NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:421
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Dimana Masa Lalu Datang Kembali

Hari libur itu terasa seperti jeda langka di tengah badai tugas heli yang tak henti, tapi bagi Rom, itu cuma ilusi tenang sebelum gelombang berikutnya. Pagi menyingsing dengan cahaya matahari yang malas menyusup melalui tirai jendela rumah kecilnya di pinggiran Jakarta Pusat, membuat udara ruang tamu terasa lembab dan pengap seperti napas kota yang kelelahan. Rom duduk bersila di lantai karpet usang, controller PS5 di tangan, mata terpaku ke layar TV yang bergemuruh dengan suara rotor heli dan ledakan virtual. Game *Heli Strike*—simulasi perang helikopter yang ia mainkan sejak subuh—baru saja mencapai klimaks: Apache-nya menghancurkan markas musuh dengan rudal terakhir, layar meledak oranye cerah, dan tulisan **VICTORY** muncul dengan efek konfeti digital.

"Nahhh... goblok musuhnya!" teriak Rom pelan, senyum lebar tapi sinis, tangannya melempar controller ke sofa dengan gerakan puas. Ia meregangkan punggung, otot tegang dari duduk lama, arloji di pergelangan tangannya berdetak pelan seperti ejekan halus atas kemenangan palsu itu. "Kok di game gampang yak, ga kaya di sini. Di dunia nyata, heli telat lima menit aja, musuh kabur, tim kualahan, dan Marckno pukul muka. Sialan."

Ia bangkit pelan, kakinya pegal karena semalaman mimpi buruk soal misi hotel kemarin—Surian hilang lagi, Rahman terluka, dan Elesa... ah, Elesa. Pikirannya melayang ke pagi tadi di Big Star Platinum, saat ia pakein jilbabnya dengan tangan gemetar, ciuman satu menit yang bikin bibirnya masih terasa hangat. "Dia bilang 'satu menit boleh', tapi mata itu... seperti janji lebih." Rom gelengkan kepala, senyum miring muncul di bibirnya. Elesa sudah jadi bagian dari rutinitasnya sekarang—dekat, tapi selalu dengan batas tegas yang bikin hatinya berdegup aneh. Tapi hari ini libur, tak ada panggilan heli dari Air-Rium, tak ada pesan Marckno soal mafia data. Cuma dia dan game, setidaknya sampai siang.

Tiba-tiba, ketukan pintu dari luar bergema pelan—tuk... tuk... tuk. Rom mengerutkan dahi, lirik arloji: pukul 10.30. "Siapa ngetuk pagi-pagi gini anjing?" gumamnya lirih, suara kesal campur penasaran. Ia bangkit, langkah santai ke pintu depan, tangan meraih gagang sambil lirik jendela—bayang siluet samar di luar, langsing dan familiar, tapi tak mungkin. Ia buka pintu pelan, angin pagi menyusup membawa aroma tanah basah dari hujan semalam.

Di balik pintu, Lina berdiri di sana—rambut terurai bebas di bawah mantel krem panjang, wajahnya pucat tapi senyumnya manis seperti madu lama yang sudah mengental. Rom melotot, mata melebar kaget seperti kena tembak dari sniper tak terlihat. "Lin...?" gumamnya, suara serak, hati berdegup kencang seperti rotor heli yang overheat. Belum sempit Rom terkejut, Lina maju cepat, tangannya melingkar leher Rom, peluk erat seperti pelabuhan yang lama hilang. Tubuhnya hangat menempel dada Rom, aroma parfum vanila lama itu menyusup ke hidungnya, membangkitkan kenangan yang seharusnya sudah terkubur.

Rom membeku sebentar, tapi instingnya ambil alih—tangan kanannya peluk balik pinggang Lina, erat tapi ragu, seperti pegang bom yang belum meledak. Pikirannya langsung beralih ke Elesa: senyum genitnya pagi tadi, ciuman satu menit yang bikin bibirnya bengkak, dan janji "jangan macam-macam lagi". "Sial, kenapa sekarang?" gumam dalam hati, arloji di tangannya berdetak lebih cepat, seperti saksi bisu yang curiga.

"Kok kamu di sini, Lin?" tanya Rom pelan, suaranya campur kaget dan hati-hati, tangan masih di pinggang Lina tapi sudah longgar, mundur pelan ke dalam rumah sambil tarik Lina ikut. Ia tutup pintu pelan, tak ingin tetangga curiga.

Lina lepas pelukannya, tapi tangannya masih pegang lengan Rom, mata cokelatnya berbinar penuh kangen yang tak disembunyikan. "Aku kangen kamu, sayang," bisiknya, suara manja seperti dulu, jari-jarinya menyentuh dada Rom pelan, sensasi hangat yang bikin Rom menelan ludah. "Dari kampung, aku mikirin kamu terus. Prakai... dia lagi tugas, jarang pulang. Aku bebas sekarang."

Rom mundur selangkah lagi, tangan naik garuk tengkuk—gerakan gugup yang ia lakukan saat terpojok. "Aku tahu, aku juga kangen. Tapi... di mana Prakai? Bukannya kamu di kampung sekarang? Kok tiba-tiba muncul gini?"

Lina tersenyum miring, langkahnya maju lagi, bikin Rom mundur ke sofa. "Aku sekarang bebas ketemu kamu... Prakai sering bertugas, jarang di rumah. Aku ga kerja lagi, cuma nunggu dia pulang—tapi nunggu apa? Kosong. Dia pulang empat hari lagi, mumpung belum pulang, aku mau nginep di sini dulu ya." Suaranya genit, tangannya pegang tangan Rom, tarik pelan ke sofa seperti undangan tak terucap.

Rom tersentak, pikiran dipenuhi bayang Elesa—tatapan ragu tapi luluh saat ciuman pagi tadi, janji "satu menit boleh" yang bikin hatinya berantakan. "Tapi Lin... aku ga yakin di sini aman. Itu nekat banget," katanya, suara tegas tapi hati goyah, arloji berdetak seperti peringatan—saksi bisu affair lama yang kembali menggigit.

Lina nggak mundur, malah duduk di sofa, tarik Rom ikut duduk di sebelahnya. "Ga masalah, kita kan pernah di grebek, pas lagi [ngentot] malahan. Bayangin kita bisa kayak gitu lagi, kapan mau minta siang hari juga aku ga masalah. Yang penting dua hari ini kita bisa hidup bareng lagi." Matanya berbinar nakal, tangan merayap ke paha Rom pelan, sensasi hangat melalui celana jeans yang bikin Rom tegang, napasnya tersendat.

Rom tolak tangan itu pelan, tapi nggak kuat—hatinya campur, rasa bersalah ke Elesa seperti duri di dada. "Aku ga berani, Lin. Rumahku kadang rame, temen-temen bisa dateng tiba-tiba. Kamu mau bilang gimana kalau ada yang liat?" Tolakannya lemah, suara goyah, pikiran melayang ke ciuman Elesa tadi pagi, bibir yang manis tapi batas tegas.

Lina tertawa kecil, suara ringan seperti lonceng tapi penuh godaan. "Jangan diijinin masuk aja. Kita fokusin rumah kamu buat kita dua hari ke depan." Ia naik ke pangkuan Rom tiba-tiba, membalik badan menghadap, pinggulnya menekan paha Rom pelan—sensasi hangat dan lembut itu bikin Rom tegang seketika, darah mengalir ke bawah seperti api yang menyala pelan. Lina peluk leher Rom, napasnya menyapu telinga, "Aku kangen ini, Rom... kangen kamu pegang aku kayak dulu."

Rom terdorong mundur ke sofa, tangan otomatis pegang pinggang Lina—erat, tapi pikiran berteriak Elesa. "Lin... aku ga berani lagi," gumamnya, suara serak, tapi tubuhnya nggak tolak, tegangannya terasa seperti rotor heli yang overheat. Arloji di tangannya berdetak kencang, jarumnya seperti saksi yang gelisah.

Lina nggak peduli, bibirnya dekat telinga Rom, bisik genit. "Kamu tenang aja, kita bebas. Aku bisa atur—bilang ke Prakai aku lagi urus urusan lama di kota." Ia geser pinggul pelan, sensasi gesekan itu bikin Rom mengerang pelan dalam hati, tangan Lina turun ke dada Rom, jari menyusuri garis otot di balik kemeja. "Bukankah kamu bilang mau benerin hidup bareng Prakai? Kok sekarang gini?" tanya Rom, suara lemah, coba tolak lagi, tapi tangannya malah pegang lebih erat pinggang Lina, rasa bersalah ke Elesa seperti beban di dada.

Lina hembus napas pelan, mata menyipit pilu tapi genit. "Ya itu tujuanku, tapi nyatanya Prakai jarang pulang. Aku jadi kesepian, memang di kerjaan ngapain coba? Masak sering telat, pulang bau alkohol atau apa." Ia geser lagi di pangkuan, bikin Rom tegang lebih dalam, napasnya tersengal. "Dia pasti sibuk sama mafia-mafia lama itu, lihat sendiri kan mereka komplotan besar, mereka punya hotel segala," kata Rom, suara goyah, tapi pikirannya beralih ke misi hotel kemarin—Big Star Platinum yang nyaris jadi medan perang, mafia data yang rebut Surian. Sensasi tegang di bawahnya makin kuat, seperti api yang tak bisa dipadamkan.

Lina membalik badan di pangkuan, menghadap Rom sepenuhnya, tangannya pegang pipi Rom—sentuhan lembut tapi penuh tuntutan. "Tapi itu kan di Jakarta, bukan di kampung dia. Masak iya dia dipanggil ke Jakarta lagi? Ga mungkin lah." Matanya berbinar, pinggulnya geser pelan lagi, bikin Rom mengerang pelan, tangan Rom otomatis pegang pinggul Lina, tekanan hangat itu merayap seperti racun manis.

Rom telan ludah, suara serak. "Apa kamu denger berita terbaru soal Rembulan Manis? Hotel, travel tour dan lainnya, mereka adalah musuh. Sekarang polisi, tentara, semua sedang sibuk menggrebek satu per satu cabang mereka. Mungkin ada cabang penginapan di daerah kampungmu, dan Prakai pasti ikut bertugas menggrebek." Kata-katanya cepat, coba alihkan pikiran dari tegang di bawah, tapi tangan Lina turun ke dada Rom, jari menyusuri garis otot, bikin napasnya tersengal.

Lina angkat alis, tapi senyumnya nggak pudar—malah, ia dekatkan wajah, bibir hampir sentuh. "Emang iya ada? Aku ga yakin. Masalahnya ya... emang dari dulu dia sering pulang telat." Ia geser pinggul lagi, ritme pelan yang bikin Rom tegang maksimal, sensasi panas merayap ke perutnya seperti api liar. "Aku denger berita itu sih, tapi karena dari dulu sering telat, aku udah terlanjur kesel aja. Gamau gampang percaya pokoknya."

Rom pegang tangan Lina, coba hentikan, tapi suaranya goyah. "Jelas ada, Lin. Mereka punya cabang tersebar luas—dari Jakarta sampe pinggiran. Prakai pasti terlibat, dia kan tentara lapangan. Kamu jangan curiga macem-macem, ini tugas negara." Tapi pikirannya campur: Elesa, dengan senyum tegasnya, vs Lina di pangkuan sekarang, hangat dan menggoda seperti masa lalu yang tak mau pergi.

Lina tertawa kecil, suara ringan tapi penuh godaan, tangannya lepas dari dada Rom dan turun ke paha—sentuhan ringan, tapi cukup bikin Rom mengerang pelan. "Yaudah, kalau gitu aku percaya. Tapi sekarang... lupain Prakai dulu. Kita fokus dua hari ini, ya? Aku kangen kamu, Rom... kangen rasanya kamu di dalam aku, seperti dulu di hotel Gagak." Bisikannya panas, pinggul geser lagi, bikin tegang Rom nyaris meledak, arloji berdetak seperti detak jantung yang liar.

Rom tarik napas dalam, tangan pegang pinggul Lina lebih erat—tolak tapi tarik, hati terbelah antara Elesa dan masa lalu. "Lin... aku... oke, nginep aja. Tapi janji, aman. Nggak ada yang tahu." Suaranya kalah, pikiran penuh Elesa tapi tubuh kalah godaan. Lina senyum puas, bibir dekat telinga Rom, bisik "Bagus... sekarang, matiin PS-nya. Kita mulai dari sini." Dan Rom tahu, masa lalu kembali, dengan arloji sebagai saksi bisu yang berdarah lagi.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!