NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:290
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 - Michikko - Bagian Kedelapan

#25

Hari masih pagi ketika kami tiba di tanah perkuburan ini. Tak terlihat setitik bayangan orang atau bangunan. Yang ada hanyalah tebaran batu nisan nyaris memenuhi tempat ini. Suara-suara serangga malam masih terdengar, mengiring kabut tipis yang menutupi hampir di segala penjuru. Udara begitu dingin, seakan tak ingin dikalahkan oleh jaket yang kami kenakan. Berulang kali aku menggosok-gosok kedua telapak tanganku sambil menatap ke sekeliling. Yah, kami berada di area pemakaman dengan pohon kamboja sebagai pembatas jalan antara pemakaman tersebut dengan jalanan utama selebar 2 meter ini.

“Kita sudah sampai di TPU Tidar Selatan. Tapi, tak ada apa-apa disini, apakah ada kesalahan petunjuk ?” tanyaku pada Ki Prana.

“Tidak mungkin. Petunjuk yang kutemukan sewaktu berada di dalam sumur tersebut mengarahkanku ke tempat ini,” jawabnya sementara sepasang matanya masih menyapu ke sekeliling, tapi, tak menemukan apa-apa, hanya kabut diantara batu-batu nisan dan daun-daun pohon kamboja.

Aku menarik nafas dalam-dalam, kubiarkan udara dingin berkabut itu berlomba-lomba masuk dan menggelitik lubang hidungku, memenuhi rongga dadaku dan seluruh peredaran darah, denyut nadi dan detak jantung. Segar sekali rasanya, ciri khas udara kota Malang yang kala itu belum dicemari oleh asap kendaraan dan pabrik. Dari jauh aku juga mencium aroma air, tak jauh dari tempat ini tampaknya, ada sebuah sungai. Airnya masih jernih, begitu alami. Kuhembuskan nafasku perlahan, uap tipis keluar dari lubang hidung bercampur dengan kabut.

Tarikan nafas kedua, sama. Hingga akhirnya tarikan nafas ketiga, tercium aroma bunga kamboja bercampur dengan aroma harum yang aneh. Lebih kurang jaraknya dari tempat kami berdiri sekitar 15 meter. Tarikan nafas keempat, aroma itu makin menusuk, “Di depan sana tampaknya ada aroma dupa. Yah, aku percaya dengan indera penciumanku, jaraknya lebih kurang 15 meter dari sini. Kita lanjutkan perjalanan,” ajakku untuk kemudian kembali berjalan dan diikuti oleh Ki Prana bersama yang lain.

Tak lama kemudian, tampak oleh kami puing-puing bangunan tua dan tak terawat. Ilalang dan tanaman merambat yang tumbuh liar dan lebat disana-sini nyaris menutupi bangunan yang terbuat dari bata-bata merah, kayu dan bentuk dan pondasinya sudah tidak utuh lagi. Nyaris ambruk. Dari situlah aroma harum yang aneh itu berasal. Kami bisa membedakan, mana kabut dan mana asap sekalipun bercampur menjadi satu, dan itu adalah asap. Asap yang menebarkan aroma harum yang aneh.

“Tampaknya di dalam sana ada beberapa orang mengadakan ritual aneh,” ujar Miwako, “Ada hawa jahat di dalamnya. Kita harus segera masuk dan melihat apa sebenarnya yang telah terjadi,”

Baru saja Miwako menutup mulutnya, terdengar bunyi ribut-ribut yang semakin lama semakin dekat. Mata kami terbelalak manakala melihat segerombolan burung gagak muncul dari langit dan menuju ke arah kami. Mereka memperdengarkan suara paraunya yang menyakitkan telinga, seakan hendak mengusir kami pergi dari tempat itu.

Buru-buru kami menjatuhkan diri ke rerumputan saat burung-burung gagak itu mendekat. Sesaat kami harus menghadapi situasi yang cukup menegangkan, sekalipun itu hanya beberapa saat, tapi bagi kami seakan berlangsung berjam-jam. Kami merasakan hembusan angin kencang, di sela-sela suara gagak, telinga kami juga mendengar kepakan sayap mereka. Gagak-gagak masuk ke dalam bangunan tua, suara mereka masih sangat menyiksa. Ketika kami melangkah masuk, lagi-lagi kami terbelalak manakala melihat sesosok bayangan wanita berpakaian hitam berdiri menghadap sebuah meja panjang dengan sesosok tubuh wanita tanpa busana terbaring kaku di atasnya. Sebuah boneka wanita diletakkan di atas dadanya.

Sepasang mata Michikko yang sejak tadi menatap ke lantai beralih ke arah boneka tersebut, “Missukko. Ternyata kau ada di tempat ini,” katanya sambil hendak berjalan menghampiri tapi, Miwako meraih tangannya untuk kemudian menarik Michikko ke belakang, “Siapa kau ? Apa yang kau lakukan di tempat ini ?” tanyanya kepada wanita berpakaian hitam tersebut.

Wanita berbaju hitam itu membalikkan badan, pandangan matanya menunjukkan rasa tidak suka dengan kehadiran tamu tak diundang. “Kalian sendiri siapa ? Berani benar mengganggu ritualku,”

Michikko tampaknya mengenali siapa wanita tersebut, “Thalia,” sapanya.

Wanita itu terkejut, ia membuka kerudungnya dan menatap ke arah Michikko, “Kau ... Michikko. Benarkah itu dirimu ?”

Michikko menganggukkan kepala. Sebenarnya ia hendak menghampiri wanita itu tapi, Miwako memegang tangannya kuat-kuat, “Jangan ceroboh, sekalipun ia benar-benar Thalia sahabatmu, tapi, dia bukanlah Thalia yang dulu,”

“Bukankah kau sudah mati ? Mengapa kau mendadak muncul di sini ?” kembali wanita itu bertanya.

“Kakakku telah menghidupkanku lagi, tapi, hanya sementara. Aku hanya menginginkan bonekaku, Missukko,” jawab Michikko.

Wanita paruh baya dan mengenakan pakaian hitam itu berjalan menghampiri Michikko tapi Ki Prana menghadangnya, “Jadi, kaukah yang bernama Thalia, sahabat karib Michikko ?”

“Benar,” sahutnya, “Michikko telah dibantai oleh penduduk dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur. Sejak itu aku merasa kehilangan sahabat satu-satunya. Maka, aku berniat membangkitkannya dari kematian untuk meminta keadilan pada mereka. SMA Tidar I adalah satu-satunya saksi bisu dari kejadian tidak manusiawi itu,”

“Hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengatur. Tahukah kau bahwa caramu itu salah dan membahayakan nyawa orang lain,”

“Semenjak kejadian di SMA Tidar I itu, aku merasa bersalah dan kesepian, sahabatku satu-satunya yang tidak bersalah harus menerima nasib seperti itu. Dihakimi massa tidak dibiarkan membela diri untuk meminta keadilan,” jelas wanita yang dipanggil dengan nama Thalia itu, “Maka dari itu, aku berjanji hendak menghidupkan kembali Michikko sekalipun harus menyalahi kodrat,”

Pernyataan yang terlontar dari mulut wanita itu membuat Miwako dan yang lain merasa iba. Miwako melangkah mendekat lalu berkata, “Terima kasih atas kebaikanmu. Tapi, apakah kau berhasil membangkitkannya ?”

Thalia menggelengkan kepala, “Tidak berhasil. Sekalipun berhasil Michikko yang kubangkitkan bukanlah Michikko yang kukenal dulu. Liar dan tak terkendali bahkan lebih brutal dari saat ia masih hidup. Aku tidak akan menyerah sampai Michikko benar-benar kembali seperti dulu. Tapi, siapa nyana kini dia datang kepadaku dan bercakap-cakap lagi denganku,”

“Kembalikan Missukko padaku Thalia, aku memerlukannya,” pinta Michikko. Sikapnya ini membuat Thalia tidak senang, “Jadi, kau kesini hanya untuk bonekamu ? Bukan untuk mengunjungiku ?! Aku tidak terima kau perlakukan seperti ini ! Selama ini aku bersusah payah untuk mengembalikanmu di sisiku, berharap bisa selamanya, tapi, kau hanya memikirkan bonekamu. Aku tidak terima !” kata-kata yang terlontar dari bibir Thalia disuarakan dengan nada penuh kemarahan, “Kini jawablah pertanyaanku dengan jujur ... di matamu aku ini kau anggap sebagai apa ? Apakah Missukko lebih berharga daripada aku ?”

Michikko tak menjawab dan itu membuat Thalia murka, “Baiklah kalau begitu, boneka bernama Missukko itu tidak akan kukembalikan, dialah yang menyuruhku membangkitkanmu, dialah yang mengajariku berbagai hal ...”

“Kendalikan dirimu, Thalia !! Kalau kau tak mengembalikan Missukko, tak bisa dibayangkan kalau Michikko mengamuk,” aku memotong ucapan Thalia dan hendak berlari menghampiri Missukko, tapi, aku merasa tubuhku seperti didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata. Aku jatuh terbanting, sakit memang. Tapi, demi untuk mengembalikan Michikko ke asal dan menyelamatkan diriku dari kutukan karakter Michikko yang jahat, aku segera bangkit. Aku menatap tajam ke arah Thalia yang kini tertawa mengerikan.

“Kau, bukanlah sosok Thalia yang kukenal dulu. Kau sudah berubah Thalia,” ujar Michikko sedih, “Thalia... kumohon, kembalikan Missukko padaku. Jangan sampai kau berubah hanya gara-gara amarahmu,”

“Aku tetap tidak akan mengembalikannya,” ujar Thalia lalu perlahan-lahan membuka mulutnya, terdengar suara mendesis-desis mirip ular. Mendadak wajahnya menegang, ia memegangi perutnya sambil berteriak-teriak kesakitan. Kulihat perutnya bergerak naik turun seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya, benda itu terus bergerak naik menuju ke ulu hati, rongga dada dan tenggorokan.

Thalia tampak kesakitan sekali, matanya terbelalak lebar seakan biji matanya hendak keluar, jari jarinya memegangi tenggorokan dan sebuah pemandangan mengerikan yang sama sekali tidak pernah kulihat terjadi. Saat wanita itu berteriak kesakitan, dari bibir atas dan bibir bawah keluar jari-jemari berwarna putih pucat, jari jemari yang hanya tulang dibungkus kulit. “Hoekh !” Thalia memuntahkan darah merah kehitaman, kini jari jemari itu bergerak membuka mulut Thalia semakin lama semakin lebar. Sesosok kepala dibalut dengan darah merah kehitaman keluar diantara jari jemari tersebut. Thalia ambruk dan makhluk aneh keluar melalui mulutnya.

Makhluk itu cukup mengerikan memiliki kepala yang besar dan berambut jarang. Sepasang matanya kecil berwarna hijau, tak ada tulang hidung dan tulang bibir. Lehernya kurus agak panjang sementara badannya lebih mirip seperti badan anak-anak tapi jangkung. Tak ada daging hanya tulang dibungkus dengan kulit berwarna coklat kehitaman. Ia membuka mulutnya dan memperdengarkan suara serak dan parau mengharuskan kami menutup kedua belah telinganya.

“Astaga, makhluk apakah itu ?” seruku tertahan.

“Dia adalah makhluk yang oleh penduduk Jepang disebut HARIHARA. Pembawa malapetaka bagi dunia,” sahut Miwako, “Gambaran dari berbagai macam perasaan seperti : iri hati, ambisius, egois, dengki, cemburu dan sombong, ibu sering menghadapi makhluk-makhluk seperti ini sekalipun wujudnya berbeda-beda. Aku harus menghadapinya sementara kalian, temukan cara agar Missukko bisa kalian bawa pergi,” katanya sambil menghadang makhluk itu saat menyerang ke arah Michikko.

“Ini bukan daerahmu ! Pergi sekarang atau aku akan menghancurkanmu,” seru Miwako. “GGRRAAHHH !!!’ terdengar raungan keras yang memekakkan telinga. Gadis Jepang itu tidak banyak bicara lagi, ia menyambut serangan ganas makhluk itu dengan tenang. Pertahanan yang kokoh dari Miwako, sama sekali tidak bisa ditembus.

Semakin kuat makhluk itu menyerang maka semakin kuat pula pertahanan Miwako, tapi, itu cukup menguras tenaga yang dimiliki olehnya. Hingga akhirnya makhluk itu berhasil menjebol pertahanan Miwako. Kuku-kukunya yang tajam berhasil menyambar pundak kanan Miwako, darah segar muncrat memercik ke wajah makhluk itu. Makhluk itu tampak senang sekali, selain berhasil melukai Miwako, juga percikan darah gadis itu membuatnya makin beringas.

Hari masih pagi ketika kami tiba di tanah perkuburan ini. Tak terlihat setitik bayangan orang atau bangunan. Yang ada hanyalah tebaran batu nisan nyaris memenuhi tempat ini. Suara-suara serangga malam masih terdengar, mengiring kabut tipis yang menutupi hampir di segala penjuru. Udara begitu dingin, seakan tak ingin dikalahkan oleh jaket yang kami kenakan. Berulang kali aku menggosok-gosok kedua telapak tanganku sambil menatap ke sekeliling. Yah, kami berada di area pemakaman dengan pohon kamboja sebagai pembatas jalan antara pemakaman tersebut dengan jalanan utama selebar 2 meter ini.

“Kita sudah sampai di TPU Tidar Selatan. Tapi, tak ada apa-apa disini, apakah ada kesalahan petunjuk ?” tanyaku pada Ki Prana.

“Tidak mungkin. Petunjuk yang kutemukan sewaktu berada di dalam sumur tersebut mengarahkanku ke tempat ini,” jawabnya sementara sepasang matanya masih menyapu ke sekeliling, tapi, tak menemukan apa-apa, hanya kabut diantara batu-batu nisan dan daun-daun pohon kamboja.

Aku menarik nafas dalam-dalam, kubiarkan udara dingin berkabut itu berlomba-lomba masuk dan menggelitik lubang hidungku, memenuhi rongga dadaku dan seluruh peredaran darah, denyut nadi dan detak jantung. Segar sekali rasanya, ciri khas udara kota Malang yang kala itu belum dicemari oleh asap kendaraan dan pabrik. Dari jauh aku juga mencium aroma air, tak jauh dari tempat ini tampaknya, ada sebuah sungai. Airnya masih jernih, begitu alami. Kuhembuskan nafasku perlahan, uap tipis keluar dari lubang hidung bercampur dengan kabut.

Tarikan nafas kedua, sama. Hingga akhirnya tarikan nafas ketiga, tercium aroma bunga kamboja bercampur dengan aroma harum yang aneh. Lebih kurang jaraknya dari tempat kami berdiri sekitar 15 meter. Tarikan nafas keempat, aroma itu makin menusuk, “Di depan sana tampaknya ada aroma dupa. Yah, aku percaya dengan indera penciumanku, jaraknya lebih kurang 15 meter dari sini. Kita lanjutkan perjalanan,” ajakku untuk kemudian kembali berjalan dan diikuti oleh Ki Prana bersama yang lain.

Tak lama kemudian, tampak oleh kami puing-puing bangunan tua dan tak terawat. Ilalang dan tanaman merambat yang tumbuh liar dan lebat disana-sini nyaris menutupi bangunan yang terbuat dari bata-bata merah, kayu dan bentuk dan pondasinya sudah tidak utuh lagi. Nyaris ambruk. Dari situlah aroma harum yang aneh itu berasal. Kami bisa membedakan, mana kabut dan mana asap sekalipun bercampur menjadi satu, dan itu adalah asap. Asap yang menebarkan aroma harum yang aneh.

“Tampaknya di dalam sana ada beberapa orang mengadakan ritual aneh,” ujar Miwako, “Ada hawa jahat di dalamnya. Kita harus segera masuk dan melihat apa sebenarnya yang telah terjadi,”

Baru saja Miwako menutup mulutnya, terdengar bunyi ribut-ribut yang semakin lama semakin dekat. Mata kami terbelalak manakala melihat segerombolan burung gagak muncul dari langit dan menuju ke arah kami. Mereka memperdengarkan suara paraunya yang menyakitkan telinga, seakan hendak mengusir kami pergi dari tempat itu.

Buru-buru kami menjatuhkan diri ke rerumputan saat burung-burung gagak itu mendekat. Sesaat kami harus menghadapi situasi yang cukup menegangkan, sekalipun itu hanya beberapa saat, tapi bagi kami seakan berlangsung berjam-jam. Kami merasakan hembusan angin kencang, di sela-sela suara gagak, telinga kami juga mendengar kepakan sayap mereka. Gagak-gagak masuk ke dalam bangunan tua, suara mereka masih sangat menyiksa. Ketika kami melangkah masuk, lagi-lagi kami terbelalak manakala melihat sesosok bayangan wanita berpakaian hitam berdiri menghadap sebuah meja panjang dengan sesosok tubuh wanita tanpa busana terbaring kaku di atasnya. Sebuah boneka wanita diletakkan di atas dadanya.

Sepasang mata Michikko yang sejak tadi menatap ke lantai beralih ke arah boneka tersebut, “Missukko. Ternyata kau ada di tempat ini,” katanya sambil hendak berjalan menghampiri tapi, Miwako meraih tangannya untuk kemudian menarik Michikko ke belakang, “Siapa kau ? Apa yang kau lakukan di tempat ini ?” tanyanya kepada wanita berpakaian hitam tersebut.

Wanita berbaju hitam itu membalikkan badan, pandangan matanya menunjukkan rasa tidak suka dengan kehadiran tamu tak diundang. “Kalian sendiri siapa ? Berani benar mengganggu ritualku,”

Michikko tampaknya mengenali siapa wanita tersebut, “Thalia,” sapanya.

Wanita itu terkejut, ia membuka kerudungnya dan menatap ke arah Michikko, “Kau ... Michikko. Benarkah itu dirimu ?”

Michikko menganggukkan kepala. Sebenarnya ia hendak menghampiri wanita itu tapi, Miwako memegang tangannya kuat-kuat, “Jangan ceroboh, sekalipun ia benar-benar Thalia sahabatmu, tapi, dia bukanlah Thalia yang dulu,”

“Bukankah kau sudah mati ? Mengapa kau mendadak muncul di sini ?” kembali wanita itu bertanya.

“Kakakku telah menghidupkanku lagi, tapi, hanya sementara. Aku hanya menginginkan bonekaku, Missukko,” jawab Michikko.

Wanita paruh baya dan mengenakan pakaian hitam itu berjalan menghampiri Michikko tapi Ki Prana menghadangnya, “Jadi, kaukah yang bernama Thalia, sahabat karib Michikko ?”

“Benar,” sahutnya, “Michikko telah dibantai oleh penduduk dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur. Sejak itu aku merasa kehilangan sahabat satu-satunya. Maka, aku berniat membangkitkannya dari kematian untuk meminta keadilan pada mereka. SMA Tidar I adalah satu-satunya saksi bisu dari kejadian tidak manusiawi itu,”

“Hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengatur. Tahukah kau bahwa caramu itu salah dan membahayakan nyawa orang lain,”

“Semenjak kejadian di SMA Tidar I itu, aku merasa bersalah dan kesepian, sahabatku satu-satunya yang tidak bersalah harus menerima nasib seperti itu. Dihakimi massa tidak dibiarkan membela diri untuk meminta keadilan,” jelas wanita yang dipanggil dengan nama Thalia itu, “Maka dari itu, aku berjanji hendak menghidupkan kembali Michikko sekalipun harus menyalahi kodrat,”

Pernyataan yang terlontar dari mulut wanita itu membuat Miwako dan yang lain merasa iba. Miwako melangkah mendekat lalu berkata, “Terima kasih atas kebaikanmu. Tapi, apakah kau berhasil membangkitkannya ?”

Thalia menggelengkan kepala, “Tidak berhasil. Sekalipun berhasil Michikko yang kubangkitkan bukanlah Michikko yang kukenal dulu. Liar dan tak terkendali bahkan lebih brutal dari saat ia masih hidup. Aku tidak akan menyerah sampai Michikko benar-benar kembali seperti dulu. Tapi, siapa nyana kini dia datang kepadaku dan bercakap-cakap lagi denganku,”

“Kembalikan Missukko padaku Thalia, aku memerlukannya,” pinta Michikko. Sikapnya ini membuat Thalia tidak senang, “Jadi, kau kesini hanya untuk bonekamu ? Bukan untuk mengunjungiku ?! Aku tidak terima kau perlakukan seperti ini ! Selama ini aku bersusah payah untuk mengembalikanmu di sisiku, berharap bisa selamanya, tapi, kau hanya memikirkan bonekamu. Aku tidak terima !” kata-kata yang terlontar dari bibir Thalia disuarakan dengan nada penuh kemarahan, “Kini jawablah pertanyaanku dengan jujur ... di matamu aku ini kau anggap sebagai apa ? Apakah Missukko lebih berharga daripada aku ?”

Michikko tak menjawab dan itu membuat Thalia murka, “Baiklah kalau begitu, boneka bernama Missukko itu tidak akan kukembalikan, dialah yang menyuruhku membangkitkanmu, dialah yang mengajariku berbagai hal ...”

“Kendalikan dirimu, Thalia !! Kalau kau tak mengembalikan Missukko, tak bisa dibayangkan kalau Michikko mengamuk,” aku memotong ucapan Thalia dan hendak berlari menghampiri Missukko, tapi, aku merasa tubuhku seperti didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata. Aku jatuh terbanting, sakit memang. Tapi, demi untuk mengembalikan Michikko ke asal dan menyelamatkan diriku dari kutukan karakter Michikko yang jahat, aku segera bangkit. Aku menatap tajam ke arah Thalia yang kini tertawa mengerikan.

“Kau, bukanlah sosok Thalia yang kukenal dulu. Kau sudah berubah Thalia,” ujar Michikko sedih, “Thalia... kumohon, kembalikan Missukko padaku. Jangan sampai kau berubah hanya gara-gara amarahmu,”

“Aku tetap tidak akan mengembalikannya,” ujar Thalia lalu perlahan-lahan membuka mulutnya, terdengar suara mendesis-desis mirip ular. Mendadak wajahnya menegang, ia memegangi perutnya sambil berteriak-teriak kesakitan. Kulihat perutnya bergerak naik turun seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya, benda itu terus bergerak naik menuju ke ulu hati, rongga dada dan tenggorokan.

_____

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!