Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan Pesta
Tak terasa sudah tiga hari berlalu.
Tiga hari Hana hidup seperti hantu di rumah itu, tak terlihat, tak terdengar, tak dianggap.
Setiap hari, ibunya masih terus menyuruhnya pulang. Setiap hari pula Hana menjawab dengan diam dan tatapan tak tergoyahkan.
Dan sebagai balasan, ibunya mengabaikannya. Kadang tidak memberinya makan sama sekali.
Tapi Hana tak gentar. Bukan itu yang membuatnya lelah. Ia datang bukan untuk dimanjakan.
Hari ini, semuanya akan berubah.
Hari ini adalah hari terakhir pengamatannya.
Hana telah menyusun segalanya. Tiga hari bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk mengenali siapa yang sesungguhnya menjadi raja dan siapa yang menjadi budak di rumah ini.
Ia tahu kapan Burhan keluar dan pulang. Ia tahu kapan Malika mandi, kapan ia membuka jendela, bahkan kapan ia merengek minta sesuatu dari ibunya.
Ia tahu semuanya. Dan yang lebih penting, ia tahu kapan harus muncul.
Karena hari ini, bukan hari biasa.
Hari ini adalah hari ulang tahun Malika.
Pesta besar. Dekorasi elegan. Catering mewah. Undangan tersebar.
Dan Malika, si tuan putri rumah ini akan tampil sempurna di tengah-tengah semua puja-puji.
Hana tersenyum kecil dari balik jendela. Sempurna. Panggungnya sudah siap.
Ia memperhatikan rumah yang sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, menggantung balon, membawa nampan makanan.
Tirai warna pink pastel menghiasi dinding ruang tamu, bunga plastik disusun membentuk tulisan “Happy Birthday, Malika!”
Lalu pintu kamarnya diketuk cepat.
Tanpa menunggu jawaban, Sri masuk.
Ibunya tampil cantik. Rambut disanggul rapi, wajahnya dipoles tipis dengan bedak dan lipstik cerah. Kebaya modern membalut tubuhnya, lengkap dengan bros mengilap di dada.
Di tangannya, sepiring nasi dan sepotong ayam goreng.
Ia meletakkannya di atas meja, tanpa senyum. Matanya berkilat, tapi bukan karena bahagia.
"Makan. Dan tetap di kamar. Jangan keluar. Hari ini banyak tamu.” katanya dingin.
Hana menatap ibunya. Lama. Pandangan yang tidak meminta pengertian tapi menunjukkan sesuatu yang baru.
Keputusan.
Siap.
"Baik, Bu," jawabnya datar.
Sri tidak tahu, kalimat “baik” itu bukan tanda penurutan. Tapi tanda bahwa waktu Hana telah tiba.
Sang ibu pergi, menutup pintu dengan cepat. Tak ingin siapa pun tahu ada orang asing atau lebih tepatnya, orang yang seharusnya tak pernah ada di rumah itu.
Hana tidak langsung menyentuh nasi. Ia menatap ayam goreng yang sebenarnya tampak lezat. Tapi bukan itu yang ia butuhkan sekarang.
“Selamat ulang tahun, Malika,” bisik Hana pada dirinya sendiri.
“Semoga kamu suka kejutan dari saudarimu yang selama ini disembunyikan.”
Beberapa saat kemudian.
Hana menatap pantulan dirinya di kaca kecil dalam lemari reyot itu.
Cermin itu buram, goresannya banyak. Tapi cukup baginya untuk melihat betapa sempurna rencananya bekerja.
Gaun pesta berwarna lilac dengan hiasan manik-manik perak yang berkilau itu membalut tubuhnya dengan pas. Lehernya yang jenjang terlihat anggun, lengannya yang ramping tampak bersih, dan rambut panjangnya terurai alami. Ia tidak berdandan berlebihan, cukup sedikit bedak, pensil alis tipis, dan lipstik nude. Namun aura percaya dirinya menambah pesona yang tidak dimiliki siapapun di rumah ini.
Ia berputar pelan, seolah berada di ruang ganti butik kelas atas.
Baju ini, milik Malika.
Dibeli khusus untuk hari ini.
Hari di mana Malika akan berdiri di tengah tamu-tamu undangan dan menuai pujian.
Tapi sekarang, baju itu ada padanya.
Dan yang akan berdiri di tengah panggung adalah dirinya.
Dua malam lalu, saat rumah hening dan semua tidur pulas, Hana keluar dari kamarnya. Ia tahu letak kamar Malika, dan ia tahu Malika selalu tidur dengan earphone menyala, memutar musik semalaman.
Dengan langkah ringan dan jantung yang nyaris meledak, ia menyelinap masuk, membuka lemari besar berlampu otomatis, dan mengambil gaun itu dengan hati-hati.
Seolah ia sedang merampas mahkota dari kepala seorang putri.
Dan benar saja, hari ini, ia adalah penggantinya.
Dari luar, terdengar suara kekacauan.
“BU! BAJUNYA HILANG! BUKAN DI LEMARI, BUKAN DI KOPER, NGGAK ADA SEMUANYA!”
“Ya Allah, Malika! Ibu udah cari di mana-mana! Gimana ini, Nak?”
“AKU NGGAK MAU PESTA KALO BAJU ITU NGGAK ADA! UDAH MAHAL! UDAH DISESUAIIN SAMA TEMA! GIMANA NIH BUUUUUU!”
Hana menyisir rambutnya sambil menyunggingkan senyum sinis.
Sesekali, ia bahkan tertawa pelan. Bukan tawa jahat, tapi tawa penuh kemenangan.
Rengetan Malika adalah musik kemenangan bagi Hana.
Baju mahal yang dibeli dengan uang curian dari neneknya, kini membungkus tubuh orang yang lebih layak.
Dan betapa ironisnya, gaun itu justru akan menjadi simbol dimulainya kehancuran pesta sang putri.
Sebentar lagi para tamu datang.
Sebentar lagi dia akan keluar.
Sebentar lagi, semuanya berubah.
***
Riuh kendaraan mulai terdengar satu per satu.
Suara deru mobil, pintu dibuka-tutup, dan ucapan selamat datang yang ramai menggema dari halaman depan rumah.
Tamu undangan telah berdatangan.
Para kerabat, tetangga, teman sekolah Malika, bahkan beberapa kenalan bisnis Burhan tampak hadir dengan dandanan terbaik mereka.
Bunga-bunga balon berwarna lilac dan silver bergoyang tertiup angin. Musik lembut mengalun dari speaker besar. Aroma makanan mewah mulai menyebar dari dapur.
Pesta ulang tahun Malika telah dimulai.
Namun Malika dan rengekannya tidak terdengar lagi.
Hana tersenyum dari tempatnya berdiri, dia bisa tahu sebagian besar tamu telah berkumpul dari riuhnya suara mereka mengobrol. Terdengar suara Burhan berbasa-basi, Sri tersenyum palsu, dan Malika yang tetap mencuri perhatian meski bajunya bukan yang ia inginkan.
Sepertinya mereka telah menemukan solusi.
Entah meminjam baju lain, entah membeli baru. Tapi satu hal pasti, itu bukan gaun yang mereka rencanakan.
Dan bukan itu pula yang akan dikenang para tamu nanti.
Karena kejutan sesungguhnya belum dimulai.
Hana memeriksa dirinya sekali lagi.
Gaun itu pas. Makeup-nya lembut namun tajam.
Tas mungil berwarna ungu pastel tergantung di bahunya. Tas milik Malika.
Di dalamnya, ia sudah menyelipkan sebuah amplop putih tebal.
Amplop itu bukan sekadar surat.
Di dalamnya ada salinan asli perjanjian hutang antara Nenek Ningsih, Sri, dan Burhan lengkap dengan tanda tangan dan materai.
Dokumen yang akan mengungkap semuanya.
Senyumnya mengembang. Ia mendengar Sri memanggil semua tamu untuk bersiap di halaman.
Saat yang tepat.
Hana melangkah keluar dari kamar. Pelan.
Sepatunya berbunyi halus menyentuh lantai keramik. Memasuki ruang makan, ruang keluarga lalu terakhir, ruang tamu
Wajah-wajah mulai menoleh. Beberapa anak muda menatapnya bingung, beberapa ibu-ibu saling berbisik.
Karena di tengah pesta mewah itu, muncul seorang gadis yang tak dikenal, gadis cantik yang menarik perhatian, mengenakan gaun yang paling mahal dan mencolok dari semuanya.
Burhan menoleh. Matanya menyipit.
Sri tersentak, wajahnya seketika pucat.
Malika memutar tubuhnya, dan begitu melihat siapa yang datang…
wajahnya membeku.
“Itu… tas aku…
Itu… BAJU AKU!!!” jeritnya.
Hening. Semua menatap Hana.
Namun Hana tetap tenang.
Dia berdiri di tengah ruangan, dengan posisi sempurna di bawah lampu gantung. Wajahnya diterangi cahaya.
Dan dengan suara lembut, tapi tegas, ia berkata:
“Selamat ulang tahun, saudariku.”
apa hrs di smbut dgn kta selamat datang neraka bgi Hana, /Grin//Joyful/
tak BS ku berkata2..seandainya itu memang ada dinkehidupan nyata...astagfirullahaladzim...
Lawanlah... meski hasilnya belum pasti..
Gak cukup apa, ngorbanin Hana kecil dulu, sekarang ibunya digituin pun masih diam...
udh matiin aja karakter Sri ini.. bikin esmosi aja.. dari awal sampe sekarang.
Yg lain okelah.. kejam sama Hana karena gak ada ikatan darah.. Lah ini Ibunya sendiri, bisa gitu sama anak kandungnya...
Ngancurin citra kaum Ibu ..