Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Linda
..."Hasil tidak akan keluar jika tidak ada proses, jadi jangan terburu-buru. Siapa tahu hasil yang kau harapkan lebih dari yang kau pikirkan"...
...•...
...•...
Seperti biasa, suasana sepi yang terdapat banyak siswa-siswi dalam ruangan itu sudah menjadi hal wajar. Karena ini ujian. Ketegangan dan jantung yang sedang berdisko dengan otak yang terus berusaha mencari sebuah jawaban, keringat dingin pun ikut membasahi dahi mereka.
Kali ini bukan main, guru yang menjaga ruangan tersebut sangat garang. Tidak heran, murid yang duduk di depan meja guru tampak kikuk dan tidak leluasa dalam mengerjakan tugas walaupun tidak terjadi apa-apa.
"Saya berikan waktu dua menit lagi, jika belum selesai akan saya ambil tanpa ada pengecualian. Dan jika saya melihat ada yang bertindak curang, akan saya sobek kertasnya dan silakan kerjakan kembali di BK dengan jumlah soal berbeda."
Tidak perlu takut, karena Zea sudah mengerjakannya. Dan tepat saat itu juga, ia sudah meletakkan pulpennya dengan menghela napas lega. Zea sangat beruntung, walaupun semalam terdapat kendala karena bukunya menghilangkan. Tapi Linda sangat murah hati berbagi catatan materi ujian.
Di sisi lain, Arlan juga sudah selesai. Namun laki-laki itu sedang menahan sesuatu dalam dirinya. Ia ingin waktu 2 menit itu berakhir dan meninggalkan ruangan yang menurutnya sesak sekali di dalamnya, seakan-akan saling memperebutkan oksigen.
"Silakan dikumpulkan."
Sontak Arlan langsung membereskan barang-barangnya dan memakai tasnya secara terburu-buru. Ia menyambar kertas ujiannya dan meletakkannya di meja guru dengan secepat kilat. Bukan hanya itu, Arlan juga menyerobot teman-temannya yang akan mengumpulkan juga.
Zea pun heran dengan sikap aneh Arlan yang berubah-ubah. Pertemuan awalnya memang tidak mengenakkan, tapi setelah beberapa hari setelah itu Arlan menjadi berubah kembali, dan sekarang juga berubah. Sikap laki-laki itu terus berubah-ubah tanpa adanya hal yang tidak Zea ketahui.
Berjalan terburu-buru dengan langkah kaki cepat mencapai toilet terdekat. Arlan memegangi hidungnya bukan karena ingus yang akan keluar, melainkan darah seperti biasanya. Saat melihat toilet, tanpa ba-bi-bu ia langsung memasukinya.
Beruntung toilet sedang sepi, tapi anehnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, Arlan merasa aneh. Ia membiarkan darah menetes sebentar dan mendongak untuk menghentikan darah tersebut. Namun beberapa detik kemudian, suara teriakan perempuan tiba-tiba melengking dan masuk dalam pendengarannya.
Arlan juga ikut berteriak saat manik matanya bertemu dengan seorang perempuan yang tiba-tiba masuk dalam toilet. Tidak heran jika perempuan itu berteriak, baru saja masuk sudah mendapati seorang laki-laki di dalam toilet perempuan dengan darah di sekitar bawah hidungnya. Bukankah itu tampak menyeramkan?
"Nggak usah ngagetin bisa nggak sih lo?" kesal Arlan.
Zea langsung memukul bahu Arlan sekeras-kerasnya dengan bertubi-tubi hingga laki-laki itu memohon untuk menghentikannya.
"Lo ngapain di toilet cewek, ha! Cabul lo?" tuduh Zea.
"Apaan si lo? Orang ini toilet cowok juga."
Zea menunjuk rak kecil yang terdapat di sisi wastafel yang terdapat benda-benda kebutuhan perempuan saat datang bulan. Sontak Arlan membulatkan matanya dan menatap Zea tidak percaya. Ia memasuki toilet yang salah, dan jika ada yang tahu dan melaporkannya. Sudah tidak bisa dipungkiri jika ia akan mendapatkan hukuman dari BK tersayang.
"Ini toilet cewek?" tanya Arlan.
"Iya, lo salah tempat."
Arlan mengambil tisu sebanyak-banyaknya dan menutupi hidung serta setengah wajahnya. Setelah itu ia melesat pergi sebelum ada yang mengetahui hal ini selain Zea. Ia memalukan, sangat-sangat memalukan.
Zea melirik sisi wastafel yang tadi Arlan gunakan dan menatapnya bingung. Cairan merah itu darah dari hidung Arlan yang tadi ia lihat?
Laki-laki itu mimisan?
Sementara itu, Arlan terburu-buru untuk mencari tempat sepi. Namun tidak bisa karena keramaian siswa-siswi SMA Alatra yang sedang berhamburan keluar setelah ujian. Ia bingung, apakah harus memegang hidung dengan tisu yang akan berubah merah juga sehingga orang lain dapat melihatnya juga?
Sebuah tarikan yang sangat kuat membuat tubuh Arlan oleng dan mengikuti arah tarikan tersebut. Ia membulatkan matanya saat manik matanya bertemu dengan Linda yang menatapnya dengan sorot mata ingin mengintrogasi.
"Buka tisu lo," titah Linda.
Arlan langsung bernapas lega saat benda putih tersebut tidak lagi menutupi setengah wajahnya. Ia melirik sekitarnya yang sangat amat hening. Tempat yang kotor, banyak debu, majalah, koran, serta buku berserakan dengan kardus-kardus yang tidak terpakai. Apa ini? Gudang?
"Ngapain bawa gua ke gudang? Kayak kagak ada tempat lain," ujar Arlan.
"Mau kemana lagi? Udah tahu lagi ramai-ramainya malah lo berkeliaran dengan keadaan lo kayak gitu. Lo mau orang lain lihat kondisi lo?"
"Hem.... Makasih." Arlan mengelap hidung dan bibirnya yang ikut basah karena darah yang terus-terusan keluar.
Linda merogoh sakunya dan memberikan saputangan untuk Arlan, sementara Arlan menatap tangan Linda yang menyodorkan sebuah kain.
"Apaan?"
Kesal dengan Arlan. Linda langsung mengelap cairan-cairan merah tersebut secara kasar karena kekesalannya dengan laki-laki di depannya. Arlan bahkan sedikit meringis saat bawah hidungnya di usap dengan kasar dan membuatnya sedikit perih.
"Pelan-pelan bisa nggak sih? Cewek kagak ada lembut-lembutnya," cibir Arlan.
"Lo cowok tapi kagak ada pekanya. Dikasih saputangan lo kira buat mandi? Ya, buat lap, lah!"
"Ohh..."
Linda langsung menarik tangan Arlan dan meletakkan saputangan dengan menatap laki-laki itu galak. "Cepetan!"
"Apaan?"
"Bersihin darah lo! Atau gua bunuh lo di tempat ini biar sekalian ada banyak darah dan hal baru dalam sejarah Alatra."
Arlan tersenyum mengejek, dan beberapa saat kemudian tertawa kecil. Cewek dengan badan tinggi, potongan rambut pendek tapi terlihat rapi dengan wajah galak itu membuatnya tertawa. Arlan memasukkan saputangan Linda ke sakunya untuk ia cuci di rumah dan menatap gadis di depannya remeh.
"Kayak lo bisa." Ya, Arlan meremehkan kemampuan sisi gelap Linda di tempat yang bisa dikatakan sangat sesuai untuk membunuh orang.
Gadis itu langsung menjegal Arlan, namun gagal karena Arlan lebih cepat darinya. Linda tidak bisa bergerak, karena posisi Arlan yang membuatnya sulit bergerak. Jika ia bergerak, maka Linda sendiri yang jatuh dalam permainan Arlan yang memang menjebaknya.
"Lepasin gua!" pinta Linda.
"Menurut lo?"
Linda menginjak sepatu Arlan berkali-kali, namun laki-laki itu tidak bergeming sama sekali. Apakah kurang keras? Bukan, tapi karena tenaga Linda yang tidak sebanding dengan Arlan.
Arlan terkekeh dengan sikap Linda dan melepaskan kungkungan tangannya yang seolah-seolah ingin menusuk leher Linda dari belakang, itulah yang membuat Linda tidak bisa bergerak.
"Makasih," kata Arlan lagi.
"Hem..." Linda memperhatikan sekitarnya dan melirik Arlan sekilas. Sejujurnya ia ingin mengucapkan sesuatu, tapi sedikit gengsi untuk mengutarakannya.
"Apa? Kalau ada apa-apa bilang aja, sok-sokan malu-malu padahal ada maunya," kata Arlan.
"Traktir gua, kartu gua diambil Abang gua," jawab Linda, dengan meremas tangannya karena menahan malu.
"Bilang aja kagak ada duit."
"Kalau tahu ya, udah. Jangan diperjelas juga kali, malah bikin malu."
Arlan kembali menertawakan Linda karena sikap gadis tersebut. Ternyata memang ada maunya sejak awal. Dan Linda malu-malu untuk mengatakannya, padahal biasanya ceplas-ceplos jika berbicara.
"Ya, udah. Ayo! Gua traktir sebagai tanda terima kasih." Arlan membuka pintu gudang secara perlahan, takut jika ada yang melihatnya keluar dari gudang bersama dengan Linda dan menjadi topik pembicaraan yang melenceng dari apa yang mereka lakukan.
"Sialan lo, ARLAN!"
Sontak Linda dan Arlan menoleh saat sebuah teriak sangat keras memenuhi pendengarannya. Itu suara Lino, dan laki-laki itu sedang memasang wajah marah dengan jakun yang naik-turun karena menahan amarahnya saat melihat adiknya keluar dari gudang bersama laki-laki.
Lino menarik tangan Linda secara kasar dan menatap Arlan dengan tatapan yang menusuk. "Lo apaan adik gua, ha!"
"Aku nggak ngapa-ngapain, bang. Aku cuman ban-"
"Diam!"
Linda langsung mengatupkan bibirnya saat melihat wajah Lino yang menyeramkan dengan amarah yang meluap-luap.
"Adik lo bantuin gua tadi. Lo tahu sendiri kalau gua mimisan setelah ujian, dan Linda yang bantuin gua cari tempat sepi. Kita nggak ngapa-ngapain kok."
Lino menatap adiknya dengan serius. "Bener?"
Linda langsung mengangguk cepat. "Iya."
"Awas aja lo apa-apain Linda. Hidup lo nggak akan tenang selama ada di pandangan gua," ancam Lino.
"Iya-iya, orang kagak ngapa-ngapain juga," balas Arlan.
"Kamu juga!" Lino menunjuk Linda. "Berdua sama cowok itu nggak boleh, takutnya nanti ada kesalahpahaman dan buat kamu terlibat masalah."
"Iya, maaf."
Lino melepaskan genggaman tangannya di lengan Linda dan melenggang pergi setelah melirik Arlan dengan tatapan tidak mengenakkan.
"Sifatnya nggak jauh beda dari dulu," kata Arlan.
"Sejak kapan dia berubah? Paling cuman ada maunya aja kalau berubah," balas Linda.
Arlan terkekeh mengingat sifat Lino yang sensitif dan sikapnya yang terkadang terlalu random dan membuat orang lain senang. Namun di sisi lain, laki-laki itu memiliki kewaspadaan yang kuat, serta kegigihan dalam menjaga apa yang harus ia jaga.
"Jadi nggak traktirannya?" kata Linda, gadis itu tampak lesu karena kelaparan dan kurang tenaga.
"Iya, setelah itu lo harus langsung balik pulang. Jangan ke perpustakaan tanpa izin ke Abang lo kayak kemarin."
"Iya-iya, santai aja kalau itu," kata Linda.
"Ke mana?" tanya Arlan.
"Tempat biasa aja."
"Oke."
Sampai di gerbang yang sepi. Arlan celingak-celinguk untuk mencari kendaraan yang lewat seperti taksi, namun tidak ada yang lewat. Sampai akhirnya ada sebuah motor berhenti tepat di hadapannya.
Tumben sekali Linda menggunakan motor biasa, biasanya gadis itu akan memakai motor milik Lino yang tinggi dan berat
Linda membuka kaca helmnya dan menatap Arlan yang tengah menatapnya dengan tatapan aneh. "Ayo!"
"Lo boncengin gua?"
"Kenapa? Udah, ayo naik! Pake helmnya." Linda melempar helm ke arah Arlan dan langsung laki-laki itu tangkap.
"Tapi gu-"
"Udah! Ayo! Gua udah laper ini."
Sedikit was-was jika Linda yang mengendarainya, karena gadis itu tidak jauh dari cara laki-laki yang sering kebut-kebutan di jalan. Bahkan jantung Arlan sudah berdetak tidak karuan, padahal Linda baru saja menjalankan motornya.
Mau, tidak mau juga Arlan harus berpegangan di bagian belakang motor. Bisa berabe jika ia berpegang dengan Linda. Apalagi jika Lino tahu perihal ini.
...••••...
...TBC....