Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Pacar Posesif
Minggu pagi, Bara menggeliatkan tubuh saat mendengar teleponnya bergetar di atas meja nakas. Sudah beberapa malam tak tidur di kamarnya membuat Bara seperti berpuas-puas menggumuli kasurnya. Tapi tak bisa menggumuli Dijah.
"Ya Mas?" sahut Bara saat melihat nama Heru di layar ponselnya.
"Kamu di mana? Ikut aku yuk, ketemu penanam modal. Siang aja berangkatnya, entar aku jemput. Aku udah di kantor bareng Bayu," ujar Mas Heru di seberang telepon.
"Ya ampun, ini hari Minggu. Kalian ngapain sih di kantor? Kayak nggak punya kehidupan aja. Kasian istri dan anakmu," tukas Bara.
"Kita punya kehidupan. Tapi kamu yang paling sibuk. Padahal belum nikah, gak ada anak-istri yang nanyain. Tapi sibuk terus, udah ah. Buruan mandi, sejam lagi kita ke sana." Mas Heru mengakhiri pembicaraannya.
Hari Minggu itu Dijah harusnya masuk kerja sore. Bara berencana menjemputnya sepulang kerja saja sebagai kejutan kecil. Tapi percakapan wanita itu bersama Tini kemarin sangat mencurigakan. Ia merasa perlu mencari tahu soal itu.
"Ketemu penanam modal, artinya pakaian harus rapi atau santai?" gumam Bara seorang diri di depan lemarinya. Sebuah handuk putih melingkari pinggul Bara. Terlihat rambut halus tersusun rapi dari mulai pusar dan menghilang ke balik handuknya.
Akhirnya setelah mengenakan sebuah kemeja body fit berwarna hitam yang lengannya tergulung setengah dan sebuah jeans biru muda, Bara keluar dari kamar.
Rambutnya tersisir rapi ke belakang dan kemungkinan besar kerapian itu akan bertahan mengingat dia takkan mengenakan helm hari ini.
"Mau ke mana?" tanya Bu Yanti pada anaknya siang itu.
"Pergi ama mas Heru," jawab Bara. Tangannya sibuk mencuili ayam goreng di atas meja.
"Makan dulu," ajak Bu Yanti.
"Gak usah, mas Heru ngajak makan sekalian." Bara merogoh ponsel dalam kantong celananya.
"Halo? Oke aku keluar," jawab Bara. Heru telah tiba di depan rumah.
"Bu, aku pergi..." ucap Bara berjalan menuju ke luar ruang makan.
"Jangan nggak pulang ya! Besok udah berangkat," seru Bu Yanti berpesan pada anaknya.
"Iya--iya," sahut Bara sebelum benar-benar lenyap dari pandangan ibunya.
Sebuah mobil SUV hitam bertuliskan HUMMER parkir di depan pagar rumah. Itu mobil Heru, artinya pria itu mengemudikan mobilnya tanpa supir.
"Dijemput pake mobil ini aku berasa diajak ikut perang," ujar Bara saat masuk dan duduk di sebelah Heru yang berada di belakang kemudi.
"Gimana kuliahmu? Kapan selesainya? Kalo nggak selesai kamu gak bisa naik jabatan ya Ra, meski sodara, aku nggak bisa naikin jabatan ama gaji kamu seenaknya." Heru terkekeh melihat ke arah Bara yang cemberut.
"Untung eyang cucu laki-lakinya gak banyak. Kita tinggal bagi dua aja yang akur," sahut Bara menoleh ke kursi belakang. "Ngomong lo Bay! Jangan diem-diem aja," tukas Bara pada Bayu yang duduk kalem di jok belakang.
"Iya Mas..." sahut Bayu.
"Kuliah dikit lagi kelar. Akhir tahun aku udah pasti bakal jadi Bara Wirya M.I.Kom. Trus Mas bisa ganti pertanyaan lain kalo ketemu aku. Aku juga udah bosen ditanya itu terus."
"Ya udah, aku ganti pertanyaannya. Kapan nikah?" Heru kembali tertawa.
"Segera setelah selesai S2. Kalo itu gampang jawabnya," sahut Bara.
"Calonnya?" tanya Heru.
"Calonnya ini yang gak tau, mau atau nggak."
"Masa sih Kangmas Bara nggak pede? Biasa Kangmas Bara selalu bikin cewe-cewe penasaran karena cueknya." Heru meledek adik sepupunya dengan rasa puas.
"Udah Ah, ngeledek terus. Eh ini bakal lama nggak Mas? Aku mau pergi ke suatu tempat," ujar Bara.
"Baru juga mau pergi udah nanya kapan baliknya. Susah banget sekarang ngajak kamu. Emang mau ke mana sih? Kita ikut aja. Penasaran mau ke mana. Aku hari ini gak ada jadwal selain makan siang ama investor itu," ujar Heru.
"Hah? Ikut? Nggak ah, ngaco! Gak usah, aku sendiri aja."
"Tuh kan, aku jadi makin penasaran kalo dilarang. Ke mana sih? Lagian kamu gak bawa kendaraan, aku gak apa-apa kok kalo mesti nganter dan nungguin kamu."
"Gak usahlah, aku cuma ke rumah temen. Sebelum berangkat besok mau ketemu dia sebentar aja."
"Pacar kamu?" tanya Heru nyinyir.
"Mbak Dijah ya Mas? SPG kemarin?" tanya Bayu dari jok belakang.
Bara memutar duduknya untuk memandang sinis pada Bayu. Saat ngomong soal pendidikan tidak ada sahutan dari juniornya itu, tapi giliran soal perempuan, mulutnya cepat sekali menimpali. Menyebut kata SPG pula.
"Pacar kamu? SPG apa Ra? Bukannya pacaran ama Joana yang dosen itu?" tanya Heru.
"Gak pacaran kok ama Joana, siapa yang bilang. Iya, SPG pacarku. Katanya sih udah pacaran. Tapi cuek banget. Biasa cewe kalo dikasi tau bakal ditinggal seminggu suka uring-uringan. Ini kayaknya biasa aja. Dikasi tau aku gak bakal dateng hari ini, dia iya-iya aja. Jadi aku yang jungkir balik penasaran."
"Penasaran aku. Entar boleh ikut ya, kamu mau mampir aja atau lama di sana? Kalo kos-kosan pasti banyak cewenya." Heru tertawa lagi. Pria itu sudah membayangkan apa yang dilakukan adik sepupunya itu di sana.
"Gak usah ikut deh, aku cuma mampir aja. Gak lama, cuma pengen tau dia lagi ngapain. Soalnya dari tadi aku telfon-telfon gak dijawab. Agak kesel aku. Kayaknya aku gak penting banget," tukas Bara. Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di sebuah cafe mahal di kawasan utama kota.
Makan siang dan ngobrol dengan dua orang investor itu berlangsung cukup lama. Bara terhanyut akan topik-topik pembicaraan yang kebanyakan seputar dunia jurnalistik. Kedua investor itu ternyata dulunya adalah wartawan sekaligus aktivis kemanusiaan.
"Kamu denger tadi apa yang kita obrolkan Ra?" tanya Mas Heru saat mereka meninggalkan cafe itu dan telah kembali berada di dalam mobil.
"Yang mana? Banyak yang diobrolin," sahut Bara.
"Kelihatan pintar dalam sebuah tulisan itu gampang. Yang susah itu adalah membuat orang pintar karena membaca tulisan kita."
"Oh itu, iya bener banget. Banyak aku baca yang begitu," tambah Bara.
"Sebagai seorang jurnalis, kita jangan menganggap diri kita lebih pintar dari orang lain tanpa sadar bahwa pembaca kita bisa jadi banyak yang lebih pintar dari kita. Memberi informasi, tanpa menggurui. Itu intinya." Mas Heru melajukan mobilnya ke arah yang telah diberitahu Bara tadi padanya.
"Siap dimengerti Mas..." sahut Bara.
"Aku boleh ikut turun nggak Mas? Sapa tau bisa ketemu temennya Mbak Dijah kemaren," ujar Bayu tiba-tiba.
"Jangan ah... Jangan ada yang turun. Kalian di mobil aja. Aku cuma sebentar," jawab Bara.
"Gak bisa masuk mobil ya Ra?" tanya Mas Heru saat menepikan mobilnya di luar mulut gang.
"Gak bisa, udah di sini aja. Aku aja yang turun." Bara langsung membuka pintu mobil dan melompat turun.
"Aku mau ikut," tukas Heru mematikan mesin mobilnya.
"Serius dong ah! Jangan!" Bara membanting pintu dan berlari masuk ke dalam gang. Ia benar-benar sudah tak sabar ingin menemui Dijah. Ke mana wanita itu sampai-sampai puluhan panggilan teleponnya diabaikan.
Sesaat setelah tiba di gerbang kos-kosan pandangan Bara tertuju pada kerumunan orang yang seperti sedang menontoni judi sabung ayam.
"Dijah! Dijah! Dijah!" sorakan yang meneriakkan nama Dijah membuat Bara seperti disetrum. Ia segera berlari menyeruak ke dalam kerumunan.
Sebuah pemandangan yang mungkin tidak akan dilupakan oleh Bara seumur hidupnya. Melihat seorang wanita manis yang semula dikiranya pendiam kini sedang berada di atas tubuh seorang wanita dan sedang mengarahkan tinjunya.
Meski ketus Dijah tampaknya kalem. Ia tak tampak sebagai seorang wanita garang yang siap membantai.
"DIJAH!!!" teriak Bara. Ia berlari mendekati Dijah dan melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu. Seperti sedang mengangkat seorang bayi yang sedang belajar merangkak. Untungnya berat badan wanita itu tak lebih dari 50 kilogram. Itu sebabnya kemarin malam Bara dengan mudah menggendong Dijah.
Keadaan Dijah sangat kacau. Bara merasa ia datang di saat yang tepat. Ia tak bisa membayangkan jika tadi Dijah berhasil melukai lawannya dan menyebabkan sebuah laporan ke kantor polisi.
"Astaga.... Apa ini?? Ada yang berantem malah diliatin aja! Bubar semua! Bubar!" teriak Bara dengan wajah kesal. Ia tak habis pikir bagaimana bisa semua orang hanya saling bersorak melihat dua orang manusia sedang berseteru dan saling melukai.
"Aku baru bilang nggak bisa dateng hari ini, tapi kamu udah kayak gini. Aku belom berangkat, masih di sini. Kamu udah babak belur begini lagi." Bara menatap kesal pada Dijah yang telah berbalik menatapnya.
"Katanya nggak dateng..." ucap Dijah pelan. Bara menatap wajah manis yang sedang berantakan di depannya.
Bara mengusap wajah Dijah yang berlumur debu seperti tepung. Rambutnya kusut dan mencuat di sana-sini. Berkali-kali Bara berdecak seraya membenarkan letak pakaian kekasihnya.
"Kalo aku nggak dateng, kamu bisa duel gitu?" tanya Bara. Ia kembali menatap sorot mata yang kini telah melembut. Dijah menekuk wajahnya seperti seorang bocah yang tertangkap basah berkelahi di sekolah.
Menyadari sesuatu hal, Bara kemudian menoleh ke belakangnya. Tampak Heru dan Bayu sedang berdiri dan meringis memandang dia dan Dijah bergantian.
Dua manusia itu bandel sekali pikir Bara. Dijah pasti mengomelinya karena membawa dua orang asing ke sana.
"Itu siapa Mas Bara?" tanya Tini yang kondisinya tampak lebih amburadul.
"Hah? Itu mas Heru sepupuku dan Bayu temen kantorku. Jangan ngomong yang aneh-aneh ya Tin..." ujar Bara sedikit khawatir. Ia memang khawatir akan ucapan-ucapan absurd yang sering dilontarkan Tini.
"Itu mas Heru kakak sepupuku... Maksudnya mau aku kenalin. Tapi kayaknya aku salah waktu," bisik Bara beralasan.
"Mas Heru yang pakai kemeja birukah Mas?" tanya Tini lagi.
"Iya..." jawab Bara tanpa menoleh.
"Itu baru sosok Gatot Kaca di kehidupan nyata... Gagah tenan," gumam Tini.
"Ini pasti akibat misi yang diajak Tini 'kan?" tanya Bara pada Dijah. Merasa namanya disebut, Tini meringis pada Bara.
"Kamu luka lecet-lecet banyak banget. Ke dokter aja yuk," ajak Bara.
"Halah luka gini bisa sembuh sendiri. Masih jauh dari nyawa!" ucap Dijah mengusap sikunya yang sedikit berdarah.
"Jangan kayak gini Dijah, ini pasti sakit." Bara merapikan rambut Dijah dengan tergesa-gesa. Memang sudah telanjur Heru tiba di sana, tapi setidaknya ia bisa memperbaiki tampilan Dijah menjadi lebih manusiawi.
"Ya sudah--ya sudah, silakan bubar ya. Yang mau dilihat sudah selesai. Kembali ke kamarnya masing-masing. Terima kasih..." ujar Heru melambai dan mengangguk pada sebagian orang yang masih berkumpul menatap Dijah yang terciduk pacarnya sedang bergelut. Mungkin para penonton itu berharap dapat suguhan lainnya dari Dijah yang bertengkar dengan pacarnya.
Bara menoleh pada Heru yang mendekat ke arah mereka.
"Aku udah mirip bapak kos-kosan belum?" tanya Mas Heru terkekeh.
"Merdu banget suaranya. Saking merdunya padahal cuma ngomong aja. Tapi aku dengernya mirip alunan lagu," ujar Tini.
"Hus!" sergah Bara merapatkan giginya menatap Tini.
"Mas Heru ini kelihatan matang ya Mas Bara..." ucap Tini.
"Dijah belain kamu karena pacar kamu sekarang udah ngelirik Mas Heru. Jangan bikin pengorbanan Dijah sia-sia ya Tin... Lagian mas Heru udah ada anak istrinya," bisik Bara seraya melirik Heru yang menarik kursi plastik dan duduk di dekat jendela kamar Tini dengan santainya.
"Aku cuma menyuarakan isi hatiku aja Mas... Cinta itu kan bukan seperti nyetrika yang butuh sebuah alasan."
"Kalo nyetrika emang harus pake alas!" ketus Bara kesal karena meladeni ucapan Tini. "Mending kamu ngaca dulu sana, liat tampilan kamu gimana sebelum tebar pesona." Bara akhirnya tertawa karena melihat tampilan Tini.
"Mas, kenalin ini pacar aku. Namanya Dijah," ucap Bara menggandeng Dijah ke dekat Heru.
"Masih muda pacarnya Bara," ucap Heru mengulurkan tangannya. "Masih kuliah ya makanya kerja jadi SPG juga?" tanya Heru berbasa-basi.
Dijah menyambut uluran tangan mas Heru seraya menoleh pada Bara yang mengangguk kecil padanya.
"Gak kuliah Mas, cuma SPG aja." Bara kembali menarik Dijah mendekat padanya.
"Ya udah, kalo mau balik duluan gak apa-apa. Aku maleman aja balik," ujar Bara.
"Jah!" pekik Tini. "Kita terlambat kerja hari ini," ujar Tini mendelik menatap ponselnya. "Kita harus buru-buru Jah!"
"Gak usah kerja..." gumam Bara. "Gak boleh masuk kerja hari ini," tambah Bara lagi.
"Posesif amat Kangmas Bara," sindir Heru.
"Ya udah balik sana," usir Bara lagi pada sepupunya.
"Mbak Tini..." sapa Bayu yang sejak tadi kehadirannya diabaikan.
"Siapa ya?" tanya Tini dengan sombongnya.
"Saya Bayu, juniornya Mas Bara di kantor." Bayu mengulurkan tangannya pada Tini.
"Hmmm.." sahut Tini membenarkan letak rambutnya yang sudah rapi. Bayu sedang tersenyum ramah padanya saat ini. Hal itu membuat pandangan Tini dengan cepat berpindah dari Heru kepada Bayu.
"Yo wes Jah, dino iki awakke dewe ra sah mlebu. Ngko gampang si heri tak remed'e sepisan meneh ben ora nesu (Ya udah Jah, kita nggak usah masuk hari ini. Nanti gampang si Heri aku remas sekali lagi biar gak marah)" ujar Tini pada Dijah. Bara kembali memandang wanita itu curiga.
"Sing penting kowe sing ngremed yo, aku ra popo (Asal kamu yang remas, aku gak apa-apa)" jawab Dijah.
"Kowe ngremed nggone mas-mu sek penasaran kuwi wae jah,ben ndekne anteng (Kamu remas mas-mu yang penasaran ini aja Jah! Biar dia tenang!)" Tini terkekeh-kekeh memandang Dijah.
"Matamu!" sergah Dijah pada Tini yang semakin terbahak.
"Ngomongin apa sih?" tanya Bara dengan wajah sebal.
Heru yang mendengarkan percakapan itu tertawa terbahak-bahak sambil menonjok lengan Bara yang berdiri tak jauh darinya.
"Ngomongin apa mereka Mas?" tanya Bara pada Heru.
"Eh Mas Heru ngerti?" tanya Tini pada Heru.
"Jago meremas ya Mbak-nya..." sindir Heru pada Tini kembali tertawa.
"Modar Jah..." bisik Tini pada Dijah.
To Be Continued.....