Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pov Barra: Kirana yang kukenal
*Masih enam bulan lalu*
Tiga hari sudah Barra menemani Kirana. Ia belum banyak berbicara dengannya. Bukannya tidak mau, tapi ia sengaja menahan diri. Perkataan dr. Nurman masih menggelayuti pikirannya.
Betulkah Kirana memblokir ingatannya karena ingin menghapus 10 tahun kehidupannya? Yang juga berarti menghapus Barra?
Ingatan Kirana berakhir ketika memenangkan penghargaan dari yayasan Biannale. Barra sangat ingat, itu adalah pertama kalinya ia muncul kembali dalam kehidupan Kirana. Muncul sebagai pria dewasa yang mencintai seorang wanita.
Ditambah lagi, pernikahannya dengan Kirana bisa dikatakan bukan pernikahan penuh cinta. Selama lima tahun, Kirana terus berusaha untuk bisa lepas darinya.
Meski Barra menghujani Kirana dengan cinta, tapi Kirana tidak pernah bisa memaafkan dan menerimanya. Perbuatan yang dilakukan Barra sudah menggoreskan luka dalam di hati Kirana.
Satu bulan sebelum kecelakaan, Kirana melayangkan gugatan cerai pada Barra. Barra menyetujuinya. Ia sudah menyerah untuk mendapatkan hati Kirana. Pada akhirnya, Barra hanya ingin Kirana berbahagia meski bukan dengam dirinya. Barra siap untuk kehilangan separuh nafasnya.
Jika memang penderitaan dan luka hati Kirana diakibatkan olehnya, Barra pikir menjaga jarak adalah pilihan terbaik. Selain itu juga, ia juga takut dirinya akan sulit melepaskan Kirana jika suatu hari nanti ingatannya kembali.
Barra setia menenami Kirana tapi ia ingin tetap menjaga hatinya. Karena itu, meski di Rumah Sakit, Barra menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
"Aaah!"
Barra mendengar Kirana mengeluh dengan cukup keras.
Barra menegakkan kepala. "Ada yang kamu butuhkan, Kira?"
"Ehh, tidak ada Mas."
"Hari ini jadwalmu fisioterapi 'kan?"
"Iya, biasanya jam 9," ucap Kirana memandang ke arah jendela.
Apakah dia bosan di kamar terus? Haruskah aku membawanya keluar?
"Ada yang perlu disiapkan?" Barra mendekati ranjangnya.
"Enggak ada. Hanya butuh tenaga. Tadi, aku sudah makan banyak."
Baiklah, kita jalan-jalan sebentar di taman.
"Eeeh, mau ngapain Mas?"
"Kamu tahu di mana ruangannya?" tanya Barra.
"Ruangan apa?" Kirana balas bertanya.
"Fisioterapi."
"Tahu.."
Barra mendorong kursi roda Kirana keluar kamar.
Sesampainya di taman, Barra bisa melihat kebahagiaan Kirana. Dia menghirup udara dalam-dalam. Setelah berbulan-bulan, baru kali ini dia kembali merasakan udara segar.
Barra terpesona memandangi Kirana yang terkena sinar matahari. Wajah yang cantik, polos tanpa make up. Rambut hitam lebat yang tergerai sampai punggung. Sesekali, angin bertiup, membuat rambutnya sedikit berantakan. Senyumnya terus tersungging. Semua itu membuat kecantikan Kirana semakin menonjol.
Hati Barra berdegup cepat.
Sudah lama aku tidak melihatmu secantik ini, Kira. Kecantikan yang membuatku tidak bisa melepaskanmu, benak Barra.
"Mas... Aku boleh minta sesuatu?"
"Apa?"
"Aku boleh minta tolong dibawakan peralatan gambar? Punyaku yang di rumah. Aku ingin menggambar. Aku ingin menggambar bunga-bunga cantik ini."
Aku tidak salah dengar? Dia ingin melukis lagi?
Barra terdiam. Ia tidak tahu harus mengiyakan atau tidak. Satu hari sebelum menikah, Kirana bersumpah tidak akan pernah menyentuh alat lukis lagi.
Barra mendekati Kirana, memegang dagunya. Memaksa Kirana melihat ke arah matanya. Hanya ingin memastikan. "Kamu betul ingin menggambar dan melukis lagi?"
"Iya...,"
Betulkah ini Kira...? Apa kamu akan kembali menjadi dirimu sebelum semuanya terjadi? Menjadi Kirana yang kukenal?
"Baiklah... Nanti kubelikan!" putus Bara.
"Betul Mas? Terima kasih banyak Mas," ucap Kirana senang, tanpa sadar memeluk Barra.
Deg.
Untuk sesaat, dunia kehilangan suara. Hanya ada detak jantung Barra, dan detak jantung Kirana. Ada sesuatu dalam diri Barra runtuh seiring dengan pelukan Kirana.
Barra ingin berbicara, tapi setiap kata seolah mati di tenggorokkan. Semua yang ingin dikatakannya--- cinta, rindu, takut, penyesalan--- melebur jadi satu, dan meledak diam-diam di dadanya.
Barra memejamkan mata. Merasakan bagiamana pelukan itu menghidupkan kembali sesuatu yang sudah dimatikan sejak dulu---harapan. Dan Barra tahu harapan bisa sangat menakutkan, karena itu bisa membuatnya hidup atau menghancurkannya.
"Sudah mau jam 9, di lantai berapa ruangannya?" Barra mencoba memegang kendali kembali.
"Di lantai 5, Mas."
**********
Di ruang fisioterapi,
Barra memandangi Kirana dari balik kaca. Keringat membasahi tubuh Kirana. Baju dan rambutnya basah. Tapi, Barra melihat tekad kuat dari sorot mata Kirana. Kirana tidak menyerah. Dengan segala yang dipunyainya, Kirana berjuang mendapatkan kembali dirinya sebelum kecelakaan itu.
Kira... Apa ini? Bagaimana kamu bisa menahannya? Sesulit inikah Kira? Apakah kamu merasakan sakit yang teramat sangat?
Barra merasakan matanya memanas. Sebelum air matanya jatuh, ia berlalu ke kamar mandi. Di sana, Barra menangis. Ia menangisi takdir yang harus dilalui istrinya. Takdir yang sebagian besar akibat dari perbuatannya.
**********
Sore harinya, Kirana tertidur lelap. Barra duduk di samping tempat tidur. "Dia sangat lelah sekali," ucap bara pelan.
Barra melihat jam tangan, hampir menjelang malam. Perawat sudah mengantarkan nampan makan malam.
"Kira... Kira... Bangun Sayang," Barra mengelus kepala Kirana lembut.
"Kira... ayo. Kira... Bangun, saatnya makan malam."
Kirana membuka matanya perlahan.
"Aku ingin mandi dulu, Mas. Badanku lengket semua."
"Sudah terlalu sore. Di lap saja." Barra menekan bel memanggil perawat.
Barra mengambil totebag di atas meja, kemudian menyerahkannya pada Kirana. "Ini! Aku tidak tahu apakah sudah sesuai dengan kebutuhanmu atau belum."
Setelah mendengar permintaan Kirana, Barra menelepon Bu Mela untuk membelikan media lukis, dan mengantarkannya ke rumah sakit.
Kirana melongok ke dalam totebag. Matanya berbinar. Ia melihat ada sketchbook, satu set pensil gambar, penghapus, kuas, cat arklirik.
"Sudah Mas! Terima kasih Mas!"
"Hmmm.... " dehem Barra senang melihat binar di mata Kirana. Binar yang sudah lama hilang.
"Permisi, Pak, Bu, tadi memanggil." seorang perawat masuk.
Barra kembali ke sofa.
"Mas...," Kirana memanggil setelah selesai.
Barra asyik membaca laporan potensial project yang dikirimkan Bayu tadi siang.
"Mas Barra!"
Barra terlonjak... ia memandang ke arah Kirana.
"Sudah selesai?"
"Sudah dari tadi! Aku lapar..., " kata Kirana.
Terdengar nada rajukan dalam suara Kirana. Bibir Barra sedikit melengkung ke atas.
Kirana memandang nampan makanannya. Ia menarik nafas berat.
Kenapa? Ah, ada daging. Dia masih kesulitan memotong daging? pikir Barra.
Barra mengambil garpu dari tangan Kirana, lalu memotong daging di piring. Ada dorongan dalam diri Barra untuk menyuapi Kirana. Mungkin karena melihat kerasnya Kirana berlatih tadi siang.
"Aaaa... Buka mulutmu!"
"Gak usah Mas! Aku bisa makan sendiri," Kirana mencoba mengambil sendok dari Barra.
Barra berkelit dengan memegang tangan Kirana lalu menggenggamnya. "Kali ini, aku ingin menyuapimu!" tegasnya.
Barra bersorak dalam hati saat Kirana membuka mulutnya.
Selama makan, Barra enggan melepaskan tangan Kirana. Lembut dan hangat. Jika diizinkan, ia ingin terus menggenggam tangan ini.
Tapi, bagaimana jika ingatan Kirana kembali? Mendadak, Barra merasa takut tangannya akan kembali dihempaskan oleh Kirana. Ia menatap istrinya dengan dingin.