📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air-Ryum Ikut Serta
Marckno berdiri di aula militarium, suaranya bergema melalui mikrofon. "Air-rium bersama kelompok peretas asal Amerika, Jepang, Kanada, dan Cina, sedang berusaha merebut kembali semua data curian dari pihak musuh. Militarium dan kepolisian Indonesia bersama kelompok peretas Indonesia, penyedia jaringan internet, developer web dan aplikasi juga sedang berusaha menghapus, memblokir penyedia konten, melacak penyedia konten, mengembangkan software untuk menghapus data curian yang disebar, juga sedang memblokade seluruh internet agar musuh semakin kesulitan menyebar konten."
Rom duduk di kursi sudut aula bersama Elesa, Rahman, dan pilot helikopter lain. "Hah, ga salah dengar, mereka begerak??? Air-rium ingin jadi pahlawan telat???" Suaranya rendah tapi menusuk, tangannya mengepal di lutut.
Juliar bersandar di pilar aula bersama Shadaq. Juliar mengibaskan tangan. "Mereka ingin merebut perjuangan kita, saat kita lelah mereka lanjutkan kemudian mereka lah yang meraih kemenangan."
Shadaq mengangguk. "Aku akan merebut kembali kejayaan yang Air-rium rampas dari militarium." Suaranya tegas, tubuhnya tegang seperti siap bertindak.
Serentak tentara-tentara lain berbisik dan berteriak, suara bergaung di aula luas. Kerumunan bergolak, tangan-tangan terangkat dalam protes.
Rom bangkit setengah. "Katakan Solerom Munkar harus bertindak." Matanya menyala, menatap ke podium.
Elesa meremas mulut Rom dengan tangan cepat. "Diamlah, aku bisa memecatmu sekarang juga." Nadanya tajam, tubuhnya condong menghadang.
Rom menggeleng. "Ell kita ga bisa-." Kata-katanya terpotong, tangannya mencoba melepaskan.
Elesa mendekatkan wajah. "Kamu yang minta Air-rium bertindak kak." Suaranya pelan tapi mengancam, mata saling bertemu.
Marckno menaikkan volume mikrofon, suara menggelegar. "Kita tidak akan kehilangan kejayaan karena Air-rium, kalian harus tetap melangkah agar Air-rium tidak mencapai finis lebih dulu dari kalian, kita hanya harus berlomba bukan bermusuhan untuk ini."
Juliar maju ke depan. "Aku kira kau akan mendukung Air-rium, rupanya kau hanya sempat melupakan militarium. Baiklah jika anda minta kita semua berlomba, aku komandan Juliar akan menindak musuh bersama pasukan dengan serius, minta pada developer dan penyedia jaringan untuk mengutamakan lokasi musuh, menomorsatukan data yang tersebar hanya membuat penangkapan terus tertunda."
Rom mengangguk. "Kurung musuh dalam jeruji, lalu urus data tersebarnya memang lebih terlihat lebih efektif, tapi jika keduanya bisa dilakukan bersamaan kenapa tidak." Suaranya naik, tangannya menunjuk ke arah Juliar.
Juliar terkekeh pendek. Tawa menusuk, tubuhnya tetap bersandar santai.
Shadaq maju selangkah. "Sebaran data diperlukan untuk melacak Rom." Nadanya dingin, mata menyipit.
Rom balas. "Setelah dihapus mereka akan buat akun lagi, akun baru lebih mudah dilacak." Lengannya menyilang dada, siap adu argumen.
Marckno menggeleng. "Musuh bukan hanya ada di satu tempat, jadi kita waspada dan siap selalu untuk tugas, sebenarnya hanya ini yang ingin saya sampaikan sejak awal, namun berkat mulut Rom saya baru dapat kesempatan mengatakan hal ini."
Rom mengangkat tangan. "Apa rencana untuk sekarang." Matanya menuntut, tubuhnya condong ke depan.
Shadaq bertanya. "Solusi sementara?" Suaranya mendesak, menatap Marckno.
Juliar terdiam, tatapannya ke lantai. Aula hening sejenak, menunggu langkah berikutnya.
Marckno mengangguk tajam, tangannya mengetuk podium. "Strategi sementara: kita bagi tim. Bagian satu fokus blokade jaringan, kerjasama dengan developer untuk software penghapus otomatis. Bagian dua, lacak lokasi musuh via IP baru, prioritaskan penangkapan di markas tersisa."
Rom menyeringai. "Akhirnya, aksi nyata. Gue ambil tim penangkapan, biar Air-rium urus data mereka sendiri." Tubuhnya bangkit, siap bergerak.
Elesa menarik lengan Rom. "Tunggu, kak. Kita koordinasi dulu, jangan asal loncat." Nadanya tegas, mata mengunci Rom.
Juliar angkat bicara. "Setuju, tapi tambah patroli darat. Musuh bisa pindah server fisik, kita serbu sebelum mereka upload lagi." Lengannya menyilang dada.
Shadaq menggeleng. "Software penghapus dulu, biar data hilang sementara. Lacak akun baru seperti Rom bilang, tapi waspada jebakan." Suaranya rendah, tatap ke Marckno.
Marckno menghela napas. "Ya, mulai sekarang: Shadaq pimpin tim cyber, Juliar urus patroli. Rom, Elesa, bantu lacak. Kita lompat ke finis duluan." Aula bergaung persetujuan, tentara mulai bergerak.
Rom mengangguk. "Baik, strategi ini cukup untuk sementara. Mari kita eksekusi." Tangannya mengepal, mata menyala tekad.
Marckno melanjutkan, suaranya tegas melalui mikrofon. "Sebarkan kabar di media sosial: orang yang merasa data pribadinya tersebar bisa mendatangi posko atau polres terdekat untuk melaporkan apa yang tersebar, dan nantinya mereka akan dapat email khusus apakah data mereka sudah diurus atau belum. Soal menomorsatukan lokasi musuh, kita rahasiakan dari penduduk, ini rahasia yang hanya boleh diketahui oleh militarium."
Rom mengangkat tangan. "Apa mereka juga akan dapat transfer ganti rugi, kasian juga orang-orang yang pribadinya disebar." Tubuhnya condong ke depan, mata menatap Marckno.
Marckno mengangguk. "Tentu saja tapi tidak dalam waktu dekat, uang yang kita rampas dari musuh akan dijadikan ganti rugi, itu sebabnya orang yang merasa dirinya disebar wajib ke kantor polisi terdekat."
Juliar menyeringai. "Ini makin menakjubkan." Ia maju selangkah, tangan menyilang dada.
Marckno menggeleng tajam. "Jangan sampai ada yang lengah, bisa juga musuh salah satu dari kita." Suaranya naik, mata menyapu aula penuh tentara.
Elesa mengangguk pelan. "Setuju, kita tingkatkan pengawasan internal sekarang juga." Tangannya mencengkeram pegangan kursi.
Shadaq bangkit. "Aku pimpin tim verifikasi anggota, mulai dari sekarang." Langkahnya cepat ke podium.
Rom menyentuh bahu Elesa. "Ini strategi bagus, tapi kita harus gerak cepat sebelum musuh infiltrasi lebih dalam." Suaranya rendah, siap bertindak.
Marckno menutup. "Ya, rapat selesai. Eksekusi rencana, jangan biarkan Air-rium unggul." Aula bergolak, tentara mulai berpencar.
Rom dan Rahman mendekat pada Juliar dan Shadaq, langkah mereka ringan di lantai aula yang mulai sepi. Tentara lain berpencar, suara pintu bergaung di belakang.
Rom memanggil Juliar. "Woi pria gorila, kurasa kau mulai sadar tugas komandan." Suaranya provokatif, tangan menyilang dada.
Juliar menyeringai. "Rahman, seharusnya kau lepas Rom kelaut dengan helikopter mu." Lengannya menepuk bahu Rahman, mata menyipit.
Rom balas cepat. "Jangan terlalu brutal, ingat aku bagian dari tim, tanpa ku, militarium kurang satu orang." Tubuhnya condong maju, siap adu argumen.
Shadaq menggeleng. "Mengurangi beban tim adalah langkah benar, ketimbang membiarkan beban seperti mu mengacaukan misi." Nadanya dingin, tangan di saku.
Juliar tertawa pendek. "Shadaq naik gaji kau kalo pinter." Ia maju selangkah, menatap Rom.
Rom mengangkat bahu. "Beban adalah Air-rium, lebih baik menyingkirkan Air-rium, lalu aku resign sebelum kau menyingkirkan ku." Suaranya naik, mata menyala.
Shadaq dan Juliar terkekeh serempak, tawa bergaung ringan. Mereka saling pandang, tegang mereda.
Rahman angkat bicara. "Kalian beda jauh yaa, selama aku di Air-rium aku belum pernah lihat orang-orang seperti kalian." Ia menggeleng pelan, tangan menyilang.
Juliar mengangguk. "Itulah kami, inilah militarium. Buruk di luar baik di dalam." Lengannya terentang, menunjuk aula.
Rom menyela. "Namun kadang aku berpikir militarium perlu perbaikan." Suaranya serius, tubuh rileks.
Shadaq balas tajam. "Termasuk dirimu Rom." Matanya menusuk, tangan mengepal.
Rom menggeleng. "Kita semua bro.. bukan aku 1 atau dua orang militarium, tapi semua." Nadanya tegas, menatap mereka bertiga.
Juliar mengangguk pelan. "Aku setuju, seorang militer harus lebih dewasa lagi, dengan menghapus komunikasi toksik. Kita menjaga kedamaian, tapi kita sendiri saling bermusuhan." Suaranya rendah, tangan menyentuh bahu Shadaq.
Mereka berempat berjalan keluar dari aula, langkah serentak meninggalkan ruangan bergema. Pintu tertutup di belakang.
Sementara di belakang mereka, Elesa mendekati Marckno, langkahnya pelan di antara kursi kosong. Marckno menoleh pada Elesa, mata lelah tapi tajam.
Elesa berhenti. "Aku lelah pak." Suaranya pelan, tangan menyentuh meja podium.
Marckno menggeleng. "Maaf adik kecilku militarium. Tapi kita harus mengawasi Juliar dan Solerom." Nadanya rahasia, mata melirik ke pintu.
Elesa melebar mata. "Apa." Tubuhnya tegang, condong mendekat.
Marckno tersenyum tipis. "Maaf. Bisakah saya minta tolong kamu jaga bayi besar itu lagi malam ini, ada uang jajannya kok, lagian saya lihat kamu sama Rom cocok lohh, kalian romantis banget kalo deket, saya kagum." Suaranya genit, tangan menyentuh bahu Elesa.
Elesa memerah. "Pakk.....!!!!" Seruannya naik, tangan mendorong bahu Marckno ringan.