NovelToon NovelToon
Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: chery red

Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Ikrar dalam Kebisuan dan Api Dendam

Di klinik kecil Dokter Surya, waktu terasa bergerak berbeda, seolah melambat, membiarkan setiap momen terukir jelas dalam ingatan Alea. Aroma antiseptik dan obat-obatan yang tajam memenuhi udara, bercampur dengan bau darah yang samar namun tak terhapuskan dari lengan Alexander. Alea duduk di samping ranjang tempat Alexander terbaring, sebuah kursi plastik keras yang terasa dingin di bawah tubuhnya yang lelah. Setelah transfusi darahnya, Alexander kini tampak lebih stabil, walau wajahnya masih pucat pasi dan napasnya lemah, naik turun perlahan. Mata onyx itu kini terbuka, menatap Alea dengan sorot yang lebih jelas, lebih jernih, dan penuh penyelidikan, seolah mencoba membaca setiap inci keberadaan Alea.

"Terima kasih," bisik Alexander, suaranya parau, nyaris tak terdengar. Ia menelan ludah dengan susah payah. "Kau menyelamatkanku."

Alea hanya mengangguk pelan. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Pertanyaan tentang identitas lelaki ini masih berputar di benaknya, namun kini sebuah nama—Alexander—telah memberinya jawaban yang mengejutkan.

Alexander menghela napas, napasnya sedikit bergetar, matanya tak lepas dari wajah Alea. "Kau tahu, aku tidak salah duga," katanya, suaranya sedikit lebih kuat, meski masih dipenuhi kelelahan. "Kau sangat mirip dengan Rosalind, adikku. Persis seperti dia saat seusiamu." Ia menatap Alea lekat, seolah mencari-cari familiaritas yang ia rindukan. "Apalagi mata itu... mata onyx yang sama." Ia mengangkat lengannya yang terluka dengan susah payah, menunjuk ke arahnya, lalu melirik Alea. "Dan golongan darah... O rhesus negatif. Golongan darah langka yang hanya dimiliki oleh ayah ku, dan aku, serta Rosalind sendiri. Tak semua orang dan saudara di keluargaku yang mempunyai golongan darah seperti kami. Hanya tiga orang dan kini bertambah satu orang yaitu kamu, aku yakin jika kamu adalah keponakanku, wajahmu sama percis dengan adikku Rosalind, dan warna mata mu sama dengan warna ibuku, abangku, Edward,aku juga Rosalind. Hanya kami bertiga yang mewarisi warna mata onyx dari pihak keluarga ibuku, sekarang ditambah dengan kamu. Memperkuat dugaanku jika kita mempunyai hubungan darah yang kuat. Aku adalah Paman mu , Alexander William Callahan. Anak sulung dari tiga bersaudara Callahan. Dan kamu pasti anak dari adik perempuan ku satu-satunya, Rosalind."

Alea merasakan jantungnya berdetak kencang, menggema di telinganya sendiri. O rhesus negatif. Itu golongan darahnya. Pengakuan itu, yang keluar langsung dari bibir Alexander, membenarkan semua dugaan liarnya, semua harapan yang samar-samar tumbuh di dalam dirinya. Ini memang Paman Alexander. Satu-satunya jejak keluarga yang tersisa dari pihak Mamanya, yang selama ini seolah terhapus dari sejarah. Air mata samar menggenang di mata Alea, kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan percampuran antara kelegaan, rasa terhubung, dan kegetiran. Ia akhirnya menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang, tersembunyi di balik tabir kebohongan dan pengasingan. Perasaan aneh menyelimutinya, seperti menemukan bagian yang hilang dari teka-teki kehidupannya.

"Paman Alexander?" bisik Alea, suaranya hampir tak terdengar, sebuah pertanyaan sekaligus penegasan.

Alexander tersenyum tipis, senyum pertama yang Alea lihat darinya. Senyum itu menghapus sebagian kegarangan dari wajahnya yang terluka, menampakkan sisi lembut yang tak terduga. "Ya, Alea. Aku pamanmu," katanya, suaranya kini terdengar lebih mantap. "Maafkan aku tidak bisa menjagamu selama ini. Aku... aku tidak tahu kau ada." Ada penyesalan tulus di balik tatapan matanya.

Kemudian, Alexander mencoba bangkit sedikit, kepalanya bersandar lemah di bantal. "Jadi, Rosalind... bagaimana kabarnya? Sudah lama sekali aku tidak mendengar apa pun tentangnya setelah..." Suaranya tercekat. Ia tampak berharap, sebuah kerinduan terpancar dari matanya.

Alea menunduk, matanya berkaca-kaca. Hatinya pedih, Alexander belum tahu. "Paman..." Alea menarik napas dalam, terasa berat. "Mama... Rosalind... dia sudah meninggal."

Wajah Alexander yang tadinya dipenuhi harapan seketika membeku. Ia menatap Alea tak percaya, matanya melebar. "M-meninggal? Tidak mungkin..."

Alea mengangguk, air mata akhirnya menetes. "Dia... meninggal saat melahirkan ku. Dulu, Papa selalu menyalahkan ku, Paman. Dia bilang aku pembawa sial, penyebab kematian Mama." Suara Alea bergetar.

Alexander menatap Alea, lalu matanya terpejam erat. Sebuah erangan pilu lolos dari bibirnya. Tubuhnya menegang, bukan karena luka fisiknya, melainkan karena rasa sakit yang jauh lebih dalam. "Tidak... bukan kau yang salah, Alea," bisiknya, suaranya penuh penyesalan dan keputusasaan. "Aku yang salah. Aku... aku seharusnya tidak pergi. Aku gagal. Aku gagal menjadi kakak yang baik, yang seharusnya bisa menjaga adikku. Aku tidak berguna." Ia menekan lengannya yang terluka, seolah rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya. Janji itu, yang kini terukir dalam hatinya, adalah sebuah ikrar sunyi. Ia akan menjaga dan melindungi Alea. Dengan sisa hidupnya, ia akan menebus kesalahannya pada Rosalind melalui putrinya.

Sepanjang hari itu, Alea tak beranjak dari sisi Alexander. Ia membantu Dokter Surya membersihkan luka-luka Alexander dengan hati-hati, mengikuti setiap instruksi dengan cermat. Ia mengganti perban yang kotor dengan yang baru dan bersih, memastikan tidak ada kuman yang masuk. Ia juga memastikan Alexander meminum obatnya tepat waktu, membantunya meneguk air saat ia kesulitan. Dalam proses merawat Alexander, kejeniusan dan kepintaran Alea yang tersembunyi—warisan dari Kakeknya, seorang profesor yang disegani dan ahli strategi ulung juga kejeniusan neneknya yang mantan mata-mata tingkat tinggi dan juga seorang pebisnis tulen yang disegani oleh kalangan pebisnis—mulai terlihat jelas. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas tentang proses penyembuhan, mengamati detail-detail medis dengan cepat, bahkan sesekali menyarankan hal-hal kecil yang luput dari perhatian dokter. Misalnya, ia bertanya tentang jenis antibiotik yang paling efektif untuk luka sayatan dalam, atau mempertanyakan mengapa Dokter Surya tidak menggunakan jenis perban tertentu yang ia baca di buku.

Dokter Surya, seorang pria tua yang telah melihat banyak hal, menatap Alea dengan kagum. "Nak, kau punya pikiran yang tajam. Sangat jarang anak seusiamu punya pemahaman seperti ini."

Alexander, yang diam-diam mengamatinya, menyadari kilau kecerdasan itu. Kecerdasan yang persis seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya , dan juga pada Rosalind serta Edward. Ia tahu, gadis ini bukan hanya berani, tapi juga memiliki potensi yang luar biasa. Ia memiliki darah Callahans sejati dalam dirinya—bukan hanya darah, tapi juga kecerdasan dan ketajaman pikiran yang membedakan keluarga mereka. Namun, Alea, secara naluriah, tahu ia harus menyembunyikan kejeniusan ini. Ia terbiasa menjadi tak terlihat, dan ia tahu menampilkan kecerdasannya secara gamblang bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan dari orang-orang berbahaya seperti Papa. Apalagi, ada satu lagi bakat tersembunyi yang ia miliki: kemampuannya meretas dan penguasaan IT yang bisa dibilang ahli dan jago, bahkan hampir tak bisa ditandingi oleh para ahli IT lain, sebuah kemampuan yang ia pelajari secara otodidak di sudut kamarnya yang sunyi, dari internet yang menjadi satu-satunya pelariannya. Kemampuan ini, ia tahu, adalah rahasia paling mematikan yang harus ia simpan rapat-rapat.

Malam harinya, setelah Alexander merasa sedikit lebih kuat dan Dokter Surya meninggalkan mereka berdua untuk beristirahat, Alexander bercerita lebih banyak. Ia mengisyaratkan tentang dunia berbahaya yang ia geluti, tentang musuh-musuh yang tidak akan berhenti mengejarnya, dan tentang rahasia keluarga yang jauh lebih gelap dari yang Alea bayangkan. Rahasia yang mungkin berkaitan erat dengan kematian Mamanya, Rosalind, dan kejatuhan kakeknya dan pembunuhan terhadap Edward dan juga neneknya. Alea mendengarkan dengan saring, setiap kata mengukir janji balas dendam yang semakin kuat di hatinya. Paman Alexander tidak sepenuhnya menjelaskan semuanya—mungkin belum saatnya, atau ia terlalu lemah—namun cukup untuk membuat Alea mengerti bahwa dunia mereka sangat jauh dari kehidupan normal yang ia kenal. Ada kekuasaan, pengkhianatan, dan pertempuran yang tak terlihat oleh mata biasa. Ia sadar, menyelamatkan Alexander berarti dirinya kini telah menjadi bagian dari dunia gelap itu. Sebuah dunia yang terasa seperti jalan keluar dari neraka pribadinya, sebuah pintu menuju kekuatan yang ia butuhkan untuk membalas.

Waktu telah beranjak semakin malam ketika Alea memutuskan untuk pulang. Ia berpamitan pada Alexander, berjanji akan kembali esok. Langkahnya terasa ringan sekaligus berat, hati yang baru saja menemukan secercah harapan kini harus kembali menghadapi kegelapan rumahnya sendiri.

Ia membuka pintu perlahan, derit engsel yang pelan memecah keheningan yang mencekam. Namun, Alea belum sempat melangkah lebih jauh. Dari sudut dapur, Bi Ijah tiba-tiba muncul, wajahnya pucat pasi. Matanya langsung tertuju pada noda darah yang masih menempel di lengan seragam Alea. Rasa cemas dan ketakutan menyelimuti wajah Bi Ijah. "Non Alea! Astaga, ini darah apa, Non? Non baik-baik saja? Kenapa bisa begini?" Suaranya bergetar, tangan keriputnya meraih lengan Alea, memeriksa kondisinya dengan panik. Ia tahu Alea baru saja pulang dari rumah sakit karena bullying, dan melihat darah ini semakin membuat hatinya sakit.

Alea mencoba menenangkan Bi Ijah, namun sebelum ia sempat menjelaskan, lampu di ruang keluarga tiba-tiba menyala terang, menyilaukan matanya. Di sana, Papa dan Abang Kevin berdiri tegak, mematung, wajah mereka keras, kaku, dan mata mereka memancarkan api kemarahan yang membara. Di samping mereka, Tiara berdiri dengan wajah berpura-pura sedih yang sempurna, bahunya bergetar seolah ia baru saja menangis hebat, dan perban kecil melingkar rapi di lengannya—seolah-olah ia adalah korban yang lebih besar dari Alea, sebuah mahakarya kebohongan yang kejam.

"Dari mana saja kamu?!" bentak Papa, suaranya menggelegar, memenuhi ruangan. Suaranya penuh kemarahan dan jijik. "Beraninya kamu pulang selarut ini?! Apa yang kau lakukan di luar sana, berkeliaran seperti gelandangan?!"

Alea menunduk, mencengkeram tasnya yang sobek erat-erat, kuku-kukunya memutih. "Saya... saya menolong seseorang yang terluka, Pa..."

"Menolong?!" Abang Kevin maju selangkah, sorot matanya memancarkan kemarahan dingin, jauh lebih membeku dari es. "Jangan berbohong, Alea! Kau pikir kami bodoh?! Kau pikir kami tidak tahu apa yang kau lakukan?!" Ia menunjuk ke arah lengan seragam Alea yang masih terdapat noda darah Alexander, sebuah bukti tak terbantahkan di mata mereka. "Baju berlumuran darah ini, apa maksudnya?! Tiara sudah menceritakan semuanya!"

Tiara terisak pelan, memainkan peran korban dengan sempurna, air mata palsunya mengalir anggun di pipinya. "Hiks... Alea... dia... dia ikut tawuran, Papa, Abang!" Suaranya terdengar polos, penuh kepalsuan. "Dia yang memprovokasi! Dia yang memukuliku... sampai aku terluka parah! Aku tidak tahu kenapa Alea sejahat ini padaku... hiks... aku tidak melakukan apa-apa padanya..." Ia bersembunyi di balik Papa, menatap Alea dengan pandangan penuh kemenangan di balik air mata palsunya yang berlinang, sebuah seringai tipis terukir di bibirnya.

Darah Alexander yang masih menempel di lengan seragam Alea menjadi bukti yang tak terbantahkan di mata mereka. Papa dan Abang Kevin, yang telah lama membencinya, kini memiliki alasan sempurna untuk melampiaskan kemarahan mereka. Alasan yang dihasut oleh Tiara. Bi Ijah yang berdiri di belakang Alea, memegang lengan Alea erat-erat, mencoba membela, namun satu tatapan tajam dari Papa membuat suara Bi Ijah tercekat di tenggorokan.

"Dasar anak tidak tahu diri!" Papa berteriak lagi, suaranya penuh kemuakan dan penghinaan. "Sudah jadi pembawa sial, sekarang jadi preman? Kau merusak nama baik keluarga kita! Kau memalukan!" Ia melangkah menuju perapian, mengambil cambuk kulit yang biasa digunakan untuk melatih anjing penjaga mereka, yang tergeletak di samping perapian. Berat dan panjang, cambuk itu kini terlihat mengerikan di tangan Papa.

Alea terkesiap. Cambuk? Ia merasakan getaran ketakutan yang menjalar di sekujur tubuhnya, namun anehnya, rasa sakit di hatinya jauh lebih mendominasi. Rasa sakit dari pengkhianatan, dari ketidakadilan yang tak berujung.

Syiuuuuuutt...

Tarrr..

Tarrr...

Tar...

"Ini hukumanmu, Alea!" bentak Papa, tanpa ampun, tanpa sedikit pun keraguan di matanya. Cambukan pertama mendarat di punggung Alea, suara lecutan mengoyak udara, membelah kain seragamnya, meninggalkan garis merah membara dan rasa perih yang luar biasa. Alea memejamkan mata, menggigit bibirnya hingga terasa nyeri. Cambukan kedua, ketiga... setiap pukulan bagai palu godam yang menghantam, menguras sisa-sisa harapan dalam dirinya. Alea terhuyung, terjatuh ke lantai yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Ia merasakan sakit membakar di punggungnya, namun anehnya, air mata yang seharusnya tumpah tak kunjung keluar. Hatinya terlalu sakit untuk sekadar menangis.

Abang Kevin mendekat, seringai dingin terukir di bibirnya. Ia mengangkat kakinya dan menginjak tangan Alea yang mencoba menopang tubuhnya, menekan kuat-kuat hingga rasa nyeri menusuk tulang. "Ini balasan karena kau berani menyentuh Tiara. Kau tidak akan pernah bisa menyakiti dia!" Ia kemudian mengangkat tangannya dan memukul wajah Alea dengan keras, menambahkan memar baru di pipinya yang sudah bengkak, darah segar mengalir dari sudut bibirnya, terasa asin di lidahnya.

Tiara menyaksikan dengan senyum puas yang tersamarkan, bibirnya melengkung tipis, matanya memancarkan kebahagiaan kejam. Adegan itu, kekejaman mereka yang tiada batas, dan kebohongan Tiara yang diterima mentah-mentah oleh Papa dan Abang tanpa sedikit pun keraguan, menjadi cambukan terakhir bagi hati Alea. Cambukan yang memutus semua ikatan, semua harapan.

Alea terbaring di lantai yang dingin, tubuhnya remuk, darah merembes dari luka-luka baru di punggungnya, membasahi kain seragamnya dan lantai. Namun, di tengah semua rasa sakit fisik itu, sebuah keajaiban yang mengerikan terjadi dalam dirinya. Hatinya, yang selama ini selalu mendambakan perhatian dan kasih sayang mereka, yang selalu mencoba mendapatkan sedikit saja pengakuan, kini terasa kosong, dingin, beku. Tidak ada lagi harapan, tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk karena pengabaian mereka. Semua itu telah mati. Terhapus oleh kebrutalan dan ketidakadilan yang tak tertahankan.

Ia bangkit, perlahan, tertatih, setiap gerakan adalah manifestasi dari tekad baru. Wajahnya pucat, namun matanya yang onyx kini menatap Papa dan Abang Kevin dengan hampa, tanpa emosi, tanpa air mata, tanpa secuil pun rasa takut. Bukan lagi tatapan permohonan, melainkan tatapan yang kini memancarkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya: tekad dan kebencian pada mereka. Tekad balas dendam yang dingin, kejam, dan pasti. Mereka telah merenggut segalanya darinya, termasuk harapan terakhirnya akan sebuah keluarga. Sekarang, ia akan merenggut semuanya dari mereka, secara perlahan, satu per satu, sampai mereka merasakan apa yang ia rasakan.

Alea melangkah melewati Papa, Abang, dan Tiara yang masih memandangnya dengan jijik, menuju kamarnya. Kali ini, bukan untuk meratap, bukan untuk menangisi nasibnya. Kali ini, untuk merencanakan. Pintu kamarnya tertutup rapat di belakangnya, memisahkan dirinya dari dunia luar. Ini adalah akhir dari Alea yang lemah dan mendambakan kasih sayang. Babak baru telah dimulai. Alexander, sang paman yang baru ditemukan, adalah bagian dari takdirnya, dan dunia gelap yang ia bawa kini menjadi medan pertempuran Alea. Ia telah bersumpah dalam hati: balas dendam akan menjadi tujuan hidupnya, dan ia akan memastikan tidak ada yang bisa menghentikannya.

1
Naruto Uzumaki family
Lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!