Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang
Gadis itu berusia 25 tahun ketika pertama bekerja di DisPLAY Media. Ia belum terlalu lama lulus dari kuliahnya di DKV, Desain Komunikasi Visual. Pekerjaan pertamanya sebelum di DisPLAY Media adalah bagian dari tim desain di sebuah perusahaan kecil di Jakarta. Tahun itu, ia resmi diterima di DisPLAY Media bersama kedatangan Sang yang ditugaskan di kota tersebut, juga tiga staf baru yang lain.
Awalnya memang tidak ada sesuatu yang terlalu mengesankan dari seorang Florencia Halim. Ia memang cantik, tetapi tidak sedikit gadis cantik di DisPLAY Media. Sudah ada para penyiar atau announcer DisPLAY RADIO, atau host DisPLAY TV, belum lagi dengan adanya Ernawati Juang, jelas tidak langsung membuat Florencia menonjol.
Sebagai anak baru, Florencia lebih banyak tenggelam, selain juga dari beban pekerjaannya di divisi produksi video dan multimedia. Yang bisa Sang gambarkan dari sosok pegawai baru ini, yang satu angkatan dengannya adalah tubuhnya yang tinggi. Sebenarnya Florencia tidak langsing, malah cenderung berisi. Hanya saja, karena tubuhnya yang jangkung itulah yang membuat perawakan Florencia menjadi terlihat proporsional. Berat badannya terdistribusi dengan seimbang.
Cara berjalannya unik, menandak-nandak, berjingkat-jingkat, memantul-mantul. “Kamu jalan kayak kelinci,” celetuk Sang suatu kali.
“Oiya? Wah, ngakak banget,” jawab Florencia dengan suaranya yang datar dan rendah, alto, tapi tak tertawa. Respon yang sedikit garing, dan mungkin tidak pada tempatnya.
Sang terdiam, bingung menanggapinya.
Hari-hari awal di pekerjaan, Sang mendapatkan Florencia hampir selalu mengenakan pakaian formal yang cenderung kaku. Blazer dan celana panjang kulot selalu menjadi andalannya. Begitu pula rambutnya yang tidak pernah lebih panjang dari bahu dan selalu berponi itu, biasanya hanya dikuncir kuda. Namun, beberapa bulan setelahnya, Florencia lebih dikenal sebagai pegawai perempuan yang sangat sesuai dengan divisinya. Pakaiannya modis dan trendi. Ia berani memadumadankan warna yang bertolak belakang, kerap mengenakan sepatu boots fesyen, rambutnya yang lurus ditata sedemikian rupa dan diberi hiasan yang lucu-lucu, serta make up wajah yang disesuaikan dengan tema pakaian hari itu.
Namun, sekali lagi, tidak ada sesuatu hal pun yang begitu menarik perhatian staf atau pegawai kantor media tersebut, termasuk juga Sang Rakyan.
Sang benar-benar mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan dan keluarganya. Damar sudah berada di kelas 6, masa terakhirnya di sekolah dasar. Gendhis yang berusia 9 tahun di kelas 4 SD, dan si kecil Jati masih berusia 2 tahun. Ketiga anaknya memerlukan perhatian dan pendidikan yang tak boleh lepas dari pertimbangan Sang dan Florentina.
Kota kepulauan itu, syukurnya, memiliki institusi pendidikan yang kualitasnya tidak main-main. Ini karena berhubungan dengan posisinya yang strategis, bertautan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Pun Sang mendapatkan karirnya melesat. Dalam 2 tahun ia sudah membeli mobil dan menyicil rumah di kota itu.
“Dulu kita mengontrak. Untuk apa aku ajak kamu dan keluarga pindah ke kota ini kalau kita masih mengontrak juga,” ujar Sang kepada Florentina. “Soal mobil, itu juga sudah harus. Di Semarang, kita terpaksa menggunakan mobil orang tua kamu, mau bagaimana lagi, kita belum punya obil saat itu, sedangkan kita sangat perlu untuk mengantar anak-anak. Selain itu, aku tahu, anak perempuan Papa Mama kamu ini memang istimewa. Nah, sekarang, kamu sudah berhasil aku istimewakan kembali.”
“Ah, sayang. Aku nggak minta sampai segitunya, kok. Yang penting anak-anak kita gampang transportasinya ke sekolah.”
Sang tahu, Florentina bukan seorang perempuan penuntut. Namun, ia sudah hidup enak dari kecil. Sampai sekarang, Sang tak pernah membiarkan istrinya itu untuk kesulitan. Maka, mau tidak mau, ia menerima ‘pinjaman’ mobil mertuanya sewaktu di kota asal sebelum pindah ke kota ini, serta melakukan segala daya upaya untuk terus menjaga kenyamanan hidup Florentina.
“Memang, dibalik kesuksesan seorang laki-laki, pasti ada sosok perempuan istimewa di belakangnya. Bukan begitu, Pak Sang?” ujar Adijaya Sulaiman. “Sama kayak istri saya, Pak Sang. Bedanya, dia cerewet banget, suka ngomel juga. Tapi kalau suami kayak saya ini nggak diomelin, kerjanya jadi males, nggak ada dorongan. Terus, boros juga. Nah, cara perempuan mendukung suami memang beda-beda, kan, Pak?”
Sang mengangguk-angguk setuju. Ia tersenyum sumringah. Beruntung sekali Florentina tidak seperti istri temannya itu.
“Itu pujian bukan, sih, Pak Adi? Atau sebenarnya Bapak sedang mengeluh, curhat?” seloroh Juang.
Mereka sedang rehat di kantin kantor media siang itu.
Florencia datang tergopoh-gopoh. Kacamatanya tertarik ke atas kepala.
“Lapar, lapar …,” serunya. Ia langsung melemparkan bokongnya di kursi tepat di samping Juang.
Perhatian kini kembali ke respon Adijaya terhadap kata-kata Juang.
“Kamu ini memang nggak bisa lihat hal positif dari sesuatu, ya. Kan nggak semua hal bagus itu harus berisi pujian, Juang,” jawab Adijaya.
“Tapi, kalimat Bapak tadi jelas-jelas menunjukkan kalau Bapak sedang mengeluh. Nggak boleh kayak gitu, Pak,” ucap Juang dengan nada dan raut wajah serius, meskipun tidak bisa ditebak maksud hatinya, mengingat Juang adalah sosok yang suka bermain-main kata dan emosi.
Florencia menurunkan kacamatanya. “Tahu nggak, aku dari tadi sebenarnya pakai lensa kontak, tapi lupa. Terus aku pakai kacamata,” ia terkekeh. “Makanya, pas nggak pakai kacamata, kok kalian tetap kelihatan jelas, ya. Rupanya ya aku pakai contact lens. Eh, benar, Pak Adi. Nggak semua hal baik harus terlihat baik-baik terus.”
Ketiga orang yang sedang berada di bangku dan meja kantin itu melongo. Masih belum terbiasa dengan cara Florencia berbicara yang melompat-lompat acak sesuka hati itu.
“Mana nih sotonya. Udah pesen aku tadi. Panas ya?” ujar Florencia kembali. Tangannya mengipas-ngipas wajah dan lehernya. “Kamu nggak kepanasan apa, Kak?” ia menatap ke samping, ke arah Juang yang masih melongo.
“Kacau ni anak,” respon Juang tak percaya.
Sang terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kacau tuh kamu, katanya Juang.”
“Apaan? Kacau? Iya, Pak Sang, laper, panas. Kacauu …”
Sang tertawa lepas. Diikuti Adijaya. Sedangkan Juang mendengus sebal. Florencia, memandang sekeliling, kemudian meringis. Ia tak paham apa yang sedang terjadi, dan tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi karena sejenak saja ia sudah tenggelam dalam kegiatan memakan satu mangkuk soto panas yang baru saja hadir di hadapannya.
Sang tentu saja merasa aman dalam pekerjaannya selama setahun lebih ini. Lingkungan sosialnya terjaga. Memiliki teman-teman akrab, sekaligus rekan kerja yang bisa diandalkan seakan menjamin kenyamanan dan jalan profesinya tersebut. Hari demi hari dihabiskan Sang untuk menyusun bata demi bata, pilar demi pilar, dan dinding demi dinding.
Tanpa terasa, tanpa sempat Sang melakukan persiapan, mendadak ia jatuh lelah. Beban di kepalanya seperti hendak meledak tanpa ia sadari, tanpa ia awas akan bahaya laten tersebut.
Usahanya untuk menunjukkan kualitas diri kepada keluarga, terutama keluarga istrinya, ternyata tak pernah sungguh usai. Tujuan itu membayang-bayangi dirinya, menempel bagai kulit kedua, bak penyakit yang tak bisa sembuh. Beban tugas di alam bawah sadarnya itu telah menggerogoti dirinya sendiri. Sang mati-matian bekerja, sekaligus berperan adil dan sempurna bagi keluarganya, bagi istri dan anak-anaknya.
Kepalanya kini mulai kerap sakit, berdenyut-denyut. Tubuhnya sering capai, letih, dan kehilangan tenaga. Kadang pandangannya pun kosong, bingung mengarah kemana. Untuk pertama kali dalam hidupnya seorang Sang Rakyan limbung.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk