesan singkat dari Angkasa masuk, hatinya terasa kosong. Ia berusaha menenangkan diri, meyakinkan bahwa suaminya pasti sibuk dengan urusan keluarga besar. Namun tetap saja, rasa sepi menelusup pelan-pelan, membuatnya kehilangan selera makan.
“Ny. Aliya.” Suara Bi Mar terdengar lembut. Wanita paruh baya itu menatap majikannya dengan cemas. “Apa makanannya mau saya ganti? Nyonya mau menu lain?”
Aliya menggeleng pelan, bibirnya tersungging senyum tipis yang lebih mirip kepedihan. “Tidak usah, Bi. Aku sudah kenyang. Hanya saja… mungkin aku ingin puding lecy. Ada, Bi?”
Mata Bi Mar berbinar, merasa sedikit lega karena setidaknya Aliya masih punya selera pada sesuatu. “Tentu saja ada, Nyonya. Saya akan suruh anak-anak membawakan ke sini.”
Beberapa menit kemudian, semangkuk puding lecy dingin tersaji. Mata Aliya sedikit berbinar, ia langsung menyendoknya perlahan. Rasa manis dan segar dari lecy itu berhasil mengurangi sesak di dadanya walau hanya sebentar.
Selesai makan, Aliya kembali ke kamarnya. Ia menatap layar ponselnya. Tidak ada pesan tambahan dari Angkasa. Hanya pesan sore tadi yang singkat, tanpa hangat, tanpa penjelasan.
“Mungkin Mas Kasa memang ingin menikmati waktunya bersama keluarganya.” Aliya berbisik lirih, mencoba berpikir positif.
Namun tiba-tiba, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk. Jantung Aliya berdegup kencang, berharap itu dari Angkasa. Tapi ternyata… bukan. Itu dari Tania.
Layar ponselnya menampilkan beberapa foto. Foto-foto hangat penuh tawa di rumah utama keluarga Albirru. Ada Tania, ada Granny Nadlyn, ada Mommy Zivana, ada Daddy Samudra. Semuanya terlihat akrab, bahagia.
Di setiap foto, tangan Angkasa dan Tania selalu bertautan, seolah ingin menunjukkan pada dunia siapa pasangan sah sebenarnya. Meski yang sebenarnya apa yang Angkasa lakukan hanyalah sebuah keterpaksaan, keharmonisan palsu di depan keluarga Albiru.
Aliya tercekat. Matanya panas. Ada perih yang menyayat dada meski ia buru-buru menepisnya. “Tidak boleh cemburu, Aliya. Mas Angkasa juga suami sah Nyonya Tania,” gumamnya, berusaha menguatkan diri.
Ia berdiri, berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang mulai memerah. Namun baru beberapa langkah, kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya berkunang-kunang. Dunia seolah berputar. Dalam sekejap, tubuhnya limbung dan ia jatuh pingsan di lantai marmer dingin.
Bi Mar yang baru saja hendak masuk membawa segelas air terlonjak kaget melihat Aliya tergeletak. “Nyonya! Astaga Nyonya Aliya!” teriaknya panik.
Dengan sigap ia memanggil beberapa pelayan lain untuk membantu mengangkat tubuh Aliya ke ranjang. Segera dokter keluarga dipanggil. Ketegangan menyelimuti rumah itu hingga dokter datang dengan tas peralatannya.
Pemeriksaan berlangsung cepat namun serius. Beberapa menit kemudian, dokter menutup stetoskopnya, lalu menatap Bi Mar dengan senyum penuh arti.
“Selamat, Bu. Nyonya Aliya sedang hamil.”
Bi Mar terperangah. Bibirnya bergetar, antara bahagia dan terharu. Ia buru-buru menelpon Angkasa, namun panggilan demi panggilan hanya masuk ke kotak suara.
Sementara itu, suasana di rumah utama Albiru begitu hangat. Granny Nadlyn duduk di kursi empuknya, wajahnya berseri-seri melihat cucunya berkumpul.
“Kalian terlihat bahagia sekali,” ucapnya.
Tania tersenyum lebar, meraih tangan Angkasa. “Ya, kami sangat bahagia, Granny.”
Namun Daddy Samudra tiba-tiba bersuara, nada suaranya dingin penuh sindiran. “Baguslah kalau memang bahagia. Asal jangan hanya pura-pura bahagia.”
Angkasa menoleh sekilas, bertemu tatapan tajam ayahnya, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Senyumnya terasa begitu dipaksakan.
Di tengah keramaian itu, ponsel Angkasa berdering berkali-kali. Ia ingin mengangkat, tetapi Tania cepat-cepat menahan tangannya. “Jangan, nanti keluarga curiga.”
Angkasa menghela napas berat.
“Kalian menginap saja di sini,” kata Granny Nadlyn kemudian. “Granny masih rindu pada kalian.”
Jika Granny sudah bicara, maka semua orang harus menurut. Angkasa tak kuasa menolak.
Malam semakin larut. Angkasa akhirnya masuk ke kamar yang sudah disiapkan bersama Tania. Begitu pintu tertutup, ia segera meraih ponselnya dan menelpon balik nomor yang sedari tadi terus menghubunginya.
“Bi Mar, ada apa?”
Suara Bi Mar terdengar panik di seberang. “Tuan, Nyonya Aliya pingsan. Dokter sudah datang, dan beliau mengatakan kalau Nyonya Aliya… sedang hamil.”
Angkasa terdiam. Dadanya bergemuruh hebat. Hangat. Bahagia. Air matanya hampir menetes. Inilah kabar yang selama ini ia nantikan—memiliki anak dari benihnya sendiri.
“Kita pulang,” ucap Angkasa dingin pada Tania setelah menutup ponselnya.
Tania menatap kaget. “Tidak bisa, Sa. Kamu tahu sendiri Granny tidak akan mengizinkan kita pergi. Ini perintah langsung beliau.”
“Cari alasannya. Aku harus pulang. Aliya pingsan.”
“Hah, pasti hanya pura-pura. Dia sengaja mencari perhatian. Dia memang ingin merebutmu dariku. Dasar pelayan murahan!” serapah Tania.
Angkasa menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Jaga ucapanmu. Kamu sendiri yang menyuruhku menikahi Aliya. Sekarang kenapa takut kalau dia merebutku? Cepat cari alasan pulang. Aliya tidak pura-pura. Dia pingsan karena hamil.”
Kata “hamil” membuat Tania membeku. Matanya melebar, pikirannya langsung dipenuhi niat buruk. Jika Aliya benar-benar hamil, maka semua rencana akan berjalan dengan lancar, Tania akan meninggalkan Jakarta sampai Aliya melahirkan, lalu saat Tania kembali, bayi Aliya akan diakui sebagai anaknya yang ia lahirkan di luar negri.
Meskipun enggan, Tania akhirnya berpamitan kepada Granny Nadlyn, beralasan ada pekerjaan mendadak—pemotretan di luar negeri menggantikan rekannya yang sakit, dan ia harus berangkat tengah malam itu juga. Granny percaya, meski Daddy Samudra hanya diam dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Angkasa tidak mengantar Tania ke apartemennya. Begitu keluar dari rumah utama, ia langsung menuju mobilnya, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya sendiri.
Di hatinya, hanya ada satu nama yang memenuhi seluruh ruang: Aliya.
jangan lengah,ntar kejadian lagi Aliya hilang
gak jauh jauh dari semesta kan kk Thor 😆...
udah 4 bulan ya dad 🤣🤣🤣
makasih kk Thor 🙏💓