Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muffin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada apa dengan Tessa?
"Yesss! Rencana gue berhasil!"
Liora bersorak pelan di balik tembok kantin Fakultas Seni. Senyumnya merekah lebar, matanya berbinar puas menyaksikan Tessa dipermalukan—dan lebih dari itu, yang menjatuhkannya justru teman dekatnya sendiri.
"Gue nggak nyangka, justru dia dapet hinaan dari temennya sendiri," ucap Gladis yang berdiri di sebelah kiri Liora, masih terpana dengan kejadian barusan.
Sisil tampak lebih gelisah. Keningnya berkerut tajam.
"Tapi, Li... lo yakin ini aman? Kita bawa-bawa nama Rajata. Gimana kalau dia tau? Terus marah?"
Ia menelan ludah, lalu melanjutkan, "Gimana kalau dia sampai nuntut kita atas pencemaran nama baik?"
Liora hanya mengibaskan tangan dengan santai.
"Amaan... santai aja. Gue yakin nggak akan ada yang tau kita di balik ini."
Ia menyilangkan tangan dan mendengus pelan. "Lagian si Putri itu kelihatan banget obsesinya sama Rajata. Kita tinggal giring opini aja, seolah dia yang nyebarin fitnah. Beres. Kita aman."
"Udah lah, ayok balik. Pertunjukan selesai," ujar Liora santai, sebelum melangkah pergi lebih dulu.
Gladis hanya mengangguk kecil dan segera menyusul, ekspresinya masih puas dengan apa yang mereka lakukan.
Sementara itu, Sisil tak langsung bergerak. Ia menatap punggung Liora yang menjauh, lalu melirik sekilas ke arah kantin yang kini mulai riuh kembali.
Namun akhirnya, dengan langkah pelan, ia ikut berjalan menyusul dua temannya.
Setelah perdebatan panas itu, Tibra dan yang lainnya segera membawa Tessa pergi dari kantin. Diana ikut menyusul, meninggalkan suasana tegang yang belum sepenuhnya reda.
Kini, hanya Raisa dan Putri yang masih berada di tempat.
"Lo nggak seharusnya kayak gitu ke Tessa, Put..." ucap Raisa, suaranya pelan namun sarat dengan kekecewaan.
Ia memang kesal pada Tessa... tapi tidak sampai hati melihat temannya dipermalukan seperti itu.
Putri tidak menanggapi. Ia tetap sibuk dengan somay-nya, santai seolah tak ada yang perlu dipikirkan.
Raisa mengaduk pelan minuman di depannya, tatapannya menerawang.
"Gimana kalau ternyata itu semua cuma fitnah?" bisiknya, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Putri mendongak sebentar, lalu menatap Raisa dingin.
"Kalau lo percaya sama dia, harusnya lo susul aja mereka sana."
Raisa terdiam, ia menunduk, hatinya penuh keraguan. Di satu sisi, Tessa adalah sahabatnya—selalu ada, selalu jujur, atau setidaknya itulah yang ia percaya selama ini.
Tapi di sisi lain... kalau berita itu benar—kalau Tessa memang punya hubungan dengan Rajata yang lebih dari sekadar saudara—Raisa tak yakin hatinya sanggup menerima kenyataan itu.
Suasana hening itu buyar ketika ponsel Putri tiba-tiba berdering. Ia melirik layar sebentar—nama Ayah terpampang jelas.
"Halo?" sapanya.
"Halo, Put... masih di kampus?" suara Pak Herman terdengar dari seberang, terdengar lembut.
"Baru beres, Ayah. Aya naon?" Meraih gelas es teh nya.
"Ayah lagi di Jakarta, ini sama Ibu. Lagi di depan kos kamu."
Putri hampir tersedak mendengarnya.
"Hah? Ayah ke Jakarta? Kok nggak bilang-bilang?"
"Ayah sama Ibu mau kasih kejutan atuh..." jawab Herman terkekeh.
"Yaudah, Putri pulang sekarang, ya."
Setelah menutup telepon, Putri buru-buru membereskan bukunya, lalu melirik sekilas ke arah Raisa.
"Gue balik dulu. Bokap gue udah nyampe sini."
Raisa hanya mengangguk singkat tanpa menjawab. Raut wajahnya masih terlihat kesal—emosinya belum sepenuhnya reda.
****
Siang itu cukup terik. Beberapa kali Tibra membunyikan klakson keras-keras karena pengendara di depan seenaknya menyerobot jalur.
"Bego, banget orang-orang ini." umpatnya pelan.
Jevan yang duduk di kursi penumpang hanya menggeleng pelan.
"Sabar Bra! lo marah-marah mulu, kaya cewek lagi PMS, tau nggak?!" Gerutu nya kesal.
Sesekali matanya melirik ke spion tengah. Di bangku belakang, Tessa duduk bersama Diana, dalam diam yang tegang.
Suara Diana akhirnya terdengar lirih, namun tajam.
"Lo kenapa nggak cerita dari awal, Tess? Kenapa malah bilang lo sama Rajata itu... saudara?"
Nada bicaranya tenang, tapi jelas menyiratkan kekecewaan. Ia merasa dikhianati—bukan hanya karena Tessa berbohong, tapi karena ia merasa gagal jadi teman yang layak dipercaya.
Tessa menunduk. Matanya tidak berani menatap siapa pun. Tangannya gelisah, menggosok punggung ibu jari tanpa sadar.
"Gue... gue takut kalian bakal marah. Takut kalian menjauh dari gue."
Diana menghela napas pelan. Mencoba mengerti posisi sahabatnya itu.
"Jujur aja, gue kecewa lo bohong, Tess," menggengam tangan Tessa "Tapi kalau lo jelasin dari awal, kita pasti ngerti kok."
Tibra melirik ke spion tengah, mendengus kesal saat teringat kejadian di kantin—bagaimana teman Tessa sendiri justru yang paling keras menghina.
"Yakin ngerti? Buktinya temen lo tadi yang paling kenceng ngehina Tessa," gumamnya sinis.
"Bener banget... siapa sih namanya? Gue tandain tuh orang!" sahut Jevan, ikut kesal.
"Putri. Namanya Putri!" timpal Diana cepat, suaranya terdengar kecewa.
"Gue juga nggak nyangka dia bakal bereaksi kayak gitu. Selama ini dia kelihatan paling kalem."
Tibra menghela napas, lalu membelokkan mobil ke arah kompleks rumah Rajata.
"Gue rasa dia punya obsesi sama Rajata."
Tidak ada jawaban dari Tessa, Ia hanya menunduk, bahunya sedikit merosot. Tangannya sibuk menggaruk punggung ibu jarinya—kebiasaan kecil yang selalu muncul saat ia cemas.
Di kepalanya, suara Putri masih terngiang-ngiang jelas. Kata-kata kasar itu menancap lebih dalam dari yang ia duga. Jujur saja, ia pun tak yakin apakah hubungan mereka masih bisa diperbaiki setelah ini.
Diana yang duduk di sampingnya juga terdiam. Wajahnya mengeras, matanya menatap lurus ke depan. Ia masih berusaha mencerna sikap Putri tadi.
Tak lama kemudian, mobil Tibra berbelok memasuki halaman rumah Rajata. Di depan rumah, sudah tampak Kala dan Aksa yang datang lebih dulu—karena mereka menggunakan motor.
Kala sedang bersandar santai di motornya, sementara Aksa duduk di tangga teras, memainkan ponselnya. Begitu melihat mobil datang, keduanya langsung berdiri.
"Nggak masuk duluan lo?" sahut Tibra sambil menutup pintu mobilnya.
Aksa mengangkat bahu santai, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket.
"Bareng aja lah. Males gue kalau kena amuk Rajata."
Tibra hanya menggeleng pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Tanpa banyak komentar, ia berjalan ke depan dan memencet bel rumah.
Ting-tong.
Di dalam rumah, Renata yang sedang duduk di ruang tengah mendongak sejenak. Dahinya mengernyit.
"Siapa sih yang bertamu siang-siang begini?" gumamnya sambil berdiri dan melangkah pelan ke arah pintu.
Bel rumah kembali berbunyi.
"Iyaa, sebentaaar!" gerutunya, terdengar agak kesal.
Begitu pintu dibuka, Renata sedikit terkejut melihat beberapa teman Rajata dan—Tessa—berdiri di ambang pintu.
Matanya langsung menangkap keberadaan Tessa di antara mereka, membuatnya sedikit bingung.
Kenapa Tessa bisa bareng temen-temennya Rajata? batinnya curiga.
"Siang, Tante," sapa Tibra sopan, sambil menjabat tangan Renata.
Sapaan itu diikuti oleh teman-teman lain, kecuali Tessa yang hanya menunduk diam.
"Rajata-nya ada, Tan?"
"Ada kok. Masuk aja dulu, yuk."
Renata membuka pintu lebih lebar, memberi jalan. Ia lalu melangkah mendahului mereka.
"Tante panggilkan Rajata sebentar, ya..."
Lalu, sambil menoleh sekilas ke arah dapur, ia menambahkan,
"Hmm, Tessa… bisa tolong siapkan minumnya, ya?"
Nada suaranya terdengar ramah, tapi Tessa tahu persis—senyum di wajah Renata bukanlah senyum tulus.
"Iya, Ma.." jawab Tessa pelan, lalu beranjak menuju dapur tanpa banyak bicara.
Di sisi lain, Herman langsung berdiri dari duduknya begitu melihat sebuah motor memasuki pagar tempat kos.
Matanya menajam, memastikan siapa yang datang.
"Itu dia datang… Buk," ucapnya sambil menoleh ke arah istrinya yang sedang duduk di bangku kecil dekat pintu.
Rifa ikut berdiri, menyipitkan mata menatap ke arah motor yang baru saja berhenti.
Tak lama kemudian, Putri turun dari motor sambil melepas helmnya. Wajahnya masih terlihat kesal dan lelah.
Setelah memarkirkan motornya dengan benar, Putri berjalan mendekat ke arah ayah dan ibunya. Ia menyalami keduanya satu per satu, cepat tapi sopan.
"Lain kali ayah sama ibu, kalau mau datang," ucapnya, setengah mengeluh.
"Namanya juga kejutan, Put," jawab Pak Herman ringan.
"Yaudah, ayok masuk dulu," ajak Putri, melangkah lebih dulu ke arah pintu kosnya.
Herman melangkah masuk perlahan, diikuti Rifa di belakangnya. Sesekali matanya melirik punggung anaknya yang berjalan lebih dulu.
"Lagian, Ayah ke sini juga mau tanya sesuatu…" ucapnya tenang.
"Soal temen kamu—yang kita lihat di pasar waktu itu."
Saat tangannya masih sibuk merogoh tas, Putri menoleh cepat ke arah ayahnya, sorot matanya berubah tajam.
Matanya menyipit, penuh kecurigaan—ekspresi yang jarang muncul di wajahnya.
“Ayah ngapain nanya-nanya soal Tessa?”
tanyanya dengan nada yang lebih menyerang daripada bertanya.
Makasih buat kamu yang udah baca sampai akhir bab ini! 🤍
Ada yang bisa nebak, gimana Reaksi Rajata pas tau berita ini???
Dan apa sebenarnya yang mau Herman tau tentang Tessa?
Kita ketemu di bab selanjutnya—dan pastikan kamu like dan kasih komen yaaaa biar aku semangat update nya hihi
Stay tuned! 👀✨