Ketika cinta dan takdir bertemu, kisah dua hati yang berbeda pun bermula.
Alya gadis sederhana yang selalu menundukkan kepalanya pada kehendak orang tua, mendadak harus menerima perjodohan dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya.
Sementara itu, Raka pria dewasa, penyabar yang terbiasa hidup dengan menuruti pilihan orangtuanya kini menautkan janji suci pada perempuan yang baginya hanyalah orang asing.
Pernikahan tanpa cinta seolah menjadi awal, namun keduanya sepakat untuk menerima dan percaya bahwa takdir tidak pernah keliru. Di balik perbedaan, ada pelajaran tentang pengertian. Di balik keraguan, terselip rasa yang perlahan tumbuh.
Sebab, cinta sejati terkadang bukan tentang siapa yang kita pilih, melainkan siapa yang ditakdirkan untuk kita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dinar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Dibelakang pintu ruang rawat tengah berdiri sosok seorang lelaki remaja yang menuju dewasa, Fahri sejak tadi mendengar ketakutan sang Kakak kepada Raka. Fahri yang membawa sarapan dari rumahz berniat untuk memberikannya, namun saat mendengar obrolan Alya dan Raka berniat tidak ingin mengganggu akhirnya menunggu didepan pintu yang ternyata mendengar ungkapan kesakitan dan ketakutan Alya selama ini yang tidak semua orang ketahui.
Jadi itu alasan Kak Alya selama ini belum menikah? dengan mudahnya aku membandingkan Kak Alya dengan orang lain tanpa memikirkan perasaanya selama ini. Ayah, Ibu, bahkan aku adalah sumber dari rasa sakit dan trauma yang Kak Alya alami.
Selama ini aku terlalu sibuk dan fokus pada sebuah tuntutan bahkan membandingkan pencapaian orang lain dengan Kak Alya, aku bahkan sampai lupa jika Kak Alya adalah seorang perempuan yang memiliki hati cukup lembut.
Ya Tuhan, berapa jahatnya aku yang selama ini membiarkan Kak Alya sendirian menyembuhkan lukanya, menanggung rasa sakitnya seorang diri bahkan menanggung sebuah rasa trauma yang sumbernya bukan dari kesalahannya sendiri.
Aku terlalu berpikir jika Kak Alya terlalu sensitif dalam menyikapi ucapanku, terlalu cengeng bahkan terlihat semuanya baik-baik saja. Ternyata dia hanya terbiasa seorang diri dan menguatkan diri sendiri, sampai lupa bagaimana cara mengeluh dan meminta tolong.
Selama ini aku tumbuh dengan kesempurnaan cinta yang utuh dari Ayah dan Ibu, bahkan rumah yang selalu hangat apapun yang aku butuhkan selalu ada. Ternyata, aku tumbuh dari rumah yang telah hancur karena kehadiran Ibu dan kembali dibangun diatas tanah air mata.
Setelah merasa jika saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk bertemu dengan Alya, Fahri memutuskan untuk pulang dan bertemu dengan Harun dan juga Maya. Banyak hal yang perlu dibahas dan tentu saja memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki.
Ruang keluarga disebuah rumah yang cukup hangat, kini terasa cukup dingin dengan aura yang terpancar. Nafas yang cukup menggebu dari tubuh Fahri membuat suasana semakin tegang, tatapan sayu dari Harun setelah pulang dari rumah peristirahatan terakhir Bina dan tentu saja wajah lesu dari Maya.
" Kenapa tidak ada yang bilang jika Aku dan Ibu adalah sumber sakitnya Kak Alya?". Fahri yang sudah merasa tidak nyaman akhirnya membuka obrolan.
" Maaf Nak..." Dua kalimat Maya yang kini keluar dari mulutnya, tidak ada pembelaan yang bisa dilakukan saat ini.
" Ayah yang salah Fahri, dulu Alya masih kecil saat Ayah dan Ibu melakukan kesalahan".
" Sampai Ibu kandung Kak Alya meninggal? Lalu dengan mudahnya Ayah dan Ibu bersama tanpa memikirkan perasaan Kak Alya yang baru kehilangan Ibunya lalu harus kembali menerima orang baru?".
Suara Fahri bergetar menahan emosi yang kini masih memuncak, tatapan tajamnya kini menusuk relung hati Harun dan Maya.
" Maafkan Ibu Fahri, dulu Ibu sangat egois karena mencintai Ayah dan saat itu Ibu hanya berpikir..."
" Mencintai? berpikir? Kalau ibu punya pikiran sudah pasti tidak akan menghancurkan kehidupan orang lain, apalagi sesana perempuan apakah dengan mudahnya ibu menyakiti perempuan lain hanya karena cinta? Seandainya posisi itu dibalik bagaimana Bu?". Fahri memotong ucapan sang Ibu.
" Ibu memperjuangkan diri sendiri dan juga Aku? Lalu bagaimana dengan Kak Alya Bu? Dia harus menanggung resiko yang bahkan kesalahan yang tidak pernah ia lakukan, anak kecil itu harus tumbuh dengan kehancuran kehilangan Ibunya, dan menerima keegoisan sang Ayah. Lalu, apakah selama ini Kak Alya marah sama kita? Enggak pernah Bu, lalu dimana rasa malu itu Bu?".
Harun hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya, pikirannya masih tentang Bina sang mantan istri yang semalam telah datang kedalam mimpinya. Lalu, pagi tadi sempat datang ke tempat peristirahatan terakhir sang mantan istri membuat hati Harun kini semakin merasa kepalanya kini penuh bahkan berisik.
" Maaf Fahri, Ibu benar-benar menyesal bahkan setiap waktu yang Ibu lewati terasa dengan penuh penyesalan". Maya menundukkan kepalanya dengan suara tangisan yang lirih.
" Rasa penyesalan Ibu tidak akan mengembalikan orang yang telah ibu sakiti untuk kembali hidup, bahkan ibu tidak akan bisa mengembalikan perasaan Kak Alya".
Suara Fahri kini melemah, ingatannya kembali dipagi hari tadi ketika dengan jelas mendengar semua ungkapan seorang Alya.
" Ibu tahu? betapa dalamnya luka Kak Alya selama ini yang disimpan dengan rapih... Pagi tadi Kak Alya bilang kek Mas Raka kalau dia takut dicintai, takut disayangi, bahkan malu untuk bisa bersanding dan menikah dengan Mas Raka. Dan aku baru sadar itu semua karena trauma yang selama ini Kak Alya terima dari kita semua, dari keegoisan Ibu kita hidup nyaman sedangkan Kak Alya...."
" Ayah yang salah, karena telah tergoda dan meninggalkan rumah yang telah menemaniku sejak awal. Ayah yang telah menghancurkan Alya, bahkan Ayah adalah bukan cinta pertama yang baik untuk Alya". Harun tidak membela Maya karena memang merasa kesalahan ini murni berdua.
" Lalu, kenapa Ayah diem aja selama ini? Membiarkan Kak Alya melewati semuanya sendirian? Kita tanpa beban hidup tertawa bahagia dirumah ini... Ya Tuhan, Aku tidak tahu bagaimana isi otak Ayah dan Ibu".
Fahri mengusap kasar wajahnya dengan air mata yang telah membasahi wajahnya.
" Ayah dan Ibu harus tahu jika kalian berdua telah berhasil menghancurkan jiwa seorang anak perempuan yang tumbuh diatas puing-puing rasa sakit".
" Ayah paham, sekarang tugas kita bantu menyembuhkan luka yang begitu dalam dan untuk selalu ada. Tidak ada gunanya kita marah bahkan saling menyalahkan Fahri".
" Sebentar lagi Kak Alya akan menikah, aku harap dia benar-benar bisa bahagia dengan Mas Raka Yah".