NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Perasaan yang Hangat

Motor yang dikendarai Serena baru saja berhenti tepat di depan rumah. Sarah segera turun, membawa kantong belanjaan dari pasar. Belum sempat melepas helm, terdengar suara rengekan dari arah pintu. Dafa berlari keluar rumah dengan wajah cemberut, air matanya mengalir deras, dan bibirnya mengerucut. Sepertinya, dia sangat kesal karena ditinggal ke pasar oleh bundanya.

"Unaaa! Napa Una gak ajak Dapa?" protesnya.

Dengan kedua tangan mungilnya mengepal di samping tubuh, ia mulai menghentakkan kaki secara bergantian—kaki kanan, lalu kiri, lalu kanan lagi. Gerakan itu cepat dan ritmis, seperti ingin menunjukkan betapa besar rasa marah dan kecewanya. 

Melihat itu, Serena segera mengambil alih. Ia mendekat, mengeluarkan dua hadiah kecil dari dalam kantong plastik—sebuah boneka dinosaurus dan bola warna-warni. Mata Dafa langsung berbinar saat melihat mainan itu.

"Nih, Mbak Re beliin mainan buat Dafa," ujar Serena lembut sambil berjongkok di hadapannya.

Tanpa pikir panjang, Dafa menerima mainan dan memeluk mainan yang dibelikan oleh sang kakak dengan erat. Wajah cemberutnya langsung berganti ceria.

"Kamu suka?" tanya Serena.

"Sukaaa banget!"

Sarah segera menyela, "Bilang apa sama Mbak? Dafa, kan, udah dibelikan mainan sama Mbak Re."

Dafa melihat ke arah bundanya, lalu kembali fokus pada Serena. Dia pun berkata dengan suaranya yang menggemaskan, "Makasih, ya, Mbak Le!"

"Sama-sama, Dafa sayang."

Dafa menatap boneka dinosaurusnya penuh antusias, lalu bertanya dengan nada penuh harap, "Mbak Le mau main baleng Dapa juga?"

Serena mengelus kepala bocah itu dengan lembut. "Dafa main sendiri dulu, ya. Nanti Mbak Re temani. Sekarang, Mbak Re mau bantuin Bunda dulu. Dafa kan anak pintar."

Dafa mengangguk cepat. Perhatiannya kini teralihkan sepenuhnya dengan mainan baru itu. Tidak sabar ingin segera memainkannya.

"Iya dong! Dapa ini pintal! Dapa mau main sama dino dulu yaaa!" ujarnya begitu antusias.

Serena tertawa kecil melihat betapa menggemaskan adiknya ini, "Iya, Sayang."

Dafa pun berlari masuk rumah dengan mainan barunya, meninggalkan Serena dan Sarah yang saling tersenyum penuh kelegaan.

Sarah sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dan kini tengah sibuk menyusun belanjaan di meja dapur. Sementara itu, Serena masih berdiri di depan rumah, merapikan kantong-kantong belanja yang tersisa di atas motor. Saat ia hendak berbalik, matanya menangkap sosok Rafa yang sedang mengintip dari balik pintu.

Meski wajahnya tampak cuek, Serena tahu betul bahwa Rafa pasti sedang menanti sesuatu.

"Rafa, ke sini deh," panggil Serena akhirnya.

Rafa sempat pura-pura tak peduli. Ia bersandar pada kusen pintu, memasang wajah datar seolah panggilan itu tak menarik perhatiannya sama sekali. Namun, pada akhirnya, dengan langkah malas yang dibuat-buat, ia pun mendekat. Serena hanya tersenyum kecil melihat tingkah adiknya itu.

Begitu Rafa berdiri tepat di depannya, Serena menyodorkan salah satu kantong belanjaan yang ia bawa.

"Mbak nggak tahu kamu sukanya apa, jadi Mbak cuma beliin ini aja—ada beberapa baju sama sepatu. Coba kamu lihat. Kalau kamu nggak suka, kamu bisa kasih tahu Mbak."

Rafa menerimanya tanpa banyak bicara. Begitu dia mengintip ke dalam, matanya langsung berbinar—isi kantong itu penuh dengan pakaian kasual dan sepatu model terkini. Tapi secepat kilat, Rafa kembali mengubah wajahnya jadi datar lagi. Gengsi di dalam dirinya jauh lebih dominan.

"Ehem. Makasih, Mbak. Ini udah cukup kok. Harusnya Mbak nggak perlu repot-repot gitu," ucapnya, yang Serena terjemahkan sebagai bentuk rasa suka Rafa atas pemberian darinya. Dia tahu kalau Rafa hanya sedang mempertahankan gengsinya sebagai anak muda, tetapi Serena jadi punya ide untuk menjahilinya.

"Kamu nggak suka, ya? Kalau nggak suka, bilang aja. Mbak kasih ke orang lain aja, deh," ujarnya sambil menjulurkan tangan, seolah hendak mengambil kembali kantong yang baru saja diberikan.

Refleks, Rafa menarik kantong itu dan memeluknya erat, seolah sedang melindungi harta karun satu-satunya.

"Lho, siapa bilang aku nggak suka? Mbak kan udah susah payah beliin buat aku. Masa nggak aku terima? Emang Mbak nggak pernah belajar, yaa? Kalau barang yang udah dikasih itu nggak boleh diminta balik!" 

Tanpa menunggu tanggapan, Rafa langsung kabur ke dalam rumah. Serena tertawa pelan melihat tingkah adiknya.

"Semua anak remaja emang gengsian gini, ya? Apa aku juga dulu seperti itu?" gumamnya sambil menggeleng. 

Setelah itu, Serena pun menyusul masuk ke dalam rumah, membawa sisa kantong belanjaan—yang kali ini berisi hadiah kecil untuk ayah dan bundanya. Dia tidak sabar melihat reaksi kedua orang tuanya saat menerima hadiah kecil darinya ini. 

Serena harap, mereka akan menyukainya.

***

Suasana kantor tetap berjalan seperti biasa meski tanpa kehadiran Serena. Siang itu, saat waktu istirahat tiba, Ratih dan Lila pergi ke lantai dua untuk menyantap bekal mereka masing-masing, tepatnya di pantry kantor. Di sana, sudah disediakan meja khusus yang memang diperuntukan bagi para karyawan untuk berkumpul dan makan siang bersama. 

Namun, meja itu lebih sering digunakan oleh para karyawan wanita. Sementara para karyawan pria—seperti Baim dan Dimas—lebih suka makan di luar. Katanya sih, supaya bisa lebih bervariasi, sekaligus cuci mata setelah setengah hari berkutat dengan pekerjaan.

Adhan, kebetulan hari itu sedang tidak makan. Ia memilih pergi ke ruang pribadinya untuk beristirahat sejenak hingga waktu zuhur tiba. Letak ruangannya yang berdekatan dengan pantry membuatnya sempat berpapasan dengan Ratih dan Lila yang tengah makan bersama.

"Mas Adhan, makan, Mas," tawar Lila, sebagai bentuk sopan santun.

"Terima kasih. Saya sedang tidak makan hari ini," jawab Adhan dengan senyum kecil.

"Lagi puasa, ya, Mas?" Lila kembali bertanya, penasaran.

"Bisa dikatakan begitu," sahut Adhan singkat, lalu matanya sekilas melirik ke arah Ratih. "Ratih, bagaimana? Ada kendala selama kamu jaga di depan tanpa Serena?"

Ratih, yang sejak tadi menghentikan makannya, langsung menanggapi dengan sigap. "Alhamdulillah, Mas. Sejauh ini belum ada kendala yang berarti. Saya masih bisa menghandle-nya. Kalau ada masalah, insyaAllah saya akan minta bantuan sama Mbak Lila."

"Baiklah. Kamu nggak perlu sungkan, ya. Kamu juga bisa minta bantuan pada yang lain, seperti Dimas, Baim ... atau pada saya langsung."

"Iya, Mas. Baik, akan saya ingat."

Adhan mengangguk singkat. "Baiklah. Kalian lanjutkan makan, ya. Saya mau istirahat dulu."

"Baik, Mas. Selamat beristirahat," sahut Lila dan Ratih hampir bersamaan.

Adhan melanjutkan langkahnya menuju ruang pribadi yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari pantry. Tanpa ia sadari, sepasang mata beriris cokelat diam-diam mengawasinya. Ratih. Gadis itu menatap punggung Adhan tanpa berkedip, hingga sosok pria itu menghilang di balik pintu.

Setiap kali melihat Adhan, ada debar tak biasa yang selalu Ratih rasakan. Kekagumannya pun semakin bertambah saat mengetahui bahwa Adhan tengah berpuasa hari ini. Tapi ini hari Rabu? Puasa apa yang sedang Adhan jalani? Ratih mencoba menebak-nebak, mungkin puasa Daud, atau puasa sunnah lainnya. Padahal sebenarnya, Adhan hanya sedang malas makan siang saja.

Lila yang sedari tadi memerhatikan gelagat Ratih hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia paham betul perasaan teman barunya itu. Lagi pula, siapa yang tidak tertarik pada sosok Adhan? Masih muda, cerdas dalam berbisnis, tutur katanya lembut, dan sikapnya pun selalu sopan. Lila berani bertaruh, wanita mana pun pasti akan jatuh hati pada pria seperti Adhan.

Kecuali dirinya.

Bukan karena Adhan kurang menarik, tapi karena satu alasan mendasar: Lila menganut keyakinan yang berbeda. Ia seorang Kristen, dan itu cukup untuk menegaskan batas antara dirinya dan Adhan.

Terjebak di antara cinta bersegi itu sangat tidak menyenangkan. Kisah ini begitu rumit, yang mana Ratih menyukai Adhan, tetapi Adhan justru diam-diam menyimpan perasaan pada Serena. Dan Serena ... dia sedang berusaha move on setelah putus dari tunangannya yang toxic.

Kali ini, Lila benar-benar menghela napas—bukan lagi hanya dalam hati. Daripada terus memikirkan drama percintaan orang lain, ia memilih fokus pada makan siangnya yang mulai sisa setengah.

Ratih sempat menoleh, setelah menyadari helaan napas itu. "Mbak, kenapa? Napasnya panjang banget," tanyanya, sedikit heran.

"Nggak apa-apa, cuma capek ngunyah," jawab Lila, berbohong.

Ratih hanya mengangguk, lalu kembali menunduk menyantap makanannya tanpa curiga.

Sementara itu, Adhan melangkah masuk ke ruang pribadinya—ruangan yang sengaja ia desain sesederhana dan senyaman mungkin. Di belakang kursi kerjanya, terdapat sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke jalan raya. 

Ia berjalan pelan ke arah jendela, lalu menarik tirai tipis ke samping. Langit di luar tampak muram. Awan kelabu menggantung berat, seolah mencerminkan isi kepalanya yang mulai dipenuhi kabut. Ia menyandarkan satu tangan pada kusen jendela, menatap jauh ke luar. Hujan memang belum turun, tapi udara sudah terasa lembap—sama seperti menahan sesuatu yang tak terucap.

"Serena ... bagaimana keadaanmu sekarang?" gumamnya pelan.

Sejak kepergian gadis itu beberapa hari lalu, tak ada satu pun kabar yang ia terima. Tidak lewat media sosial, tidak pula melalui status WhatsApp. Kini Adhan benar-benar menyadari bahwa Serena adalah sosok yang tertutup. Ia bukan tipe yang suka membagikan potongan hidupnya ke dunia maya. Dan justru karena itulah, kekhawatiran dalam diri Adhan perlahan tumbuh. Dia tidak bisa tenang, sebelum melihat Serena atau mendengar suaranya.

Ingin sekali rasanya Adhan menyusul Serena ke kampung halamannya. Namun, Adhan tidak bisa melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri. Yang jelas, Serena pasti tidak menginginkan dan menyukai hal tersebut. 

Lebih gawatnya lagi, Serena bisa saja memutuskan untuk berhenti bekerja dengannya. Adhan tidak ingin hal itu sampai terjadi.

Tetapi, bagaimana sekarang? Apa  yang harus dia lakukan?

Ia tahu, dirinya tak bisa bertindak gegabah. Kepergian Serena bukan tanpa alasan—ia pergi untuk memperbaiki hubungan dengan keluarganya, dan yang tak kalah penting, menyembuhkan hatinya yang baru saja retak. Hubungan yang telah lama ia jalin dengan tunangannya kandas begitu saja, meninggalkan luka yang belum sempat benar-benar pulih.

Adhan paham, perjuangannya tidak akan mudah. Ia harus bersabar, menunggu sedikit lebih lama, dan memilih langkah dengan hati-hati. Karena cinta yang tulus, terkadang bukan tentang siapa yang datang lebih dulu, tetapi tentang siapa yang mampu bertahan dan hadir di saat yang tepat.

Angin yang datang bersama mendung menyapu debu-debu di luaran sana, menciptakan suara lirih yang seakan menjadi pertanda bahwa hujan sebentar lagi akan menjatuhkan dirinya ke atas bumi. Ketika Adhan kembali menatap langit—ia mendapati langit seolah sedang memendam tangis.

Di balik keheningan itu, pikirannya dihujam beribu tanda tanya:

Apakah kamu baik-baik saja di sana, Serena?

Kenapa pula, aku merasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat aku genggam?

Ia pun memejamkan mata, membiarkan semua itu mengendap dalam diam. 

Bersambung

Selasa, 26 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!