Seberapa tega orang tua kamu?
Mereka tega bersikap tak adil padaku namun segala macam kepunyaan orang tuaku diberikan kepada adikku. Memang hidup terlalu berat dan kejam bagi anak yang diabaikan oleh orang tuanya, tapi Nou, tak menyerah begitu saja. Ia lebih baik pergi dari rumah untuk menjaga kewarasannya menghadapi adik yang problematik.
Bagaimana kisah perjuangan hidup Nou, ikuti kisahnya dalam cerita ini.
Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI HADAPAN JENAZAH
Wicak rencananya mau telepon, tapi tak bisa karena sang mama menelepon. Sejak tadi mama memang menelepon tapi tidak diangkat Wicak, karena riweh di perjalanan, serta langsung menemani Nou.
"Sepertinya kritis, Ma!" jawab Wicak dengan suara malas, ingin tidur.
"Kamu di mana?"
"Hotel, Ma. Wicak mau tidur. Ngantuk banget."
Mama mengomel karena seharusnya kantuk Wicak ditahan, kasihan Nou kalau
butuh apa-apa, begitu pikir mama. Tapi pemikiran Wicak bukan seperti itu, biarkan Nou dan adiknya berdiskusi.
"Mas, pas kamu menemani Nou, ketemu sama keluarga Nou gak?"
"Ketemu, Ma. Bahkan Pak RT juga."
"Terus kamu dianggap pacar gak sama mereka?"
"Wicak mengaku sebagai atasannya Nou, Ma. Sesuai kenyataan saja."
"Tapi feeling mama sih mereka menganggap kamu sebagai pacar Nou. Tipe-tipe Nou itu gadis yang gak pernah gandeng cowok di keluarganya." Wicak pun mengiyakan, prediksi mama begitu tepat.
"Mas, kalau seandainya ibu Nou meninggal gimana?"
"Ya dikubur, Ma!" jawab Wicaksono dengan setengah sadar, karena ia mulai mengantuk.
"Anak TK juga tahu kalau meninggal dikubur, Mas. Maksud mama, biasanya orang kampung itu kalau orang tuanya meninggal, terus sang anak punya pacar diminta untuk menikahi di depan jenazah langsung. Gimana nanti kalau kamu disuruh menikahi Nou?"
"Langsung saya terima nikah dan kawinnya lah," ujar Wicak yang sudah siap bila prediksi mama menjadi kenyataan.
"Bagus. Pulang ke kota harus bawa mantu, kantor bakal mama handle!" sebuah kesepakatan sakral antara anak dan mama. Keduanya punya tujuan dan harapan yang sama, menjadikan Nou sebagai istri Wicaksono.
Selepas panggilan mama, Wicak mandi saja, toh dirinya juga tak bisa memejakan mata. Lebih baik bertemu Nou saja.
Ia berganti baju di dalam mobil, sebentar dia terpaku dengan kemeja lengan pendek yang ia ambil, berwarna hitam. Serasa ada hantaman dalam ulu hatinya tentang kabar yang akan ia terima.
Wicak terpaku saat Nou menunduk pilu dengan pundak naik turun, terlihat adik Nou menangis sembari meletakkan kepalanya di dinding.
"No'?" panggil Wicak sembari memegang pundak gadis itu. Nou mendongakkan kepala, air matanya tak juga berhenti. Gadis itu tak bisa menjelaskan hanya menggeleng saja.
"Innalillahi," spontan Wicak mengartikan gelengan kepala Nou. Wicak pun duduk di samping Nou, merangkul pundaknya sekedar memberi kekuatan.
Wicak memastikan Nou keadaannya baik saat masuk ke dalam mobil jenazah bersama Iin. Tak lupa ia mengingatkan Nou untuk tidak banyak menangis, agar ibu tenang.
Memasuki kampung Nou, kursi dan tenda sudah ditata oleh tetangga. Bendera putih juga sudah terpasang.
Wicak mengekor mobil jenazah tersebut. Tak lupa tadi ia sempat meminta share loc dari Nou. Ketika Wicak keluar dari mobil, banyak yang menatapnya, dia hanya mengangguk hormat dan segera bersalaman dengan Mas Dul.
"Masih dimandikan, Mas," ujar Mas Dul, kemudian mengenalkan Wicak pada beberapa tetangga.
"Gantengnya pacar, Mbak Nou. Pantas saja dijodohkan sama siapa saja gak mau, pacarnya seganteng ini," ujar seorang bapak-bapak sepuh, Wicak hanya tersenyum saja.
"Mas, maaf nih ya, Mas. Mas Wicak sudah punya rencana menikah sama Mbak Nou, belum?"
Wicak sedikit bingung, haruskah ia mengaku kalau beberapa hari yang lalu ia mengajak Nou menikah. "Kenapa ya Mas Dul?" tanya Wicak. Kemudian Mas Dul menceritakan adat di sini, seperti halnya yang diceritakan sang mama.
"Berani menikah dengan Mbak Nou, Mas?" tanya Mas Dul, kalau Wicak memang berani maka akan disampaikan kepada pakdhe Nou dari pihak ayahnya.
Pesan sang mama pun terngiang, dan Wicak pun segera mengambil keputusan. "Saya siap, Mas Dul!"
Mas Dul buru-buru menghampiri Pak Dhe Las, kakak ayah Nou. Membisikkan sesuatu hasil diskusi dengan Wicaksono. Tentu Pak Dhe kaget, dan sesuai adat lebih baik, dilaksanakan akad langsung saja di dekat jenazah. Nou yang baru selesai ganti baju setelah memandikan sang ibu ditarik dan dikasih tahu Budhe Jannah.
"Budhe, dia bukan pacar Nou," jelas Nou yang tentu saja kaget setengah mati diminta menikah dengan Wicak dalam keadaan duka.
"Tapi pacar kamu bilang siap menikah, No'. Menurut budhe sudah lah gak usah lama-lama No'. Sebelum ibumu diberangkatkan setidaknya kehadiran beliau ada di saat kamu menikah," ucap Budhe Jannah, menurut kepercayaan warga setempat, kalau harus menunggu haul, jarang sekali yang awet. Di tengah-tengah bisa putus, dan lebih baik dinikahkan saat ada jenazahnya.
Nou jelas tak mau ambil keputusan gegabah, ini menikah loh. Meski dari segi finansial Wicak sudah mapan, bagaimana kalau hanya iseng saja. Nikah kok coba-coba. Nou pun mencari Wicak, ternyata pemuda itu sedang berbincang dengan Mas Dul.
"Bapak apa-apaan sih," protes Nou saat keduanya menepi, jauh dari para pelayat. Wicak sudah memprediksi Nou bakal protes.
"Dengarkan saya No'. Saya sudah meminta kamu untuk nikah, katanya sampai akhir tahun kamu akan beri jawaban. Sekarang ada moment yang didukung oleh keluarga kamu, dan aku juga siap, tanpa paksaan."
"Tapi, Pak. Kita gak cinta."
"Kata siapa? Saya sudah suka sama kamu, lebih baik kamu mendapat lelaki yang menyukaimu daripada kamu yang menyukai lelaki lain. Belum tentu lelaki itu sebaik aku," Nou menatap Wicak instan.
"Bapak yakin?"
"Yakin, No'."
"Gak punya niatan main-main?"
"Enggak!"
"Sudah move on dari Audrey?"
"Move on banget. Udah iyain aja, niat aku ingin nikah, anggap menyempurnakan ibadah kita."
"Keluarga Mas?"
"Aman." Nou memejamkan mata, haruskah ia menerima pinangan bosnya ini?
"Gak usah banyak pikiran, biar ibu kamu juga semakin tenang, karena putri sulungnya sudah ada yang meminang!"
Nou pun mengangguk, dan keluarga langsung berucap Alhamdulillah secara kompak. Mas Dul pun segera memanggil Pak Ustadz kampung, acara setelah sholat jenazah adalah pernikahan Nou dengan wali nikah Pak Dhe Las.
"Katanya bukan pacar, tapi mau dinikahi," ujar Iin sembari menggendong Kafa.
"Kata Mas Dul, atasan Mbak Nou yang menyukai lebih dulu," sahut sepupu Nou. Mereka sedang melihat prosesi akad Nou.
"Aku yang pacaran saja, banyak masalah. Apalagi Mbak Nou," ucap Iin. Bu Lik Ruka, langsung menasehati Iin.
"Doakan saja, In. Mbakmu sudah banyak berkorban di keluarga ini, insyaAllah keikhlasannya akan mengantarkan hidup Nou yang bahagia bersama suaminya. Meski pernikahannya bertepatan dengan meninggalnya ibu kamu," ucap Bu Lik Ruka sembari menepuk pundak Iin.
Teriakan sah terdengar di seluruh ruangan, sepupu Nou dan Mas Dul bertugas untuk mendokumentasikan akad ini. Baik video maupun foto, yang akan mereka gunakan untuk mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA. Tak lupa Pak Ustadz meminta secarik kertas dan menuliskan acara akad ini, wali nikah, saksi, nama pengantin, serta waktu dan tempat pelaksanaan. Pak Ustadz lalu tanda tangan beserta saksi dan pengantinnya. Setelah itu jenazah diberangkatkan, dan Wicak ikut terlibat hingga mengadzankan di pemakaman.
lanjuut sesi 2 nya yaa thoor 🥰