"Kamu selingkuh, Mas?"
"Vina, Mas bisa jelaskan! Ini bukan seperti apa yang kamu lihat."
"Bukan, terus apa? Kamu... kamu berciuman dengan perempuan itu, Mas. Terus itu apa namanya kalau bukan selingkuh?"
***
"Vina, bukannya kamu mencintai, Mas?"
"Maaf! Aku sudah mati rasa, Mas."
***
Vina, harus terpaksa pura-pura baik-baik saja setelah suaminya ketahuan selingkuh. Tapi, ia melakukan itu demi bisa lepas selamnya dari suaminya.
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, Vina tentu langsung melepaskan pria yang menjadi ayah dari anaknya.
Kejam? Tindakan Dimas yang lebih kejam karena menghianati cinta sucinya. Padahal Vina selama menjadi istri tidak pernah menuntut apa-apa, ia selalu menjadi istri yang baik dan taat. Tapi ternyata ia malah diselingkuhin dengan mantan suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iindwi_z, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isi hati Agam.
Apa yang dikawatirkan Albian terjadi. Sore itu, Dimas datang ke tempat tinggal Sasi, bahkan pria itu langsung mendorong Sasi saat teman istri itu mengatakan kalau tidak ada istri dan anaknya di dalam.
Dengan tatapan marah, Dimas masuk apartemen itu. Mencari di setiap sudut ruangan, namun istri dan anaknya tidak ada. “Di mana kamu sembunyikan istri dan anakku Sasi?” bentak Dimas.
Sasi menggeleng kepalanya, ia baru tahu ternyata Dimas kalau marah sangat menyeramkan. “Mana aku tahu, aku saja tidak tahu kalau Vina pergi dari rumah,” jawab Sasi tenang.
Mendengar jawaban itu, Dimas langsung menatap Sasi tajam. Tidak percaya dengan apa yang perempuan itu katakan. Vina tidak punya teman selain perempuan itu. Istrinya juga tidak punya saudara atau kerabat. “Terus ke mana dia? Ke mana istri dan anakku Sasi? Kamu pasti tahu di mana mereka kan?”
Sasi hanya tersenyum sinis. Lihatlah pria itu sekarang terlihat frustrasi, salah sendiri selingkuh. Sekarang bingung ditinggal istri dan anaknya. “Yah mana aku tahu di mana mereka, kami sendiri bagaimana sebagai suami? Kenapa istri kamu bisa kabur, harusnya kamu itu introspeksi diri.”
Rahang Dimas mengeras mendengar itu, tangannya hampir saja menampar Sasi, kalau saja perempuan itu tidak kembali berbicara. “Apa...? Mau gampar aku? Ini...” tantang Sasi, sambil memberikan wajannya. “Setelah itu, kamu akan mendekam di jeruji besi karena sudah berani menyentuh aku,” lanjut Sasi, menatap Dimas tidak takut.
Dimas mendengus sebel, lala pergi meninggalkan Sasi. Namun, sebelum pergi Dimas kembali bersuara. “Katakan pada temanmu itu, kalau sampai kalaupun aku tidak akan pernah menceraikannya! Sampai kapan pun Vina akan menjadi istriku!” ucap Dimas lalu benar-benar pergi dari apartemennya sasi.
Sedang sasi hanya menggeleng kepalanya, masih ada manusia seperti itu? Padahal sudah selingkuh, masih saja mencari istrinya. Kenapa tidak menikah dengan selingkuhannya saja sih? Biar tidak banyak menumpuk dosa.
Ah, Sasi tidak tahu saja kalau Dimas sudah tidak peduli dengan dosa lagi.
Pria itu pergi dengan penuh amarah, bukannya pulang. Dimas malah mendatangi Sofi, kepala Dimas terasa pusing, ia membutuhkan tempat untuk menghilangkan sakit kepalanya.
***
“Bunda ini rumah siapa?” tanya Agam, anak itu penasaran saat ibunya membawanya ke rumah asing. Ia pikir tadi, Agam akan diajak pulang, nyatanya malah pindah rumah.
Vina menyejajarkan tubuhnya, tangannya memegang kedua pundak Agam. Menatapnya dengan penuh kasih sayang. Bibirnya membentuk senyuman tipis. “Agam, sekarang kita tinggal di sini berdua ya...” ucap Vina pelan.
“Berdua?” ulang Agam memastikan.
Vina mengangguk, tangannya lalu mengelus rambut Agam dengan lembut. “Hm, kan Bunda pernah bilang sama Agam, kita akan tinggal berdua sekarang.”
“Kenapa? Terus sekolah Agam bagaimana? Agam masih ingin sekolah Bunda.”
Vina memejamkan matanya, bingung memaluinya dari mana. Tidak mungkin Vina berbohong, karena suatu saat Agam akan tahu. “Karena, sekarang Bunda dan ayah tidak bisa tinggal bersama lagi. Jadi, Agam tinggal sama Bunda sayang. Dan untuk sekolah kamu, Agam akan tetap sekolah. Tapi, nanti sekolahnya akan pindah, enggak apa-apa kan sayang?”
Agam diam, tapi kepalnya mengangguk kecil. Ia sebenarnya belum mengerti apa yang dimaksud ibunya. Namun satu hal yang Agam tahu. Salah satu temannya juga, ada yang seperti itu. Mama dan papa tidak lagi tinggal bersama, bahkan temannya itu punya papa baru sekarang. Apakah Agam juga akan seperti itu? Agam tidak berani untuk bertanya pada ibunya. Agam memendamnya sendiri, karena ia tahu ibunya seperti sedang bersedih.
“Sekarang kita masuk ya! Kita lihat rumah barunya,” ajak Vina, tangannya menggenggam agar Agam mengikuti langkah.
Lagi-lagi Agam hanya mengangguk, mengikuti langkah ibunya dengan pelan.
***
Sofi tersenyum saat Dimas kembali ke rumahnya. Perempuan itu bahkan langsung menghambur dalam pelukan Dimas. Mendorong pria itu agar masuk ke dalam kamarnya.
Dimas tidak menolak itu, ia malah langsung mencium bibir Sofi dengan rakus. Tangannya juga meremas d@da Sofi dengan keras. Dimas tidak peduli permainan ini akan menyakitkan untuk Sofi atau tidak. Yang jelas, ia butuh untuk meluapkan emosinya, butuh pelampiasan.
Dimas tidak mendengar teriak Sofi, perempuan itu kesakitan saat Dimas langsung masuk tanpa pemanasan dulu. Tangan Dimas mencekam dada Sofi dengan keras membuat perempuan itu semakin berteriak.
“Sakit Dimas!” teriak Sofi lagi.
Teriak itu malah membuat Dimas semakin bersemangat, ia tidak memberi kesempatan Sofi untuk merasakan nikmat. Dimas benar-benar menyiksa perempuan itu tidak ampuh.
***
Tadi Albian langsung pergi setelah mengantar Vina dan Agam. Ada rapat dadakan yang harus membuatnya kembali ke perusahaan.
Albian datang dengan membawa stok bahan-bahan makanan untuk beberapa hari. Namun, ia melihat Agam murung saat di ruang tengah. TV itu menyala, tapi Agam tidak memperhatikan TV, anak laki-laki itu seperti sedang memikirkan sesuatu.
Dengan pelan, Albian mendekat, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya anak itu pikirkan. Bahkan saat Albian duduk di sebelah Agam, anak itu masih belum sadar. Sampai, saat Albian menyentuh pundaknya, Agam baru mengerjap.
“Om,” ucap Agam dengan kaget saat tiba-tiba ada yang ada di sebelahnya.
Albian tersenyum, lalu menatap acara televisi yang menyala. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Albian, lalu kembali menatap Agam.
Agam tidak menjawab, anak itu malah menunduk, tidak mau menatap wajah orang di depannya.
Albian menepuk-nepuk pundak yang bergetar itu, lalu membawanya ke dalam pelukannya. Merangkul Agam, dengan penuh kasih sayang. “Om tidak meminta Agam untuk bercerita tentang apa yang sedang Agam rasakan. Namun, harus kamu tahu, kalau sesuatu yang dibagi itu akan lebih ringan. Semua jangan dipendam sendiri, ada baiknya diceritakan atau dibagi, biar kamu bisa mendapatkan nasehat. Juga, hati akan terasa ringan setelah kamu bercerita.”
Agam masih diam dalam rangkulan pria dewasa itu. Sampai sepuluh menit berlalu, tubuh Agam tidak kembali bergetar. Anak itu menatap wajah Albian lekat-lekat. Dengan pelan, dan suara bergetar Agam membuka suaranya. “Agam sedih, Agam sedih bunda dan ayah berpisah Om. Agam takut, setelah ini bunda bawa ayah baru. Agam tidak mau om, Agam maunya tetap ayah yang jadi ayah Agam. Agam enggak mau ayah baru.”
Mendengar itu Albian baru menyadari sesuatu, ia lupa kalau ada Agam. Ia terlalu buru-buru meminta Vina menjadi istri, padahal ada perasaan anak kecil yang ternyata begitu rapuh.
“Apa Agam sayang sama bunda?” tanya Albian dengan serius.
“Sayang Om, mangkanya Agam enggak berani protes saat bunda ajak pindah. Padahal aku sebenarnya enggak mau.”
“Agam, kalau kamu sayang sama bunda, berarti kamu enggak mau bunda sedih kan?” tanya Albian lagi, membuat Agam langsung mengangguk pelan. “Nanti kalau Agam sudah besar, Agam akan mengerti kenapa bunda memilih tinggal dengan Agam saja. Memilih pergi dari rumah ayah Agam. Yang penting sekarang, Agam harus buat bunda agar tidak sedih lagi. Dengan Agam seperti ini Agam membuat bunda sedih. Bunda, tidak akan membawa ayah baru untuk Agam kalau Agam tidak mau.”
Agam diam, mencoba mencerna apa yang pria dewasa itu katakan. “Jadi, kalau bunda tinggal sama ayah, bunda sedih om?”
“Benar, bunda sedih sayang. Kamu enggak mau kan bunda sedih?”
Agam mengangguk, lalu anak itu kembali membuka suaranya. “Jadi bunda enggak akan bawa ayah baru kan, Om?”
Albian tersenyum, menyesal dengan perkataannya tadi. Sepertinya ia harus mengambil hati Agam dulu baru setelah itu Vina
Benar, tidak akan membawa ayah baru. Melainkan akan membawa papa baru.
***
busettt pindah lobang sana sini moga moga tuh burung cepat pensiun dini biar nyaho
bahaya loh kalau kena tetangga ku dah mati dia pipis darah ma nanah terus melendung gede kasihan lihatnya tapi kalau ingat kelakuan nya ga jadi kasihan
aihhh suami mu vin lempar ke Amazon
semoga ntar karmanya persis seperti nama pelakornya "LARA", yang hidupnya penuh penderitaan apalagi dia punya anak perempuan
orang udah mati sekarang