Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 35.
Mobil itu berhenti di halaman sebuah rumah mewah bergaya klasik. Veronica turun dengan langkah cepat, sepatu hak tingginya berdetak di lantai marmer. Wajahnya dingin, namun matanya menyala penuh api.
Pintu rumah terbuka bahkan sebelum ia mengetuk. Seolah sudah tahu siapa yang datang, Medina muncul dengan senyum samar. Senyum itu bukanlah sambutan hangat seorang ibu, melainkan senyum seorang perempuan yang licik dan penuh perhitungan.
“Ah... akhirnya anak Mama pulang juga,” ucap Medina ringan, lalu matanya meneliti ekspresi putrinya. “Mama bisa menebak, pasti kau baru saja bertemu dengan keluarga mereka.”
Veronica melepas tasnya ke sofa dengan kasar. “Benar, dan... pria yang sempat menarik perhatianku ternyata putra wanita jalaang itu. Lebih parah lagi, dia sudah menikah.”
Medina terkekeh pelan, suaranya tajam. “Itu berarti, keluarga itu telah merebut segalanya dari kita. Papa-mu, masa depanmu... bahkan harga dirimu.” Ia mendekat, menepuk pundak Veronica. “Apa kau ingin membiarkan mereka menang?”
Mata Veronica berkilat, wajahnya menegang. “Tentu saja tidak, aku ingin mereka hancur. Aku ingin, Papa tidak pernah bisa bersama wanita itu. Dan aku, menginginkan Ardan...”
Medina menyipitkan mata, lalu menegakkan tubuh. “Bagus, itu baru putri Mama. Ingat, dalam permainan ini... tidak ada belas kasihan.”
“Lalu apa langkah pertama kita?” tanya Veronica, nadanya dingin.
Medina tersenyum licik, ia berjalan ke arah bar kecil menuang segelas anggur, lalu menatap bayangannya sendiri di kaca. “Langkah pertama, kita pecah belah mereka dari dalam. Cari celah kelemahan mereka, gunakan siapa saja yang punya dendam pada mereka. Mama dengar, ada seorang wanita bernama Claudia. Selama tujuh tahun, dia adalah kekasih Ardan. Tapi entah apa yang terjadi… hubungan itu kandas. Sejak saat itu, Ardan malah sudah menikah.“
Veronica mendengarkan dengan mata membara, “Jika Ardan bisa tergoda, istrinya akan remuk. Jika dia bertahan... setidaknya aku bisa menyalakan api pertengkaran dalam rumah tangga mereka.”
Medina berbalik, mengangkat gelas anggurnya ke arah putrinya. “Kau belajar cepat, kita bisa mulai dari besok. Biarkan keluarga itu merasakan apa arti kehilangan... seperti Mama.”
Veronica mengangkat dagunya, senyum tipis muncul di wajahnya. “Baik, Mama. Mari kita lihat, seberapa kuat mereka bisa bertahan.”
Gelas anggur Medina terangkat tinggi, beradu dengan tatapan putrinya.
.
.
.
Sudah berhari-hari Damar tak berhenti membanjiri Nyonya Rarasati dengan perhatian. Setiap hari, sebuket mawar merah segar singgah di depan pintu rumahnya. Setiap waktunya makan, makanan kesukaan wanita itu selalu datang tepat waktu seolah Damar hafal betul setiap detail kecil tentang dirinya. Akan tetapi, Nyonya Rarasati selalu berhasil menghindari Damar.
Namun... hari ini berbeda.
Begitu Nyonya Rarasati melangkah masuk ke mobil, tubuhnya kaku. Matanya melebar saat mendapati Damar sudah duduk di kursi pengemudi.
“Apa yang kau lakukan di sini, Damar? Di mana supirku?” suaranya meninggi, lebih karena gugup daripada marah.
Damar menoleh pelan, bibirnya melengkung dengan senyum yang tak bisa ditahan. “Mulai hari ini, biarkan aku yang jadi supirmu. Siapa tahu, nanti aku bisa naik pangkat... dari supir menjadi pendamping hidupmu.”
Kata-kata itu membuat Nyonya Rarasati terdiam sejenak. Nalurinya mendorong untuk membuka pintu dan keluar, tetapi betapa terkejutnya ia mendapati pintu sudah terkunci.
“Apa aku begitu mengganggumu, sampai-sampai kau selalu ingin lari dariku?” suara Damar terdengar setengah merajuk, penuh keluhan yang tulus.
“Damar, aku__”
“Ra...” potongnya cepat, tatapannya menusuk penuh kerinduan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. “Kita bukan lagi remaja yang takut pada perasaan sendiri. Kita sudah dewasa, sudah sama-sama pernah berpengalaman. Kau tahu betapa aku masih sangat mencintaimu, dan aku lelah terus melihatmu menjaga jarak dariku. Aku hanya ingin kau... berhenti keras kepala dan menerima perasaanku.”
Dada Nyonya Rarasati berdegup kencang, kata-kata itu seperti tamparan lembut yang membuatnya terdiam. Ia tahu, Damar tidak sedang main-main. Pria itu sudah membuktikan dirinya, bukan hanya dengan perhatian kecil tapi juga dengan keberanian menghadapi serangan ayah Claudia demi melindungi perusahaan.
“Baiklah...” ucapnya akhirnya, lirih namun jelas. “Aku akan memberimu kesempatan.”
Seolah dunia dibangun kembali dalam sekejap, mata Damar berkilat penuh harap. “Kau serius? Maksudmu... kau benar-benar menerimaku?”
Nyonya Rarasati menggigit bibirnya, ia bimbang tapi juga tak sanggup lagi membohongi hatinya. “Ya.”
Detik berikutnya, Damar bergerak cepat. Ia keluar dari kursi depan, membuka pintu belakang, dan tanpa ragu masuk ke sisi wanita itu. Tangannya langsung meraih pinggang Nyonya Rarasati, menariknya ke dalam pelukan yang lama ia rindukan.
Pelukan itu bukan sekadar genggaman. Ada air mata yang tertahan, dan ada penyesalan. Damar menunduk, menyembunyikan wajahnya di bahu Rarasati.
“Terima kasih, aku sudah menunggu-nunggu momen ini. Dan sekarang... aku bisa bernafas lega dan benar-benar merasa hidup.”
Nyonya Rarasati tertegun, dadanya sesak oleh emosi yang ikut menyeruak. Ada bagian hatinya yang rapuh, yang diam-diam merindukan pria ini sejak lama. Dan kali ini, ia tak bisa lagi menyangkalnya.
Pelukan itu berlangsung lama, seolah waktu berhenti di dalam kabin mobil. Nafas Damar masih berat, sementara Nyonya Rarasati hanya bisa terdiam. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang sudah lama ia hindari.
Setelah beberapa menit, Damar perlahan melepaskan pelukan itu dengan enggan. Tangannya masih bertahan di pinggang Nyonya Rarasati, seakan takut wanita itu akan menghilang jika ia lepaskan.
Apa aku bermimpi? Damar masih tak percaya.
Aku suka cerita kakak 👍👍👍