[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto
Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?
"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.
"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.
Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Semua hanya bisa terdiam setelah menyaksikan kepergian Revan. Bukan mereka tidak bermaksud untuk menyusulnya, Revan yang seperti tadi akan sangat sulit untuk dibujuk. Ardli hanya bisa menghela nafasnya, dia bisa melihat bagaimana raut kesedihan yang begitu kentara di wajah sahabatnya.
Hingga dua jam lamanya mereka menunggu, Revan tidak kunjung kembali. Melihat hari yang akan gelap, Raka memutuskan untuk mengantar Devan pulang ke rumah. Ardli dan Kian sudah pamit terlebih dahulu. Menghubungi Revan juga percuma karena anak itu sama sekali tidak mengangkatnya. Baik telepon dari Raka maupun Kian tidak ada satupun yang dijawab panggilannya oleh Revan.
Sepanjang perjalanan pulang pikiran Devan terasa sangat kosong. Beribu penyesalan terngiang-ngiang di dalam otaknya. Dia sendiri ingin segera memperbaikinya tetapi kali ini entah kenapa perasaan egois malah lebih kuat keluar dari dirinya. Devan tidak berniat untuk menghubungi kakak kembarnya itu.
Beberapa menit, akhirnya Raka dan Devan sudah sampai. Devan segera turun dari motor Raka dan memasuki rumahnya. Entah kenapa secara naluri Raka memutuskan untuk ikut masuk ke dalam rumah Devan setelah terlebih dahulu memarkirkan motornya. Melihat itu, Devan tersenyum sedih. Dari ekspresi Devan maka Raka tahu bahwa sampai saat ini Revan memang belum pulang ke rumah.
Raka memutuskan untuk memantau Devan. Dia memastikan agar teman masa kecilnya itu makan dan meminum obatnya. Devan memang melakukannya, tetapi dia hanya makan lebih sedikit dari biasanya. Raka memprotes tetapi Devan tetap dengan ketidakmauannya. Sebelum pamit pulang, Raka terlebih dahulu memberitahukan sesuatu agar Devan bisa lebih mengerti.
"Masalah Haris Dev, kalau Revan udah siap dia pasti ngasih tahu lo." Ucap Raka pada akhirnya.
Devan memejamkan matanya kemudian berkata. "Sampai kapan harus nunggu? Gue khawatir sama dia Ka. Apa salah?"
"Sama aja kayak lo Dev, kita juga khawatir sama lo Dev terlebih Revan. Tolong ngertiin dulu keadaan sekarang." Hanya jawaban ini yang bisa diberikan Raka pada pertanyaan Devan.
Devan saat ini terlalu egois untuk mengerti. "Terserah mau kalian Ka."
Raka mengerti dua orang teman kecilnya ini kadang memang memiliki sifat yang sama, yaitu keras kepala. "Kenapa sih lo batu banget Dev?"
"Iya karena gue khawatir! Salah gue ngekhawatirin orang yang cuma gue milikin satu-satunya lagi di dunia ini? Gue gak mau nyesel!" Devan menjawab dengan keras.
Raka mendesah kecewa mendengar jawaban Devan. "Sama aja kayak Revan. Dia juga ngekhawatirin lo bahkan di setiap detiknya Dev! Tapi jujur Dev gue tadi kecewa dengan ucapan lo ke Revan dengan bilang dia denial. Dia cuma pengen kesembuhan lo, kebahagiaan lo adalah kebahagiannya dia. Bukannya dia gak nerima kenyataan, dia bahkan sering nyerita ke gue betapa takutnya dia kalau seandainya itu terjadi. Sekarang gue tanya balik ke lo apa Revan salah buat berharap adek kembarnya, satu-satunya keluarga yang dia punya di dunia ini buat sembuh? Salah Revan buat pengen keinginannya terkabul meski kecil kemungkinannya? Dia gak akan berjuang sekuat ini kalau bukan buat lo Dev! Harusnya lo ngerti Revan nutupin masalahnya sama Haris karena dia gak mau lo kenapa-napa!"
Devan tidak bisa menjawab apa-apa setelah mendengar kalimat panjang Raka.
Raka menghembuskan nafasnya kasar. "Gue pamit Dev. Gue berharap yang terbaik buat kalian."
Meskipun pintu rumah sudah tertutup, Devan masih membatu di tempatnya. Ucapan Raka tadi benar-benar menamparnya. Kalau begitu ini sama saja dengan dirinya yang tidak menghargai semua yang telah dilakukan kakak kembarnya itu? Tapi kenapa seolah dirinya sendiri yang harus selalu dilindungi? Devan juga ingin melindungi Revan. Kenapa semuanya harus seperti ini?
Di sisi lain Revan memang belum pulang ke rumah. Dia sedang berdiam diri di atap sekolah. Memandangi langit malam yang kini bertabur bintang. Meski indah tetapi hatinya malah merasa sedih. Semakin menatapnya semakin menumpuk kesedihan di dalam hatinya.
Revan marah, kesal dan benci dengan semua yang terjadi padanya. Entah mengapa masalah selalu mendatanginya bertubi-tubi. Seakan tidak lelah untuk mampir ke dalam kehidupannya. Tapi dia tidak bisa menyalahkan siapapun tentang ini semua. Mungkin memang inilah kehidupan yang harus dirinya jalani.
Helaan nafas berat terdengar dari Revan. Jika mengingat perkataan Devan tadi membuat perasaannya merasa lebih sesak. Apa benar dia orang yang tidak bisa menerima kenyataan? Revan mendecih, mungkin iya karena ketika orang tua meninggal dulu memang dirinya yang paling lama untuk menerima kejadian tersebut. Berbanding terbalik dengan sang adik kembar. Tapi apakah jika takdir memang memaksanya untuk pergi Devan akan tetap menerimanya? Tidak maukah dia berjuang sedikit dan mengubah takdir itu bersama dengannya? Ataukah Revan yang terlalu egois karena menginginkan sang adik untuk tetap tumbuh bersamanya hingga tua nanti?
Di tengah malam yang harusnya indah itu, Revan dan Devan akhirnya menangis bersama. Ya, kedua anak kembar itu terisak di tempat yang berbeda.
.
.
.
.
.
.
Revan mengerjapkan matanya. Dia menatap sekeliling. Entah sejak kapan dia sudah ada di atas tempat tidur atau lebih tepatnya berada di ruangan UKS sekolah. Sepertinya tadi malam dia ketiduran di atap sekolah dan mungkin seseorang menemukannya lalu membawanya kesini.
Suara pintu terbuka, memunculkan seorang guru yang menghampirinya. Revan mengenalinya, dia adalah bu Sheila. Dengan cepat Revan bangun dan membenarkan tubuhnya. Bu Sheila tersenyum melihat Revan yang sudah bangun. Para guru sempat heboh karena menemukan Revan tertidur di sekolah masih dengan pakaian tampilnya. Tapi untung saja anak itu hanya ketiduran dan tidak terjadi sesuatu yang serius dengan Revan.
Revan mengucapkan terima kasih pada Bu Sheila sekaligus meminta maaf kalau mungkin dia membuat kehebohan di sekolah lagi. Memang sempat heboh tadi namun para guru langsung bisa menangani para siswi itu. Dari arah belakang Bu Sheila dia bisa melihat ada Raka juga berdiri disana. Setelah mengobrol beberapa saat Bu Sheila pergi meninggalkan Revan dan Raka di ruangan UKS.
Raka menyodorkan tas besar pada Revan. Tanpa bertanya Revan sudah tahu bahwa itu tas miliknya. "Thank's Ka."
"Di dalemnya udah ada seragam juga. Lo bisa ganti baju." Raka memberitahukan pada Revan.
Revan mengangguk dan mulai mengganti pakaiannya. "Ok, gue ganti dulu."
"Jorok lo gak mandi dulu." Ejek Raka melihat Revan yang mengganti pakaiannya.
Revan tersenyum. "Halah mandi gak mandi gue tetep ganteng kok."
"Bau kambing tar lo ah!" Terdengar ejekan lagi dari Raka.
Revan menanggapinya dengan senyum. "Mana ada sejarahnya Revano bau. Kalau lo sih pasti sering."
Raka mendelik. "Idih. Idih enak aja. Ngomong-ngomong sunyam-senyum terus lo ah ngeri gue liatnya. Pasti lo lagi punya masalah yang dipendem kalau lagi gini kan?"
"Tau banget gue ya lo Ka." Revan menahan nafasnya sesaat. "Apa gue beneran denial?"
Raka terdiam beberapa saat sebelum menjawab. "Mana ada kayak gituh."
"Tapi Devan bilang gue kayak gituh. Apa mungkin bakal ada gunanya, gue mempertahanin sesuatu kalau sesuatu itu udah gak mau gue pertahankan?" Pertanyaan itu terdengar retoris.
Raka menggeleng cepat. "Semua tergantung dari cara lo menggenggamnya Rev. Ibarat sebuah benda kalaupun benda itu gampang buat lo genggam tapi ketika lo megangnya gak bener otomatis benda itu jatuh dari genggaman lo, tapi kalau pun benda itu susah lo genggam asalkan lo megangnya dengan bener 100% benda itu akan tetep ada di genggaman lo."
"Lo bener Ka. Tumben berfungsi juga otaknya Bang Arjun di lo?" Ini Revan sedang memuji.
Raka menahan kesal, tapi dia sedikit lega karena sahabatnya itu sudah tidak terlalu sedih. "Dah ah gue gak mau kesel, ayo ke kelas bentar lagi masuk."
Raka dan Revan mulai memasuki kelas mereka. Dari sana Revan bisa menangkap kedatangan Devan bersamaan dengan Ardli. Secara diam-diam Revan memperhatikan Devan dengan seksama. Memastikan apakah keadaan Devan baik-baik saja atau tidak.
Tetapi dari apa yang dilihatnya bisa dipastikan Devan baik-baik saja. Sebuah perasaan lega langsung muncul. Revan sempat takut pertengkarannya kemarin berimbas pada kesehatan adik kembarnya itu. Apa yang diucapkan Raka tadi padanya benar, bagaimanapun Revan akan mengenggam Devan sekuat yang dia bisa. Untuk saat ini dia tidak boleh kalah dari emosinya.
Dua mata pelajaran sudah terlewat, suara bel juga berbunyi. Ini artinya suda waktu istirahat bagi semua murid. Ingin segera mengisi perut kosong yang sudah berteriak ingin diisi. Setidaknya itu harapan Ardli namun belum bisa dia kabulkan, karena teman sedari bayinya ini malah termenung di tempat.
"Woy Dev ngelamun aja lo, kesambet tar!" Kesal Ardli yang melihat Devan melamun.
Devan hanya memandang tidak suka pada Ardli. "Sana, sana lo kalau laper pergi aja sendiri noh ke kantin. Temen lagi ada masalah juga, malah ngeributin rasa laper. Dasar temen laknat."
"Oy! Enak aja! Kalau gue laknat, lo apa? Biadab?" Balas Ardli tak kalah kesalnya.
Devan mengambil bukunya dan menggeplak kepala Ardli 'sayang', membuat Ardli seketika mengaduh. "Nah makan tuh bukti kebiadaban gue!"
Ardli mengusap-ngusap kepalanya yang tadi digeplak Devan. Dia akhirnya memilih untuk mendengarkan curhatan sahabatnya itu. "Yaudah, jadi ada masalah apa lo? Revan? Tentang kemarin?"
"Iya." Devan mengangguk cepat. "Gue ngerasa udah ngomong sesuatu yang jahat banget ke Revan, Dli."
Ardli mengerti maksud dari perkataan Devan itu. "Kalau gue jujur, iya Dev lo jahat banget. Gini aja deh, coba lo bayangin kalian tuker posisi. Lo jadi Revan dan Revan jadi lo. Lo setiap hari bakal ngerasa kalau Revan bisa pergi dari lo kapan aja, bakal apa yang lo lakuin?"
"Ya gue akan buat Revan bertahanlah! Gue gak peduli takdir, pokoknya yang gue pengen cuma Revan buat hidup!" Kehilangan Revan? Membayangkannya saja Devan sudah tidak sanggup seperti ini.
Ardli tersenyum. "Berarti sama kayak kondisi Revan saat ini. Dia ngelakuin itu semua karena dia sayang sama lo Dev. Dan satu lagi Dev, soal Haris itu meskipun gue juga gatau masalah mereka apa tapi gue yakin alesan Revan nyuruh lo buat gak deket-deket dia, dan gak nyeritain hal itu semua karena dia sayang banget sama lo. Dia gak mau lo kenapa-napa. Revan emang kadang keterlaluan ampe kebilang keras karena rasa sayangnya ke lo tapi itu semua karena dia pengen banget ngelindungin lo, bikin lo bertahan dan bahagia. Dia sayang banget sama lo Dev. Bahkan gue berpikir apa jadinya kalau dia tanpa lo Dev. Revan itu perasaannya lebih rapuh dari apa yang kita tahu. Tapi karena ada lo Dev, Revan bisa ngatasin kerapuhannya itu."
Devan terdiam beberapa saat mendengar ucapan Ardli. Perasaan bersalah semakin besar pada kakak berbeda dua menitnya itu. "Gue, kurang ajar banget kemarin Dli. Gue gak yakin Revan bakal maafin gue atau nggak. Semalem aja dia gak pulang Dli."
"Revan mana mungkin gak akan maafin lo Dev." Ardli membantah dugaan Devan.
Devan mengernyit bingung. "Kenapa lo yakin banget?"
"Karena tuh orangnya sendiri lagi jalan ke arah meja lo Dev." Ardli membalas dengan senyum dan menunjuk seseorang yang dimaksud itu.
Wajah Devan langsung menengok ke arah yang dimaksud Ardli. Disana Devan bisa melihat seseorang yang persis dengannya berjalan ke arahnya. Ekspresinya memang tetap datar tapi Devan tahu wajah itu tengah berseri. Tidak ada ekspresi luka seperti apa yang dilihatnya kemarin.
Untung saja para siswi di kelas Devan sedang pergi ke kantin, jadi kedatangan Revan tidak membuat kehebohan. Revan berjalan perlahan menuju ke arah Devan. Setelah tiba, tanpa aba-aba Revan langsung memeluk adik kembarnya itu dengan dalam.
Devan sendiri terkejut dengan apa yang dilakukan Revan. Tangan Devan belum membalas pelukan sang kakak. Hati Devan mencelos saat selipan kata maaf terdengar keluar dari mulut Revan. Selalu saja Revan yang berinisiatif dulu meminta maaf meskipun Devan tahu bahwa itu bukanlah salah Revan. Padahal harusnya dirinya yang meminta maaf terlebih dahulu tapi selalu saja Revan yang meminta maaf. Tidak mempedulikan lagi egonya yang benci skinship, Devan langsung membalas pelukan Revan dengan sama eratnya.
Tetapi adegan romantis antar kakak-adik itu hanya berlangsung sebentar. Karena melihat Revan yang memeluk Devan begitu erat, membuat Ardli sedikit merasa ngeri. Ardli dengan segera melepaskan paksa pelukan mereka berdua. Tidak mau kalau sampai sahabag sejak kecilnya membuat dosa besar karena menjadi belok. Biar saja Revan sendiri yang menanggungnya.
Revan menatap Ardli dengan garang. "Ganggu aja lo Dli!"
"Ganggu apaan? Gue cuma nyelamatin temen gue dari keanehan lo Rev." Ardli bergidik ngeri sambil mengatakannya.
Revan membuat wajah menakutkannya. "Mau ikut gue Dli?"
"Ogah! Lo bakal nyiksa gue kalau ikut! Dev tolongin napa?" Ardli mengadu pada Devan.
Devan hanya tersenyum menyaksikannya. "Udah Rev kasian, tar nangis lagi anak orang."
"Selamet lo ada Devan." Ejek Revan pada Ardli. "Dev sekali lagi maafin gue ya, gue emang terlalu tempramen kemarin."
Devan langsung menggeleng. "Gak Rev, semua gue yang salah. Gue udh keterlaluan. Kata-kata gue udah keterlaluan. Sebagai seorang adik gue sama sekali gak bisa ngehargain semua pengorbanan lo Rev. Maafin gue Rev."
"Gue selalu maafin lo Dev." Revan tersenyum. Senyuman yang hanya dia tunjukkan untuk Devan seorang.
Ardli terperangah melihat senyuman Revan. "Kalau lo senyum kayak gituh Rev, sama sekali gak mencerminkan setan tapi malaikat. Coba aja lo senyum kayak gituh terus."
Devan segera menyenggol Ardli. "Cari mati lo Dli hadeh."
"Tadi lo bilang gue mencerminkan apa?" Revan memasang ekspresinya yang sulit ditebak.
Ardli merasa akan terjadi bencana kepada dirinya sendiri. "Se...setan.. Tapi malaikat kok sekarang, malaikat.. ....."
"Hahahahahaha apaan Dli malaikat darimana? Revan malaikat? Iya si Revan emang malaikat, malaikat pencabut nyawa tapi." Entah darimana Kian sudah muncul di depan mereka. Ah dia disuruh Raka untuk menyusul Revan, karena akan ada rapat evaluasi.
Revan masih berusaha menahan emosinya. "Kira-kira nyawa siapa Yan yang mending gue cabut?"
"Nyawa... Anjir Rev! Nyawa siapa aja plis asal jangan nyawa gue!" Kian langsung menyesali perkataannya.
Revan menarik sayang tangan Kian. "Sini lo ikut!"
Ardli memasang pose berdoanya. "Semoga Kian diterima disisi-Nya, Amin."
Devan sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat itu semua.
.
.
.
.
.
.
Revan dan Devan sudah pulang dan berada di rumah kali ini. Devan langsung merebahkan dirinya ke atas sofa. Pelajaran hari ini membuat dirinya amat penat. Iya, penat otak lebih tepatnya karena tiba-tiba saja guru matematika langsung mengadakan ulangan dadakan. Kalau saja Devan mempunyai otak secerdas Revan pasti tidak akan kewalahan seperti tadi.
Revan juga langsung ikut mendudukkan dirinya di sebelah Devan. Entah angin darimana, Devan mendengar Revan menghembuskan nafasnya. Tumben sekali Revan terlihat lelah begini, biasanya Revan itu seperti robot yang tidak tau rasa lelah.
Tunggu, Revan juga manusia sama sepertinya. Jadi wajar kalau akhirnya Revan bisa merasa lelah juga. Sementara Revan dia sama sekali tidak terusik dipandangi sebegitunya oleh Devan. Justru kini Revan malah menatap balik sang adik. Devan yang geli melihat kelakuan Revan langsung memukul-mukul muka Revan menggunakan bantal sofa.
"Dev woy ini aset berharga jangan lo rusak!" Revan memasang mode pertahanannya.
Namun sebaliknya, Devan malah semakin bar-bar setelah mendengar kepedean Revan. "Mana aset berharga? Sini gue rusakin."
"Kejam amat punya adek." Revan cemberut.
Devan memutar bola matanya malas. "Bodo amat, siapa suruh lo natap gue kayak tadi. Ngeri, taubat sono lo! Kalo perlu rukiyah sekalian!"
"Idih, kan lo duluan yang natapin gue Dev. Mandang-mandangin gue dengan dalem." Revan dengan kepercayaan dirinya.
Devan berhenti memukul Revan dengan bantal. "Aneh aja gue ngeliat lo kelelahan. Biasanya juga lo macem robot tanpa ekspresi."
"Durhaka banget punya adek kembar! Kelamaan maen sama Ardli lo. Gue manusia woy manusia, punya jantung juga, iyalah bisa capek bisa lelah." Revan memberi penjelasannya.
"Jantung aja, gak punya hati tapi." Kikik Devan.
Revan tersenyum dengan sangat lepas. "Lo bilang apa Dev?"
"Iya lo manusia juga, manusia. Jadi kenapa lo sampe jadi capek kayak gini?" Melihat sinar bahaya dari Revan, Devan langsung mengalihkan pembicaraan.
Revan langsung jinak dan duduk lebih dekat dengan Devan. "Si Rakambing tuh ngajak rapat tadi, gue kira penderitaan gue bakal beres seudah jadi ketua panitia festival sekolah tapi gue ditunjuk lagi jadi ketua perpisahan sekolah. Kan ada anak kelas dua padahal. Jahat kan dia Dev?"
Revan terus memeluk Devan dengan erat. Devan sendiri dia berusaha melepaskan pelukan kakak kembar abnormalnya itu. "Rev ampun dah yang kakak itu siapa sih? Ya bagus, artinya kerjaan lo bagus makanya mereka ngasih kepercayaan ke lo lagi. Jangan jadi anti sosial terus-terusan. Tapi gak kerasa sebentar lagi kita bakal lulus SMA ya. Berarti udah banyak hal yang kita laluin juga."
"Dan gak cuma sampe lulus SMA aja Dev, kita bakal laluin banyak hal bersama lagi masa seudahnya kan?" Lagi pertanyaan Revan hanya dijawab dengan senyuman oleh Devan.
Devan hanya tersenyum dan malah memberikan pertanyaan. "Jadi lo mau masuk universitas mana Rev?"
"Gak, lo aja yang kuliah. Gue bosen belajar. Haha. Gue mau fokus kerja aja Dev." Revan tertawa palsu.
Devan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Mana mungkin seorang Revano bosen belajar. Rev, gue tau lo ngomong kayak gituh pasti karena gue kan? Biaya pengobatan gue dan kuliah nanti. Kalau kita dua-duanya kuliah, gue tau biayanya gak sedikit. Jadi lo milih buat ngorbanin diri lo sendiri. Lo milih ngorbanin mimpi lo? Gue gak terima Rev. Kali ini biarin gue ngebantu beban lo juga, biarin gue kerja juga Rev. Kan kalau ada dua orang, bebannya jadi berkurang?"
"Gak." Revan berdiri dari duduknya, jawabannya sangat dingin.
Devan tetap berusaha meyakinkan Revan. "Tapi Rev, gue tau lo juga punya mimpi. Salah satu jalan pertamanya lo harus kul.."
"Gue mau kuliah atau nggak itu urusan gue Dev." Revan langsung memotong kalimat Devan. "Gue gak mau kita berantem lagi. Mending sekarang kita ganti baju dan siap-siap makan. Lo juga harus istirahat."
Devan tidak bisa berkata apa-apa lagi jika Revan sudah seperti ini. Dia juga tidak mau kalau harus bertengkar kembali.
Saat makan Devan hanya terus memperhatikan Revan dengan diam. Sebenarnya Devan ingin melanjutkan pembicaraan tadi tetapi dia tahu bahwa saat ini mood Revan sedang tidak baik. Dia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti kemarin. Hanya saja Devan tidak mau sampai Revan membuang semua impiannya hanya untuk dirinya yang mungkin tidak akan mampu bertahan lama.
"Revan itu rapuh, tapi karena ada lo jadi dia mampu nutupinnya."
Tiba-tiba saja ucapan Ardli terngiang di benak Devan. Revan selalu mengatakan bahwa semua impiannya sudah ada pada Devan. Tetapi Devan sendiri tidak mampu untuk menjajikan bisa mewujudkan impiannya. Bagaimana jadinya jika itu terjadi? Memikirkan itu saja sudah membuat perasaan Devan sesesak ini. Revan harus melangkah, dia tidak bisa tertahan bersamanya. Devan akan melakukan cara agar bisa mendukung Revan melangkah ke depan. Setidaknya ini yang harus dia lakukan sebelum waktunya habis.
Melihat Devan yang hanya memainkan makanannya membuat Revan mengernyit bingung. Revan segera menghampiri Devan dan meraba kening adiknya.
"Sakit? Tapi gak demam." Revan sedikit heran, suhu Devan baik-baik saja.
Devan langsung kembali ke alam sadarnya. "Gak kok Rev. Gue lagi mikirin PR matematika aja, belum gue kerjain soalnya."
"Beneran?" Tanya Revan curiga.
Devan mengangguk. "Iya bener. Soalnya susah-susah. Lo tau kan kerja otak gue gimana?"
"Ck. Padahal lo tinggal bilang ke gue. Taro aja ntar PR lo di kamar gue, abis pulang kerja gue kerjain. Sekarang lo makan jangan dimainin terus, kalau nggak tar gue suapin mau?" Tutur Revan panjang lebar.
Devan menggeleng cepat. "Ih ogah disuapin ma lo, mending disuapin Yoona SNSD dah gue."
"Banyak cewek yang pengen gue suapin kok." Revan dengan kenarsisannya.
Devan memasang wajah datar. "Untung gue bukan cewek."
"Ish. Cuma lo yang gak pernah muji gue dengan ikhlas Dev." Revan kembali cemberut.
Devan memutar bola matanya malas. "Gimana reaksinya semua cewek di sekolah kalau liat sikap lo beda 360 derajat kayak gini kalau sama gue ya Rev? Wow niat jahat gue tergelitik buat nyebarin ini sebagai aib lo."
Revan berdecak. "Sebelum lo sebarin udah gue lakban dulu noh mulut lo tuh ya Dev." Revan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali bicara. "Karena cuma sama lo Dev gue bisa jadi diri gue yang sebener-benernya. Orang kita dari orok udah bareng-bareng kan?" Revan mengedipkan sebelah matanya pada Devan.
Devan bergidik ngeri dan hampir saja melemparkan sendoknya ke arah Revan yang sedang absurd. "Hooek. Pengen muntah sumpah. Sono lo siap-siap berangkat tar telat lagi."
"Muntah sih muntah, jangan sampe jadi adek durhaka karena mau lempar gue pake sendok dong. Mau gue bales lempar pake sendok tembok Dev?" Kesal Revan padanya.
Devan menegang, ucapan teman-temannya yang mengatakan Revan itu kejam dan titisan setan harus Devan terima sepertinya. "Gue lempar sendok makan kok lo lempar sendok tembok?! Kejem amat jadi orang! Eh lo bukan orang sih kalau kata Ardli ma Kian."
"Dev gue tuh sayang banget sama lo loh. Cuman gue pengen gampar dikit boleh ga?" Revan tersenyum manis. Teramat manis malah membuat bulu kuduk Devan berdiri.
Devan menghabiskan makanannya dan langsung melarikan diri. "Gue udah selesai makan Rev. Dadah mau istirahat, hati-hati kerjanya. Kasih salam kalau ada pelanggan lo yang cantik datang."
Sesudah memasuki kamarnya ekspresi Devan berubah menjadi sendu. Rasanya Devan ingin menangis dengan kencang, tetapi mengingat Revan masih belum pergi Devan memendamnya walau air matanya tetap saja terjatuh. Devan bukanlah tipikal anak yang cengeng, dia tidak akan pernah menangis sesulit apapun keadaannya.
"Sebagai dokter saya harus jujur, perkembangan kamu malah buruk Dev. Sel kanker kamu udah mulai menyebar. Ini kemungkinan bisa masuk ke tahap stadium selanjutnya. Tapi kita bakal usahain yang terbaik. Saya tahu kamu bukan anak yang gampang nyerah. Bertahan demi Revan kan?"
Ya pada saat itu Devan memeriksakan dirinya sendiri tanpa ditemani Revan karena Revan sibuk menjadi ketua panitia festival sekolah sekaligus MC. Di pertengahan acara Devan merasa tidak enak badan, karena tidak ingin ambruk dan merusak acara Revan, dia memutuskan untuk menemui dokter Ryan di rumah sakit. Dan sebuah kenyataan pahit membenturnya. Dia menangis, memikirkan bagaimana Revan jika harus kehilangannya. Devan menangis karena dia tidak ingin menjadi seseorang yang justru membuat Revan hancur.
Tanpa Devan sadari, ternyata Revan sedari tadi memperhatikannya. Dan tanpa Devan ketahui, sebenarnya Revan juga sudah mendengar berita buruk itu. Revan sudah tau itu ketika dia memeriksakan diri saat sakit, dan kebetulan bertemu dengan dokter Ryan yang baru pulang dari perjalanan luar kotanya. Revan ingin menghampiri Devan dan menenangkannya tapi dia tahu Devan bukanlah seseorang yang suka kesedihannya dilihat orang lain. Sama persis seperti dirinya.
.
.
.
.
.
Revan sedang menjalankan pekerjaan paruh waktunya di *WCD seperti biasa. Semenjak ada Revan, restoran cepat saji itu semakin ramai dengan pengunjung. Terlebih pengunjung wanita setiap harinya terus meningkat. Bahkan ada dari beberapa pengunjung wanita yang datang sekedar untuk mengambil foto Revan.
Berbeda dengan di sekolah, sikap Revan disini lebih hangat. Dengan senang hati Revan selalu tersenyum ramah kepada semua pengunjung. Senyuman yang membuat para pengunjung wanita berteriak heboh. Tidak ada sedikit pun sifat dingin dan arogan yang selalu dia tunjukkan seperti di sekolah.
Semakin malam pengunjung malah semakin ramai. Revan senang karena kehadirannya bisa berdampak positif pada perusahaan. Sekarang datang lagi pengunjung yang lain, salam hangat dan senyuman ramah langsung Revan berikan. Terlihat 3 orang remaja laki-laki seumuran dengannya akan memesan. Namun sesaat Revan melihat siapa pengunjung itu, raut dingin dan pandangan setajam pisaunya langsung dia keluarkan.
"Mau pesan apa?" Dingin dan tanpa ekspresi, tipikal Revan.
Haris mendecih melihat 'keramahan' Revan. "Bukannya melayani pembeli itu harus ramah?"
"Semua pembeli, kecuali lo." Balas Revan dingin.
Levin menatap mengejek Revan. "Jadi seorang Revano jadi kasir dan pelayan yah, wuah martabat yang luar biasa."
"Gue mau jadi apa, bukan urusan lo." Ucap Revan sinis.
Seseorang yang tadi diam ikut bicara. "Sifat tipikal banget si Ice Prince. Kejam dan dingin tapi sayang ada satu lagi sifat tambahannya, pengecut."
"Gue bilang mau pesen apa!" Revan hampir membentak.
Haris menatap sinis Revan. "Sabar bisa kan? Gue mau pesen paket kombo bertiga, puas lo?"
"Oke, ditunggu di meja dan jangan munculin muka lo di hadapan gue, Haris." Revan segera menyiapkan pesenan mereka bertiga.
Revan mengira setelah kelompok manusia yang paling dibencinya itu selesai memesan dan makan di tempat kerjanya mereka langsung pulang. Tapi terkaan Revan ternyata meleset. Mereka sengaja menunggu Revan pulang dari tempat kerjanya. Setidaknya mereka masih mengasihi Revan agar dia tidak kehilangan pekerjaannya.
Revan menghembuskan nafasnya kasar. Dia sama sekali tidak berniat untuk melayani mereka. Namun baru saja Revan melangkah melewati Levin dan Marcel, Haris menghadangnya. Tatapan Haris penuh dengan sirat dendam. Kilatan marah dan kekecewaan jelas terkumpul di dalam matanya. Tanpa berkata apa-apa dia langsung menghampiri Revan.
'BUG'
Revan langsung tersungkur ketika Haris dengan keras memukul wajahnya. Sudut bibir Revan mengeluarkan darah. "Gak gue sangka, saking pengecutnya lo sampe ngirimin kembaran lo buat ngelawan gue waktu pertandingan bola!"
"Apa yang lo tahu tentang Devan?! Darimana lo tahu dia?!" Revan bangkit dan menarik kerah baju Haris.
Haris tersenyum mengejek. "Lo pikir gue bego? Tapi gue mau bilang makasih sama lo, dengan itu gue tau cara buat ngehancurin hidup lo!"
'BUG' Kali ini Revan meninju Haris sama kerasnya. "Berani lo nyentuh adek kembar gue, gue bunuh lo!"
"Lucu denger itu Dev, sementara lo sendiri emang udah jadi pembunuh kan?" Levin memandang Revan sinis.
Revan menggeram. "Kalian cuma ngambil kesimpulan sendiri!"
"Rev, bisa gak lo gak denial? Kalau emang lo bukan pengecut kenapa lo malah melarikan diri dan ngilang? Raka juga, kenapa dia percaya sama lo. Jujur gue masih kecewa, karena lo persahabatan kita yang dulu hancur." Marcel membeberkan sebuah luka lama yang sebenarnya tidak ingin dia ungkapkan.
Haris menghapus darah di sudut bibirnya. "Kalau lo bisa nyentuh adek gua, kenapa gue gak boleh nyentuh adek lo?! Lo pikir karena siapa adek gue masuk rumah sakit dan sekarat?! Lo gak tau hancurnya gue kan?! Dan disaat gue butuh penjelasan dari lo Rev, lo ngilang! Gue benci lo Rev!"0
'DEG' Revan terdiam mendengar kata-kata Haris. Ini bukan salahnya, dia melakukan ini karena memang harus. Ada alasan dibalik ini hanya saja Revan tidak mau menjelaskannya karena tidak ingin semua ini semakin pelik. Haris menarik Revan kembali dan melayangkan pukulannya.
'BUG' "Ini balesan Raka, karena lo temennya lo yang harus tanggung jawab. Marcel, Levin terserah kalian mau apain dia."
Mendengar itu Marcel dan Levin bergerak dan langsung memukuli Revan. Sempat melawan, namun karena dua lawan satu Revan hanya bisa pasrah. Setelah puas, mereka pergi meninggalkan Revan.
.
.
.
.
.
'PRANG'
Suara pecahan gelas terdengar di dalam rumah. Entah kenapa tangannya menjadi sangat lemas sekedar untuk memegang gelas. Devan merasakan dadanya sangat sesak. Ini aneh padahal dia suda meminum obatnya. Kepalanya juga tidak pusing tapi seolah ada rasa sakit yang menjalar di dalam seluruh tubuhnya. Entah mengapa pikirannya langsung pada tertuju pada Revan. Dia merasa sesuatu yang buruk terjadi dengan kakak kembar identiknya itu.
Devan memegang dadanya yang terus merasa sesak sampai suara ketukan pintu terdengar. Devan berusaha untuk berdiri mengerahkan seluruh tenaganya. Tapi tidak berhasil baru saja Devan melewati pintu kamar, tubuhnya bagai jelly dan Devan kehilangan kesadarannya begitu saja.
Ternyata yang mengetuk adalah Kian. Dia datang kesini untuk meminjam catatan pada Revan karena tadi pagi dia malah ketiduran di dalam kelas. Merasa tidak ada respon, Kian memutuskan untuk mencoba membuka pintu. Untung saja tidak terkunci. Disana dia melihat ada pecahan kaca. Takut terjadi sesuatu dengan temannya, Kian melesat masuk ke dalam rumah. Wajahnya langsung terkejut melihat sesuatu.
"Devan!"
Kian tahu bahwa itu adalah Devan setelah melihatnya. Tubuh Devan terasa sangat panas meski Kian tidak merabanya. Dengan segera dia menghubungi Revan.
Revan bersusah payah mengendarai sepeda motornya sambil menahan rasa sakit karena luka-lukanya. Ponselnya berdering, dia sedikit bingung tumben sekali Kian meneleponnya.
"Rev, lo dimana?! Devan pingsan! Badannya panas!"
.
.
.
.
.
To Be Continue..............
Huhu vote dan komentar kalian bikin semangat author makin naik loh. Hihi
Tapi sepertinya udah ada yg bosen ya? :(
Sekali lagi makasih buat yang udah baca dan setia nunggu kelanjutan cerita ini