“Papa bukan koruptor, Dewa!” suara Elsa pecah, matanya sembab, tubuhnya masih terkulai lemah di ranjang rumah sakit. “Kau tahu sendiri, Papa tak pernah hidup berlebihan. Semua ini jebakan, aku yakin.” Dewa berdiri di sisi ranjang, jas mahalnya kontras dengan wajah dingin yang nyaris tanpa ekspresi. “Elsa, media sudah memberitakan. Bukti aliran dana itu ada. Aku tidak bisa membela sesuatu yang jelas-jelas mencoreng nama keluarga.” “Jadi kau lebih percaya berita daripada aku?” Elsa menatapnya tak percaya. “Aku baru melahirkan anakmu, Dewa! Anak kita! Bagaimana bisa kau memilih pergi di saat seperti ini?” Dewa menarik napas panjang, suaranya datar, seperti sudah bulat dengan keputusannya. “Aku sudah menandatangani surat cerai. Dan Lily… aku akan membawanya bersamaku. Julia akan membantuku merawatnya.” Air mata Elsa langsung pecah. “Julia? Sahabatku sendiri?” Suaranya bergetar, penuh luka. “Kau… kalian… tega sekali.” Dewa tidak menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, seolah ada sedikit rasa bersalah, lalu melangkah pergi. Suara pintu menutup menjadi tanda perpisahan yang paling menyakitkan. Elsa menjerit, mencoba bangkit, tapi jahitan di perutnya membuatnya tersungkur. Tangannya terulur, seakan masih bisa menggenggam bayinya yang sudah dibawa pergi. “Lily… jangan bawa anakku!” Namun dunia tetap saja kejam. Tidak ada yang berbalik. Tidak ada yang mendengar. Hanya isakannya yang menggema, memenuhi ruangan sunyi yang baru saja ia isi dengan kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Dengan Sang Ayah…
Siang itu udara di ibu kota terasa lengket. Matahari menyengat dari balik awan yang seperti berlapis kabut.
Di halaman rumah keluarga Adam, suara mobil berhenti di depan garasi disusul langkah kaki cepat dan suara belanjaan yang bergesekan.
Sandra baru pulang dari lokasi syuting. Rambutnya masih terurai rapi, tapi wajahnya tampak sedikit lelah. Ia membawa banyak kantong belanja dari butik anak-anak ternama, sebagian dipegang asisten rumah tangga, sebagian lagi ia bawa sendiri.
Di ruang keluarga, Elsa sedang menidurkan Noah di gendongan sambil menepuk pelan punggung bayi itu. Saat melihat Sandra datang, ia segera berdiri dan menyambut.
“Sudah pulang, Bu?” suaranya lembut.
Sandra tersenyum, menaruh sebagian kantong belanja di sofa.
“Iya. Lihat, Noah dapat banyak hadiah hari ini,” ujarnya dengan nada riang, seperti ingin menutupi lelah di matanya.
Elsa ikut tersenyum, menatap kantong-kantong belanja itu yang berisi baju bayi, sepatu kecil, dan boneka mungil.
“Oh ya,” Sandra tiba-tiba meraih satu kantong belanja berwarna krem, lalu menyerahkannya pada Elsa.
“Ini untuk Lily. Kalau nanti kamu bertemu dengannya,” katanya pelan, tapi matanya menatap Elsa dengan arti yang lebih dalam dari sekadar kalimat ringan.
Elsa menatap tas belanja itu lama, lalu menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ia menahan napas, mencoba agar suaranya tidak bergetar.
“Terima kasih, Bu…” suaranya pelan tapi penuh haru.
Untuk sesaat, ia merasa tidak sendirian. Setidaknya ada satu orang yang percaya kalau ia masih punya harapan untuk bertemu putrinya lagi.
Sandra menepuk bahunya lembut. “Kamu boleh libur dulu hari ini. Aku yang akan urus Noah.”
Elsa sempat ragu, tapi akhirnya berkata pelan, “Bu, kalau boleh… saya ingin menjenguk Ayah di lapas.”
Sandra sempat tertegun. Ada keheningan sesaat sebelum akhirnya ia tersenyum hangat.
“Tentu boleh. Aku suruh sopir pribadi antar kamu.”
Elsa cepat-cepat menggeleng. “Tidak usah, Bu. Saya naik bis saja. Jaraknya agak jauh, saya tidak ingin merepotkan.”
Sandra mengernyit cemas. “Kamu yakin? Luka sesar kamu belum lama sembuh, dan tangan kamu juga masih diperban.”
Elsa mengangguk mantap. “Saya yakin, Bu. Saya rindu sekali pada Ayah. Saya ingin membawakan makanan kesukaannya.”
Sandra terdiam beberapa detik, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop tebal.
“Kalau begitu, ini gajimu untuk bulan ini.”
Elsa menatap amplop itu kaget. “Tapi saya baru bekerja beberapa hari, Bu…”
“Sudah, terima saja. Aku tahu kamu pasti butuh,” ujar Sandra lembut tapi tegas.
Elsa menerima amplop itu dengan kedua tangan, wajahnya berseri meski matanya masih lembap. “Terima kasih, Bu Sandra…”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beberapa jam kemudian, matahari sudah mulai condong ke barat. Di terminal kecil pinggiran kota, Elsa melangkah cepat sambil menenteng tas kain berisi ayam bakar dan sambal terasi yang baru ia beli dari pasar. Wajahnya cerah, senyumnya sesekali muncul, mengingat betapa Ayahnya sangat menyukai makanan itu.
Ia tak menyadari bahwa di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari pasar itu. Di dalamnya, Adam duduk di kursi belakang, memandangi sosok perempuan yang baru keluar dari deretan kios ayam.
“Sedang apa dia di situ?” gumam Adam tanpa sadar.
Arman, asistennya yang duduk di depan, ikut melirik. “Bu Elsa, Pak?”
Adam tak menjawab langsung. Ia menatap Elsa yang sedang membayar dengan senyum hangat pada pedagang, lalu memasukkan belanjaannya ke dalam tas kain.
“Ikuti dia,” kata Adam akhirnya.
Arman memutar badan, bingung. “Kenapa harus diikuti, Pak?”
Adam menatap lurus ke depan. “Ikuti saja. Tapi jaga jarak.”
Nada suaranya tenang, tapi Arman tahu ada sesuatu yang bergejolak di balik ketenangan itu. Ia tak berani bertanya lebih jauh.
Mereka pun mengikuti Elsa dari belakang. Elsa berjalan kaki ke halte, menunggu sebentar, lalu naik angkot. Adam mengamati dari balik kaca mobil, melihat bagaimana gadis itu tampak biasa saja, tidak mencolok, tapi ada kesederhanaan yang justru menonjol.
Setelah turun dari angkot, Elsa naik bus antarkota. Adam meminta Arman tetap menjaga jarak, tapi tidak kehilangan jejak. Bus melaju keluar dari kota, melewati kawasan industri, kemudian memasuki jalur berliku yang diapit kebun dan gudang kosong. Sekitar dua jam perjalanan, bus berhenti di depan gapura bertuliskan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I.
Arman menoleh ke belakang. “Pak… dia mau ke lapas? Kalau ada yang melihat Bapak di sekitar sini, nanti bisa muncul spekulasi macam-macam.”
Adam menatap ke depan, suaranya tenang tapi tegas. “Saya tidak akan turun. Parkir agak jauh saja. Saya hanya ingin memastikan sesuatu.”
Arman mengangguk pasrah. Mobil berhenti di bawah pohon besar sekitar seratus meter dari gerbang lapas. Dari situ, Adam bisa melihat Elsa berjalan perlahan ke arah pos penjagaan, membawa tas kecil.
********
Di gerbang lapas, Elsa diperiksa oleh dua petugas perempuan.
“Tujuan kunjungan?” tanya salah satunya dengan nada sopan tapi kaku.
“Saya ingin menjenguk ayah saya, Hadi Wirawan,” jawab Elsa lembut.
Kedua petugas itu saling pandang. Salah satunya menatap Elsa dari atas ke bawah, mungkin mengenali nama itu dari berita. “Oh… silakan isi formulir ini dulu.”
Elsa mengisi dengan tangan kiri karena jemarinya yang kanan masih dibalut perban. Setelah itu, ia menyerahkan KTP sementara yang ia miliki. Petugas memeriksa isi tasnya, ayam bakar, sambal, nasi bungkus, dan sebotol air mineral.
“Tidak ada barang terlarang. Silakan tunggu di ruang tamu,” kata petugas itu akhirnya.
Elsa mengangguk dan melangkah masuk. Saat melewati koridor besi panjang, hawa dingin menyeruak. Bau sabun antiseptik dan karat memenuhi udara. Setiap langkah kakinya terasa berat. Ia menatap jeruji-jeruji besi di kiri kanan, mendengar suara pintu sel yang berderit dan percakapan samar para napi.
Tubuhnya merinding. Ini dunia yang belum pernah ia bayangkan akan ia datangi.
****
Di ruang tunggu, Elsa duduk di kursi panjang berlapis vinil hijau yang sudah mengelupas di beberapa bagian. Waktu seolah berjalan lambat. Ia menggenggam erat ujung tasnya, jantungnya berdebar keras.
Pintu besi terbuka. Seorang petugas pria masuk sambil menuntun seorang tahanan. Rambutnya memutih, tubuhnya kurus, dan kacamata di wajahnya tampak retak. Tapi begitu melihatnya, Elsa langsung tahu, itu Ayahnya.
“Elsa…” suara serak itu menggetarkan udara.
“Ayah…” Elsa berdiri, lalu berlari kecil. Mereka bertemu di balik meja panjang pemisah, hanya bisa berpelukan sebatas jarak yang diizinkan.
Air mata langsung tumpah dari kedua mata itu. Elsa menggenggam tangan ayahnya erat-erat, mencium punggung tangannya yang dingin.
“Bagaimana kabarmu, Nak?” tanya sang ayah dengan suara parau.
“Baik, Ayah. Aku baik-baik saja.”
Ayahnya menggeleng pelan sambil tersenyum getir. “Kamu tidak pernah bisa berbohong pada Ayah. Aku tahu kamu terluka, meski kamu selalu bilang baik-baik saja.”
Elsa menunduk, menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis lagi.
“Ayah tahu semuanya,” lanjut sang ayah. “Tentang Dewa yang menceraikanmu, tentang sahabatmu yang mengkhianati kamu. Tentang anakmu, dan dimana kamu tinggal sekarang…”
Elsa tertegun. “Dari mana Ayah tahu?”
Para petugas lapas memperhatikan sekilas, tapi membiarkan mereka bicara.
“Para petugas di sini baik, mereka sering membaca berita. Dan beberapa relawan yang dulu bekerja di yayasan datang kemari. Mereka cerita tentang kamu, diam-diam mereka mencari keberadaan kamu setelah ayah resmi dipenjara,”
Elsa mengangguk pelan, matanya kembali basah. “Aku melahirkan beberapa hari yang lalu, Yah. Anak perempuan. Cantik sekali. Namanya Lily.”
Senyum kecil muncul di bibir sang ayah, tapi matanya berkaca-kaca. “Anakku sudah jadi seorang ibu…”
Elsa menggigit bibir, air matanya jatuh lagi. “Aku ingin sekali memperlihatkannya pada Ayah. Tapi aku belum bisa.”
“Tidak apa-apa, Nak. Asal kamu yakin, Ayah juga yakin. Suatu hari nanti, kita bertiga akan berkumpul lagi.”
Suara itu bergetar, tapi penuh keyakinan. Elsa mengangguk kuat, menatap ayahnya dengan semangat yang mulai kembali tumbuh.
“Oh iya, aku bawa makanan kesukaan Ayah,” katanya sambil mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Ia menyodorkan ayam bakar itu, tapi gerakannya membuat perban di tangannya terlihat.
Ayahnya memandang tajam. “Tanganmu kenapa?”
Elsa tersenyum cepat. “Ah, tidak apa-apa, Yah. Luka kecil saja waktu motong buah.”
Sang ayah mengangguk, tapi sorot matanya ragu. Elsa tak pernah teledor. Ia tahu pasti ada sesuatu yang disembunyikan anaknya, tapi ia memilih diam.
Petugas di belakang memberi isyarat. “Waktu kunjungan tinggal lima menit.”
Elsa memeluk ayahnya erat-erat, seolah tak mau melepaskan. “Ayah, aku janji akan datang lagi. Aku akan bawa kacamata baru untuk Ayah.”
Ayahnya tersenyum lemah. “Yang penting kamu jaga diri, Nak. Dan jangan pernah menyerah untuk mendapatkan kembali putrimu.”
Pelukan itu pecah dengan berat hati. Elsa menatap ayahnya dibawa pergi, langkahnya gontai, rantai borgol beradu pelan, menciptakan bunyi logam yang menusuk hati.
****
Di luar lapas, langit mulai mendung. Elsa berjalan pelan keluar gerbang, lalu berhenti di trotoar. Ia menjatuhkan tubuhnya berjongkok, kedua tangannya menutup wajah. Tangisnya pecah.
Ia menangis tersedu-sedu, menahan sakit yang menumpuk, rindu, penyesalan, dan perasaan bersalah.
Dari dalam mobil hitam yang terparkir jauh di seberang jalan, Adam melihat semua itu. Elsa tampak kecil dan rapuh di bawah langit kelabu itu.
Dadanya bergemuruh. Ia ingin sekali turun, berjalan menghampiri, menepuk bahu gadis itu, berkata sesuatu yang bisa sedikit menenangkan. Tapi ia tahu, sekali saja orang melihat seorang Menteri bersama putri dari seorang narapidana kasus korupsi, media akan menguliti mereka tanpa ampun.
“Pak,” suara Arman pelan, “lebih baik kita pergi. Nanti kalau ada wartawan… “
Adam tidak menjawab. Ia hanya memandangi Elsa yang masih menangis di pinggir jalan, lalu menatap tangannya yang terkepal di pangkuan. Ada perasaan aneh di dadanya, seperti luka lama yang tersentuh sesuatu yang lembut tapi menyakitkan.
Akhirnya ia berkata lirih, seolah hanya untuk dirinya sendiri, “Perempuan itu terlalu kuat untuk dunia yang sekejam ini.”
Mobil perlahan melaju menjauh, meninggalkan lapas yang tampak dingin di bawah gerimis sore. Tapi pikiran Adam tertinggal di sana, bersama wanita yang sedang menangis di bawah langit abu-abu, dan bersama rasa bersalah yang mulai berubah jadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum ia berani akui, tapi sudah tumbuh subur di dalam dirinya.
(Bersambung)…
tetap semangat berkarya kak ❤️❤️🥰🥰
tetap semangat 👍👍
kagum🤭🤭