Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Seharusnya aku merasa bahagia. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Megan, perempuan cantik yang banyak diidamkan lelaki lain. Dia penuh percaya diri, tahu apa yang ia mau, dan selalu tampil menawan.
Tapi kenapa hati ini justru mulai ragu?
Setiap kali aku melihat senyumannya, ada rasa asing yang menyusup. Senyum itu memang indah, tapi bukan senyum yang membuatku tenang.
Aku menggenggam kepalaku, merasakan denyut sakit di pelipis. "Kenapa bisa begini? Bukannya ini yang aku mau?" bisikku pada diri sendiri.
Bayangan wajah Ratu muncul sekilas. Perempuan itu dulu sering menemaniku meski tanpa permintaan. Dia selalu ada di rumah, mengurus segalanya tanpa mengeluh, meski aku tahu dia banyak menahan sakit.
Aku menggeleng keras, berusaha menepis bayangan itu. "Tidak, sudah cukup. Ratu sudah pergi. Dia yang meninggalkan aku. Sekarang aku harus fokus pada Megan."
Namun semakin keras aku mencoba meyakinkan diri, semakin besar pula keraguan itu menggema di dadaku.
…
Pagi itu aku duduk di meja makan, hanya dengan sepiring roti tawar dan secangkir kopi pahit. Rumah terasa sepi, dingin, tak ada lagi suara Ratu yang biasanya sibuk di dapur menyiapkan sarapan hangat.
Suara pintu depan terbuka, disusul langkah kaki tergesa.
Ibu langsung duduk di sampingku, menatap wajahku yang tampak lelah.
"Jadi... gimana persiapan pernikahanmu sama Megan?" tanyanya pelan, tapi nada suaranya penuh selidik.
Aku menghela napas panjang, menaruh sendok di atas piring. "Masih berantakan, Bu. Banyak yang belum siap. Biaya juga... ya, lumayan bikin pusing."
Ibu mengernyit, lalu menepuk pahaku. "Kamu yakin mau lanjut? Ibu lihat raut wajahmu sekarang penuh keraguan."
Aku menoleh, mencoba meyakinkan diriku sendiri. "Megan bilang dia ingin yang terbaik. Dia nggak mau pernikahan ini biasa-biasa saja."
"Wajar kalau Megan mau pernikahan yang enggak biasa. Lihat saja penampilan sama gayanya gimana. Ibu sih enggak masalah tentang bagaimana pernikahanmu nanti. Asalkan uang jatah ibu jangan kamu usik atau kamu kurangi, ibu mau uang itu selalu utuh 5 juta perbulan."
Aku tercekat, menatap wajah ibu dengan ragu. "Bu... lima juta? Sekarang ini keuangan lagi sulit, Bu. Perusahaan juga lagi banyak pengawasan."
Ibu mendecak kesal. "Itu urusan kamu, bukan urusan ibu. Ibu nggak peduli kamu dapat dari mana. Yang jelas, setiap bulan lima juta harus ada di tangan ibu. Jangan sampai ibu dengar alasan lagi. Kalau kamu bisa nurutin kemauan Megan, kamu juga harus nurutin ibu."
Aku hanya bisa menghela napas, merasa beban di pundak semakin berat.
…
Di kantor, aku hanya menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa pun. Angka-angka di spreadsheet berloncatan seperti tidak mau menempel di otakku. Kepala terasa berat, pikiranku penuh sesak.
Belum menikah saja, Megan sudah banyak sekali maunya. Kemarin minta cincin emas dengan desain khusus, sekarang minta jadi ibu rumah tangga penuh, lalu ditambah lagi tuntutan ibu yang harus kukasih jatah lima juta tiap bulan.
Aku menghela napas panjang, menekuk wajah di telapak tangan. Uang tabunganku hampir habis hanya untuk menyewa gedung pernikahan dan dekorasi yang katanya “harus mewah, biar tidak malu di depan tamu.” Padahal bagiku, pesta sederhana pun sudah cukup.
“Lang, kamu kenapa? Mukamu kusut banget,” suara rekan kerjaku, Rian, membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum hambar. “Nggak apa-apa, lagi banyak pikiran aja.”
Rian menepuk bahuku. “Biasalah mau nikah, pasti pusing. Tapi jangan sampai kebawa kerjaan, ya. Deadline kita sudah mepet.”
Aku mengangguk, padahal dalam hati semakin sesak. Rasanya semua orang menuntutku: Megan dengan keinginannya, ibu dengan jatahnya, dan sekarang pekerjaanku dengan deadline-nya.
Aku bersandar di kursi, menatap langit-langit kantor yang dingin. Suara keyboard orang-orang terdengar seperti jarum yang menusuk kepalaku.
Belum menikah saja sudah seperti ini… bagaimana nanti setelah resmi jadi suami?
Dulu saat aku menikahi Ratu, semuanya terasa begitu sederhana. Tak ada sewa gedung megah, tak ada dekorasi berlebihan yang menguras isi rekening. Bahkan untuk mahar saja, aku hanya memberikannya ala kadarnya, sekadar cincin emas sederhana. Serta uang tunai tiga ratus ribu.
Aku mengusap wajahku kasar. Kenapa sekarang rasanya semua berbeda?
Megan… dia selalu ingin yang terbaik, tapi “terbaik” menurutnya adalah yang serba mahal, serba mewah. Seolah kalau tak ada kemewahan, pernikahan ini tak ada harganya.
…
Di saat jam pulang kerja, ponselku bergetar. Nama Megan tertera di layar. Aku angkat dengan suara letih.
“Halo, sayang…”
Suara Megan terdengar ceria di seberang.
“Mas, malam ini kamu harus temani aku makan malam ya. Keluarga besarku sudah datang dari luar kota. Mereka ingin bertemu langsung denganmu.”
Aku langsung tersentak. Tanganku refleks mengepal di atas meja.
“Malam ini?” tanyaku memastikan, nada suaraku agak meninggi.
“Iya, tentu saja malam ini. Masa aku harus menunda? Mereka sudah menunggumu. Aku udah booking resto mahal, jadi jangan telat ya,” jawab Megan dengan ringan, seolah itu hal biasa.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam rasa penat yang sejak siang menumpuk.
“Megan, kenapa mendadak sekali? Aku bahkan belum siap. Rasanya terlalu cepat untuk—”
“Mas!” potong Megan cepat, suaranya berubah lebih tegas.
“Kamu ini calon suamiku. Masa ketemu keluarga besarku saja dibilang belum siap? Aneh banget. Lagi pula kamu kan sudah bertemu sama kedua orang tuaku. Sekarang giliran keluarga yang lain ke sini. Mereka datang jauh-jauh loh, masa aku harus kecewakan mereka gara-gara kamu?”
Aku terdiam. Ujung-ujungnya, lagi-lagi aku tidak punya pilihan selain menurut.
Aku mengusap wajahku sambil bergumam lirih, “Astaga… kenapa semua terasa begitu menyesakkan begini…”
…
Sesampainya restoran yang penuh cahaya lampu gantung. Meja bundar besar sudah dipesan oleh Megan. Di sana duduk dua kakaknya beserta pasangan mereka, juga beberapa keponakan yang sesekali tertawa riang.
Megan berdiri dan melambaikan tangan. “Mas, sini duduk di sampingku.”
Aku menarik kursi dan duduk. Hati terasa tegang. Semua tatapan langsung tertuju padaku.
Salah satu kakak laki-laki Megan membuka suara.
“Jadi ini Erlangga ya, calon suami adik kita?”
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, Mas. Senang sekali bisa bertemu," jawabku sekenanya. Jujur saja aku baru melihat kakak Megan. Karena saat aku melamarnya hanya bertemu kedua orangtuanya saja.
Kakak perempuannya menimpali dengan nada yang terdengar setengah bercanda tapi menusuk.
“Kami ingin pastikan, Mas Erlangga benar-benar bisa menjaga Megan. Dia anak bungsu, biasa hidup nyaman. Jadi jangan sampai setelah menikah dia kekurangan.”
Aku hanya menelan ludah, mencoba tetap tersenyum.
“Tentu, Mbak. Saya akan berusaha membahagiakan Megan sebaik mungkin.”
Kakak laki-laki itu menatapku lebih tajam.
“Berusaha saja tidak cukup, Mas. Megan itu terbiasa dimanja. Dia butuh kepastian, bukan sekadar janji.”
Megan menyikut lenganku pelan sambil tersenyum manis.
“Tuh kan, kamu dengar sendiri kata mereka. Aku memang ingin hidup nyaman, Mas. Kamu harus bisa mewujudkan itu.”
Kepalaku makin berat. Aku hanya bisa menunduk, merasa obrolan di meja itu berubah menjadi tuntutan yang tak ada habisnya.
Setelah hampir satu jam duduk bersama, obrolan penuh tanya-jawab yang membuat kepalaku pusing akhirnya perlahan mereda. Hidangan terakhir sudah habis disantap. Aku berharap Megan yang sudah mengajak keluarganya, juga yang menyiapkan acara ini, paling tidak menyiapkan pembayaran.
Tiba-tiba Megan menoleh padaku dengan wajah polos seolah tanpa beban.
“Mas, kamu yang bayar ya,” ucapnya santai sambil merapikan rambutnya.
sampe bab ini masih bingung alur nya..tdk ada pov ratu jadi masih sepihak
beda istri beda rejeki apalagi hsil selingkuh bgitu.