Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Cafe Malam Ini
Setelah melihat Annisa menyelesaikan makan, Sagala bertanya, "Kamu udah punya jawaban apa belum, Nisa?" Ia menatap gadis itu. Sorot matanya tenang, penuh perhatian.
Annisa menyesap minumannya sebentar. "Jawaban apa, Bang?" tanya Nisa, alisnya terangkat sedikit, seolah lupa kalau pertanyaan itu pernah dilontarkan.
"Kuliah. Kamu pengen kuliah nggak?" Kata Sagala.
Annisa menghela nafas dalam, mata menunduk menatap meja di depannya sebelum kembali menatap Sagala. "Kalau aku kuliah, aku ngerepotin abang nggak?" Tanyanya pelan, ragu-ragu.
"Enggak. Nggak sama sekali. Abang justru mendukung kalau kamu pengen kuliah," jawab Sagala sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Annisa dengan sungguh-sungguh. Ia lalu segera bertanya, "kamu pengen jurusan apa, hm?"
Annisa menunduk sebentar, kedua tangannya menggenggam gelas minumannya. "Dokter," jawabnya pelan namun penuh keyakinan.
Sagala terdiam, sedikit ingin tertawa karena tidak menyangka jika Annisa ingin mengambil jurusan kedokteran. Maksudnya, ia tak habis pikir, seorang Annisa yang manja dan penakut parah, ingin mengambil jurusan itu.
"Yakin?" Tanya Sagala, berusaha memastikan, meski matanya tersirat geli.
Annisa mengangkat wajah, menatap Sagala dengan senyum. "Kayaknya abang yang nggak yakin."
Sagala terkekeh, akhirnya membiarkan tawanya keluar lalu mengangguk pelan, "Abang cuma nggak habis pikir, Nisa yang penakut mau ambil jurusan kedokteran. Kamu nggak bakal pingsan 'kan kalau liat darah? Atau tiba-tiba nangis pas disuruh praktek pasang infus."
Annisa tersenyum lembut, matanya tetap terkunci pada Sagala. "Aku nggak semanja yang abang kira, kok," jawabnya serius, nada suaranya terdengar matang dan mantap.
Tawa Sagala mereda. Ia terdiam, menatap Annisa lebih lama, seperti melihat sisi berbeda yang belum pernah ia kenal dari gadis itu.
"Aku manja cuma sama abang," lanjut Annisa pelan, suaranya nyaris seperti bisikan penuh tulus."Mungkin karena udah terbiasa kali ya dari kecil dimanja sama abang jadi kalau sama abang... Bawaannya pengen manja mulu."
Sagala mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia berdeham, seolah butuh waktu untuk mencerna kalimat itu. Suasana di antara mereka terasa lebih sunyi.
"Besok abang cariin universitas kedokteran yang nggak jauh dari rumah," ucap Sagala akhirnya, kembali menatap Annisa dengan raut mantap.
Annisa tersenyum lebar, matanya kembali berbinar seperti anak kecil mendapatkan hadiah. "Tapi aku berangkatnya tetep dianterin abang kan?" Baru beberapa detik terlihat dewasa, sekarang udah kayak bocil lagi. Suaranya manja, benar-benar berubah dalam hitungan detik.
Sagala terkekeh. Ia membawa pandangan pada Annisa. "Iya, abang anter pas pertama masuk doang."
"Kok cuma pas pertama masuk?" Protes Annisa, bibirnya cemberut seketika.
"Masa gadis kuliahan kalah sama anak SD." sahut Sagala ringan.
Annisa tersenyum lebar, "Dulu abang juga nganter aku sekolah SD kan. Abang inget nggak?"
Sagala mengangkat bahu cuek, "Lupa." Jawabnya singkat. Padahal ia ingat betul saat Annisa pertama masuk SD, pakai pita berwarna biru pemberiannya.
"Ih abang jahat," keluh Annisa kesal karena Sagala lupa.
"Namanya juga orang lupa," kilah Sagala.
"Harusnya abang nggak boleh lupa," bantah Annisa.
"Kalau lupa masa harus dipaksa inget."
"Pokoknya nggak boleh lupa. Abang harus inget-inget. Harus."
"Kalau nggak inget?"
"Aku ngambek."
"Ya udah sana ngambek."
"Ih abang." gerutu Annisa sambil menyilangkan tangan di dada, wajahnya semakin cemberut. Lucu dan manja.
Itu membuat Sagala tertawa kecil, geleng-geleng kepala. Ia menyesap minumannya lalu ia mengingat sesuatu.
"Oh ada yang ingin abang berikan padamu," kata Sagala kemudian. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan kartu ATM. Pelan, ia meletakkannya tepat di depan Annisa di atas meja.
Annisa menunduk, membawa pandangannya pada kartu ATM itu.
"Buat kamu," ucap Sagala. "Pinnya, tanggal ulang tahunmu."
Annisa terdiam. Lama sekali. Pandangannya masih terpaku pada kartu itu. Ada haru yang begitu mendesak dari dalam dadanya, bercampur rasa sungkan yang menjerat. Perasaan yang entah seperti apa bermunculan di hatinya. Begitu saja.
Pelan, ia mengangkat wajah menatap Sagala. "Abang...."
"Hm?"
Annisa merasa terharu. Kenapa Abang begitu baik padanya, padahal abang nikahin dia karena terpaksa. Kalau Nisa makin sayang gimana.
Saat itu juga, tanpa bisa menahan lebih lama, air mata Annisa jatuh. Bukan tangis sunyi, tapi tangis pecah seperti anak kecil yang terlalu lama menahan. Bahunya terangkat turun terisak-isak.
"Hei, hei. Kenapa malah nangis." Sagala panik. Refleks, ia menoleh ke sekeliling. Beberapa pengunjung café sudah menatap mereka dengan tatapan bingung dan aneh.
Tanpa pikir panjang, Sagala bangkit dan pindah duduk di samping Annisa. Tangan kanannya meraih kotak tisu, cepat mengambil beberapa lembar dan menyeka air mata di pipi Annisa.
"Udah cup, kenapa nangis tiba-tiba, kaki kamu nggak keinjek abang, 'kan?" Candanya lembut, berusaha menurunkan tegang.
Annisa menggeleng pelan, lalu menoleh menatap Sagala. Sebuah tatapan yang begitu dalam. Hingga membuat Sagala terdiam dan hanya mampu membalas tatapan itu tanpa kata.
Hening.
🌱🌱🌱
Malam ini di kamar Sagala, setelah makan malam tadi.
Pria itu duduk dengan laptop yang menyala di depannya. Dia tengah mencari universitas kedokteran yang paling dekat dengan rumah.
Namun kemudian ia berpikir, kenapa harus yang dekat rumah? Sedikit jauh tidak masalah. Atau jika Annisa ingin kuliah di luar kota, tidak apa-apa.
Mungkin gadis itu sudah punya universitas impian. Sagala mematikan laptopnya.
Ia keluar kamar untuk mengambil minuman. Namun ternyata ada Annisa di dapur. Gadis itu terlihat tengah mencari sesuatu di lemari penyimpanan.
"Nyari apa?" Tanya Sagala. Pertanyaan yang membuat Annisa tersentak kaget. Gadis itu menoleh.
"Abang bikin aku kaget, astaghfirullah."
Sagala melangkah mendekat. "Kamu yang terlalu serius," jawabnya. "Cari apa?" Tanyanya kemudian.
"Abang punya jahe nggak? Kemarin pas belanja kita beli nggak sih?" Tanyanya Annisa Tangannya ada di atas perut bagian bawah.
Sagala menggeleng. "Enggak. Kita nggak beli."
"Kunyit ada?" Tanya Annisa lagi. Wajahnya sedikit meringis menahan sakit.
"Kamu sakit?" Tanya Sagala segera.
Annisa menggeleng. "Enggak."
Sagala diam tapi matanya tertuju pada tangan Annisa yang sadari tadi menekan perut.
"Biasanya kamu minum obat apa? Jahe dan kunyit aja apakah cukup?" Tanyanya.
Annisa menatapnya. Tapi lalu mundur dan duduk di kursi. "Enggak apa-apa. Cuma nyeri ringan. Besok juga sembuh."
"Besok? Jadi semaleman kamu mau nahan sakit? Buruan bilang, biasanya kamu minum obat apa?"
"Enggak usah, Abang."
"Bilang!!!"
"Ini tuh sakit karena menstruasi pertama, emang abang mau beliin obatnya?"
"Ya."
Mata Annisa melebar nggak percaya. Ia semakin menatap Sagala. "Beneran?"
"Ya. Buruan katakan obat apa yang biasanya kamu minum."
"Enggak usah, nanti abang malu."
"Ck. Kalau nggak ngeyelan, bukan kamu namanya."
Sagala melangkah meninggalkan dapur setelah mengatakan itu. Ia mengambil kunci motor dan segera pergi ke apotek.
🌱🌱🌱
masak gak ngerti sich
yg dimauin Nisa itu cuma dirimu