NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 Menjadikan Damien Miliknya

Pagi itu, udara BarbaraBay terasa lembap dan dingin. Kabut tipis masih menggantung di atas jalan setapak ketika Alex tiba di rumah kakeknya.

Tempat ini terasa asing baginya—seperti halaman masa lalu yang pernah ditutup rapat dan kini tiba-tiba terbuka lagi.

BarbaraBay bukan kota besar. Penduduknya sedikit, tapi wilayah di sekitar teluk itu terlihat makmur, rapi, dan tertata.

Ini pertama kalinya Alex datang ke sini, bahkan alamat rumah Liam pun ia dapat dari Pak Frans.

Dalam ingatannya, kakeknya tak pernah ingin tahu urusan keluarganya. Liam menolak menerima Laureen sebagai menantu, dan sejak itu hubungan mereka benar-benar terputus.

Namun beberapa hari lalu, saat menonton ulang video pernikahannya dengan Eve—dan juga pernikahan Rayyan dan Nic—ia melihat wajah Liam di antara tamu.

Itu cukup untuk membuatnya berpikir bahwa mungkin hubungan mereka tak seburuk dulu.

Dan pagi ini, setelah menimbang cukup lama, dia akhirnya melangkah ke rumah itu lagi.

Rumah Liam sederhana, hanya satu lantai, berdinding kayu tua yang tampak kokoh. Tapi halamannya luas—dari gerbang hingga rumah utama berjarak hampir seratus meter, dipenuhi batu pijakan yang disusun rapi dan pepohonan yang dipangkas berbentuk bulat.

Air dari kolam ikan di tengah halaman beriak lembut, memantulkan sinar matahari pagi yang samar.

Alex menarik napas panjang, melangkah masuk melewati teras. Tapi langkahnya berhenti saat melihat cahaya samar yang memancar dari lubang-lubang ukiran kayu di dinding pemisah ruang tamu.

Dari celah itu, terlihat dua sosok sedang berciuman. Seorang wanita dan seorang pria bercelana kasual hitam. Wajah mereka tak jelas, tapi bibir yang saling menempel itu cukup untuk memberi gambaran utuh.

Alex tersenyum miring, tidak memperlambat langkah sedikit pun. Seolah pemandangan itu hanya bayangan kecil di matanya. Ia terus berjalan lurus, tatapannya dingin dan fokus ke depan, seperti memakai kacamata kuda.

“Tuan ….” Suara itu memanggil pelan.

Alex menoleh. Harish—asisten Liam—berdiri kikuk, wajahnya memerah.

Wanita yang bersamanya tadi buru-buru pergi, langkahnya tergesa ke pintu sambil menunduk. Rambut panjangnya tergerai sampai ke pinggang, bergoyang seiring langkahnya yang terburu.

Alex meliriknya sebentar, lalu mengangkat satu alis dengan nada menggoda. “Aku tidak ingat kau sudah menikah.”

“Ah … itu—tidak, bukan begitu, Tuan.” Harish berdehem gugup, lalu cepat-cepat mengalihkan topik. “Apakah Anda akan menemui Tuan Besar? Beliau ada di kamarnya.”

Alex hanya mengangguk kecil dan berjalan masuk tanpa banyak bicara.

Kamar Liam berada di ujung koridor. Ketika pintu terbuka, aroma buku tua dan kayu menguar dari dalam. Pria tua itu duduk di kursi goyang, menutup buku tebal di tangannya dan melepaskan kacamata dengan senyum samar.

Alex menaruh jasnya di atas kasur, lalu menarik kursi lebih dekat ke arah kakeknya.

Tidak ada basa-basi.

“Aku tidak peduli apakah kau mau tahu dengan keluargaku atau tidak,” katanya datar. “Selama ini aku juga tidak pernah datang padamu. Tapi kali ini aku datang untuk meminta bantuan. Bahkan jika kau menganggapku orang asing, aku bersedia membayar berapa pun asal kau membantuku menemukan Damien.”

Liam menatapnya lama, senyum tipis di bibirnya tak berubah.

Senyum itu bisa berarti apa pun—ramah, sinis, atau mungkin sekadar menyembunyikan sesuatu.

Bagi Alex, pria tua ini tetap misteri yang tidak pernah bisa ia pecahkan. Bahkan Harish pun mengaku tak pernah tahu apa yang sebenarnya dilakukan Liam.

“Datang dan katakan apa yang kau butuhkan dariku. Selama aku bisa membantu, aku akan melakukannya. Dulu—” Liam menggantung kalimatnya, matanya menatap keluar jendela dengan pandang jauh.

“Setelah ayahmu menikahi Laureen, perlahan ia berubah. Terakhir kali aku menunjukkan kepedulianku, ayahmu berkata padaku agar tak ikut campur lagi. Dia bahkan memintaku tak perlu tahu bagaimana ia membesarkan anak-anaknya.”

Liam menoleh ke arah Alex dan menarik senyum tipis. “Saat itu aku memutuskan membiarkan mereka. Aku membatasi diri, menganggap mereka seperti orang asing. Tapi jika kalian datang dan membutuhkan, aku takkan menolak. Itu janjiku, Alex. Mungkin aku meninggalkan kalian dulu, tapi aku akan kembali saat kalian memerlukan.”

“Aku tak perlu menjelaskan kenapa mereka membenciku, kan?” Liam tersenyum miris.

“Kenapa?” tanya Alex.

Liam terdiam beberapa saat, mengamati wajah cucunya dengan cermat. Ia ingin mengejek, tapi ekspresi Alex kali ini serius—benar-benar mencari jawaban.

“Alex, aku sudah bilang hal ini sebelum kau mengadakan pesta pernikahan dengan istrimu dulu.” Liam mengingatkan pelan.

“Aku kehilangan ingatan. Ingatanku terhenti tujuh tahun lalu. Karena itu aku datang padamu sekarang.” Alex menyela, suaranya datar namun tegas.

Liam menahan napas sejenak. “Baiklah, lupakan itu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

“Bantu aku mencari Damien,” ucap Alex singkat.

Liam mengerutkan dahi. “Kau mungkin kehilangan ingatan, tapi jangan bodoh. Kau pikir aku tak tahu tentang kematian cicitku? Aku sudah menemuinya di makam waktu pemakaman. Kau mau aku gali makamnya?” Suaranya mengandung ketus, lalu ia berpaling, menyembunyikan rasa kecewa.

“Dia belum mati,” desis Alex, kata-kata itu meluncur penuh keyakinan.

“Malam di mana aku kecelakaan, sebelum kabar kematian Damien, sepertinya aku telah merencanakan sesuatu untuk menyembunyikan Damien. Beberapa orang mengincarnya, itu karena jantung Damien yang kuperoleh dari seorang anak. Sayangnya, aku menghapus semua jejakku, dan aku kecelakaan, lalu ingatanku terhenti di tujuh tahun yang lalu. Aku tidak dapat menemukan Damien lagi sampai sekarang.”

Liam menatapnya ulang, kini lebih serius. Kerutan di wajahnya semakin tampak. “Kau menculik anakmu sendiri dan kini tak tahu kau mengirimnya ke mana?” Bentakan itu keluar disertai gerak refleks—ia menghantam kepala Alex sekali dengan buku tebal yang dipegangnya.

Kepala Alex terpelintir; ia mengerang pelan namun tak menuntut pertolongan.

“Seharusnya aku memukulmu lebih keras!” Liam memaki, nadanya terpecah antara marah dan takut. Ia merasakan perih di dadanya. “Kalau sesuatu menimpa cicitku, aku tidak akan memaafkanmu. Apa kau sengaja menyembunyikannya karena takut aku akan mengambilnya darimu?”

Amarah Liam sesaat membuat nafasnya sesak. Ia menarik napas panjang, menutup mata, dan menenangkan diri supaya tak kehilangan akal. Setelah menata emosinya, ia mulai berpikir secara pragmatis.

“Kalau memang kau yang menyembunyikannya, berarti kau sudah membuat pengamanan rapi—agar tak satu pun orang tahu keberadaan anak itu. Menemukannya bukan perkara mudah. Ini akan panjang dan melelahkan.” Ia menatap Alex, mata tua itu bertanya-tanya sekaligus berkilat penuh tekad.

Akhirnya, senyum samar muncul di sudut bibir Liam—bukan senyum lembut, melainkan senyum kemenangan yang dingin. “Baiklah,” katanya singkat. “Aku akan membantumu mencarinya. Tapi ada syarat.”

“Kau memang pria tua yang licik.” Alex tersenyum miring mengejeknya. “Aku bersedia membayarmu jika kau menginginkan itu.”

“Kau pikir aku kekurangan uang? Kau terlalu merendahkan Kakekmu ini. Aku hanya memiliki satu syarat. Jika aku menemukan Damien nanti, Damien akan menjadi milikku. Jika kau menyetujui ini, bahkan jika kau menyembunyikannya di lubang semut sekalipun, aku pasti akan membawanya padamu dan tentu saja aku pasti akan memastikan cicitku dalam keadaan baik-baik saja. Seperti yang kukatakan waktu itu.”

“Tidak ada anak-anakku yang akan pergi dariku.” Alex mengatakan ini dengan tegas. “Aku pikir aku datang ke sini untuk mendapat bantuan, tapi kau bahkan memikirkan bagaimana cara mengambil anakku dariku. Sekarang aku tidak memerlukan jawaban kenapa Ayah dan Ibuku membencimu.”

“Alex, aku tidak berniat mengambil Damien darimu. Aku sudah tua, tidak tahu sampai berapa lama aku bisa bertahan. Aku hanya memerlukan hak waris. Seorang anak yang akan meneruskan bisnisku.”

“Apa yang kau kerjakan saja tidak ada orang yang tahu. Bagaimana aku bisa merelakan dia padamu?”

“Itu pilihanmu. Jika kau menolak, aku tetap akan mencarinya, tapi kau mungkin tidak akan tahu apakah aku sudah mendapatkan Damien atau tidak.” Kakek Liam tersenyum licik di akhir kalimatnya.

Dia sudah menargetkan Damien sejak lama. Namun saat mendengar kematian anak itu, dia jatuh dalam kekecewaan yang luar biasa.

Sekarang, setelah mengetahui kebenarannya, bagaimana dia bisa meloloskan Damien begitu saja?

Dia pasti akan membawa Damien. Dengan, atau tanpa persetujuan siapa pun!

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!