Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Serangan Ferdi
Suasana desa masih ramai. Anak-anak berlarian di halaman balai desa, sementara ibu-ibu sedang menyiapkan makanan untuk acara syukuran kecil-kecilan. Fanda ikut duduk bersama mereka, tangannya masih kaku ketika mencoba membungkus daun pisang berisi nasi.
“Lho, Mbak Fanda… bungkusannya kebalik, harus dari ujung sini dulu,” kata salah satu ibu sambil tersenyum ramah.
Fanda terkekeh malu.
“Aduh… saya orang kota, Bu. Jangankan bungkus begini, masak air saja nggak bisa.”
Ibu-ibu tertawa mendengar jawabannya. Andre yang melihat dari kejauhan hanya tersenyum lega. Baginya, pemandangan itu begitu indah... Fanda mulai menyatu dengan desa, tidak lagi terkurung oleh masalah dan tekanan di kota.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Seorang pemuda desa berlari tergesa-gesa ke arah balai desa. Nafasnya memburu.
“Pak… Pak Kepala Desa! Ada orang asing lagi mondar-mandir di ujung jalan dekat hutan,” teriaknya.
Sontak semua mata menoleh. Warga yang tadinya sibuk langsung terdiam. Kepala Desa yang duduk di kursi bambu bangkit, wajahnya menegang.
“Berapa orang?” tanyanya cepat.
“Sepertinya tiga, Pak. Mereka bawa motor, tapi berhenti di semak-semak. Kayak nyari sesuatu,” jawab pemuda itu.
Fanda merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menoleh ke Andre, wajah mereka sama-sama menegang.
Andre mengepalkan tangan.
“Pasti orang-orangnya Zul…” gumamnya pelan.
Seorang bapak desa yang usianya sudah setengah baya menepuk bahu Andre. “Jangan khawatir, Nak. Selama kalian di sini, kami semua akan jaga. Desa ini bukan tempat yang gampang dimasuki.”
Fanda merasa matanya panas mendengar kalimat itu. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menitik.
“Tapi… saya takut kalau mereka berani macam-macam. Gara-gara saya, desa ini bisa kena masalah…” ucap Fanda dengan suara bergetar.
Seorang ibu mendekat dan menggenggam tangan Fanda erat-erat.
“Nak, jangan pernah merasa begitu. Di sini kita keluarga. Kalau ada bahaya, kita hadapi bersama.”
Andre menghela napas dalam, lalu berdiri. “Baik. Kalau begitu, malam ini aku ikut ronda bersama warga. Kita harus waspada.”
Kepala Desa mengangguk mantap.
“Betul. Kita tidak boleh lengah. Kalau mereka cuma mondar-mandir, biarkan saja. Tapi kalau berani masuk, baru kita tunjukkan kalau desa ini tidak mudah diganggu.”
Malamnya, suasana desa jauh lebih sunyi dari biasanya. Obor-obor dipasang di sudut jalan, dan beberapa pemuda berkeliling membawa pentungan kayu. Andre berjalan di samping Kepala Desa, matanya terus menelisik setiap sudut.
Fanda duduk di teras rumah tempat ia menginap. Ia menatap ke langit gelap penuh bintang, sambil memeluk lututnya sendiri. Rasa takut masih menghantuinya, tapi ada kehangatan terselip... kehangatan dari orang-orang desa yang menerimanya tanpa syarat.
Di kejauhan, dari balik kegelapan, ada sepasang mata mengawasi. Salah seorang anak buah Zul berbisik pada temannya.
“Itu dia… benar Fanda ada di sini.”
Mereka tersenyum licik, lalu pergi meninggalkan desa dengan motor butut mereka.
Malam itu, di ruang kerja luas dengan lampu temaram, Ferdi menerima telepon dari anak buahnya.
“Pak, kami sudah pastikan. Andre dan istrinya memang ada di desa itu. Tapi mereka bersembunyi. Warga di sana terlalu kompak, semua menutup mulut. Tidak ada yang mau menunjukkan rumahnya.”
Ferdi terdiam sejenak, lalu menegakkan tubuh.
“Jadi, informasi sudah jelas. Mereka ada di sana… hanya terlindungi orang kampung.”
“Betul, Pak. Kami bahkan sudah tanya ke beberapa orang, tapi jawabannya sama semua. Seolah mereka sengaja melindungi Andre.”
Ferdi menghela napas berat, lalu suaranya berubah dingin.
“Kalau begitu, jangan buang waktu. Besok malam, kasih pelajaran pada warga. Bakar satu gudang padi. Biar mereka tahu, melawan keluargaku berarti melawan maut. Setelah itu, mereka pasti akan menyerahkan Andre sendiri.”
“Baik, Pak. Kami laksanakan.” Telepon ditutup.
Ferdi menatap foto Zul di dinding. Matanya menyala penuh dendam.
“Tenang, Nak. Ayahmu yang akan habisi mereka. Tak ada seorang pun bisa membuat nama kita jatuh.”
Di desa, Fanda dan Andre masih merasakan ketenangan semu. Mereka berdua duduk di tepi sawah sore itu, melihat matahari perlahan tenggelam di balik bukit.
Fanda bersandar di bahu Andre, berbisik, “Mas, aku baru sadar… ternyata orang-orang di sini berani sekali. Mereka rela lindungi kita, padahal mereka sendiri bisa bahaya.”
Andre mengangguk pelan.
“Itulah kenapa aku selalu percaya kampung ini. Mereka keluarga. Tapi justru karena itu, aku takut… Ferdi bisa saja nyakitin mereka untuk sampai ke kita.”
Fanda terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia tahu, ketenangan ini mungkin sebentar lagi akan berakhir.
Malam itu, angin bertiup dingin, bulan terselubung awan tipis. Desa tampak tenang, namun ketenangan itu menipu… ada sesosok bayangan bergerak cepat di tepian, menyelinap di antara pepohonan menuju gudang padi di pinggir sawah.
Di balik mobil hitam yang diparkir agak jauh, dua orang suruhan Ferdi turun perlahan. Mereka membawa jerigen bensin dan kain lap. Salah seorang, yang terlihat paling gagah, menepuk-nepuk senter di tangannya, wajahnya kebal akan rasa bersalah.
“Cepat, kita kerja satu menit saja,” bisik pemuda itu.
“Dikasih bahan bakar, api cepet nyala. Kita pulang sebelum ada yang tahu.”
“Semoga saja,” jawab temannya sambil menunduk menatap kegelapan.
Mereka mendekat ke gudang yang pintunya setengah terkunci. Di dalam, tumpukan padi kering menggunung,sumber hidup beberapa keluarga. Dengan gerakan cekatan, salah satu dari mereka mengoleskan kain yang sudah dicelup bensin di sudut lantai, menyalakan korek, lalu melemparkannya ke tumpukan jerami.
Api menjilat perlahan, lalu melesat cepat menyambar padi dan kayu-kayu kering.
Di sisi lain desa, Pak RT yang sedang ronda bersama beberapa pemuda mendengar suara letupan kecil (bukan letupan keras), tapi bunyi aneh seperti sesuatu terbakar. Ia berhenti, menyipitkan mata ke arah suara.
“Apa itu?” tanya salah satu pemuda.
“Ada asap,” jawab yang lain. Mereka bergegas menuju sumber suara dengan hati-hati.
Saat mendekat, pemandangan malam berubah menjadi mencekam kobaran api menjilat gudang padi, asap tebal membumbung ke atas.
“Api! Api! Tolong! Gudang terbakar!”
Seluruh Warga berhamburan keluar rumah, mata mereka memerah kaget
“Ambil ember, ambil ember!”
Setelah api dipadamkan, warga berkumpul di depan sisa-sisa gudang. Wajah mereka muram, mata penuh kemarahan. Bau hangus masih menggantung berat.
“Kalian lihat? Ini ulah siapa!” geram seorang bapak dengan suara keras.
“Siapa yang berani lakukan ini ke kampung kita?!”
Kepala Desa menahan emosi.
“Tenang. Kita catat semua yang terjadi. Kita laporkan ke polisi besok pagi. Tapi sekarang, kita bantu mereka yang terdampak. Siapa yang kehilangan padi? Angkat tangan.”
Beberapa keluarga angkat tangan dengan ragu, wajah mereka tampak sedih.
Keesokan paginya, warga berkumpul. Fanda merasa bersalah, tapi Ibu Rita menenangkannya
“Bukan salahmu, Nak. Mereka yang jahat itu yang harus disalahkan. Kita keluarga, kita akan bangkit lagi.”
Andre menggenggam tangan Fanda kuat, suaranya penuh tekad
“Mereka berani menyerang sumber hidup kita. Kalau mereka pikir kita akan diam, mereka salah besar.”
Sementara itu, di kota, Ferdi tersenyum dingin mendengar laporan bawahannya.
Tapi yang tak ia sadari, tindakan kejamnya justru membuat warga desa makin bersatu.