KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 23
KETOS ALAY DAN BAD BOY - Cinta Bukan Senjata
Perbedaan cinta dan senjata itu adalah, senjata akan digunakan saat peperangan sedangkan cinta bukan untuk digunakan melainkan dirasakan setiap saat. Jangan pernah menganggapnya hanya sebagai senjata.
"Kenapa semua orang memikirkan Nifa? Huh, belum Silvi, sudah datang Nifa, dasar satu keluarga pengganggu! Gue harus gimana coba merayu Farel biar mau jadi pacar gue? Gue capek harus mengejar-ngejar dia," ucap Desti kesal dengan kenyataan yang baru dia dengar di kantin. Halah, Desti, pengorbananmu sama Hanifa juga enggak sebanding. Ingat Hanifa pernah bantu nyokap lo, lo ada utang budi kali. "Andai gue bisa memiliki Farel, pasti gue sudah bahagia. Farel yang tampan, Farel yang perhatian, Farel yang kaya raya, Farel yang bisa bawa gue ke mana-mana, yang setia, bahkan gue jebak saja dia pun gagal," ucap Desti kesal.
"Apa gue harus jebak lo sekali lagi, bahkan sekarang menjebak lo harus benar-benar gue bius lo," ucap Desti yang sudah enggak habis pikir lagi dengan kehidupannya yang tergila-gila pada Farel.
"Yah ampun, Rel, lo masih cinta banget ya sama gue sampai-sampai lo mikirin gue? Eh, yang mengejar lo malah si cupu! Capek-capek mengurusin si cupu, gue mah ogah sih, Rel, mendingan gue campakkan saja tuh si cupu ke laut daripada gue urusin. Lo tenang saja ya, Rel, gue bakalan santai kok, dan gue enggak bakalan buat si cupu lebih menderita sampai dia enggak bisa gangguin lo," ucap Silvi dalam hatinya dengan senyuman senang. Silvi pun mengejar Farel yang ingin pergi ke kelas, sungguh satu kantin mendengar keributan mereka.
"Rel, lo perhatian banget sih sama gue," ucap Silvi pada Farel, Farel yang mendengarnya melihat ke belakang, ke arah sang pemilik suara.
"Silvi? Lo enggak mengurusin Nifa di sana? Katanya Hanifa lagi sakit," ujar Farel menatap Silvi yang ada di hadapannya sekarang. Silvi memutar bola matanya dengan malas.
"Kalau gue mengurusin dia gue jadi enggak fokus sama sekolah gue dong, lagipula dia alay dan lebay banget sih," ucap Silvi ke Farel.
"Lo jahat banget sih, Sil, lo bilang dia enggak apa-apa? Gue kenal Nifa, dia enggak bakalan enggak sekolah kalau dia enggak sakit parah, dia orangnya memang lebay tapi bukan dengan kesengsaraan atau dalam kesakitan, kalau lo enggak mau jagain dia bilang! Biar gue yang jagain!" ucap Agung pada Silvi. Farel menatap wajah Agung dengan sinis. Rasanya Farel ingin sekali memakan Agung.
"Kalian berdua itu baru kenal Nifa, jadi kalian enggak tahu bagaimana dia aslinya," Agung yang ingin pergi tiba-tiba tangannya dicegat oleh Farel.
"Biar gue yang jagain dia, gue pacarnya, lo enggak ada hak untuk hal itu," ucap Farel pada Agung. Sungguh Farel sangat egois, dia hanya memikirkan dirinya sendiri, dia enggak peduli dengan yang lain.
"Lo itu egois, Rel, lo bilang gue enggak ada hak? Terus Nifa enggak bisa dekat sama teman laki-laki, sedangkan lo dekat sama Desti dan Silvi, apa itu yang dibilang sayang? Bahkan lo sering buat dia nangis dan lo sering buat dia luka, gue tahu kok semuanya, Rel," ucap Agung dengan napas yang menggebu-gebu dan tak habis pikir. Tanpa memperdulikan ucapan Agung, Farel pun pergi meninggalkan mereka. Farel sangat bingung dengan tingkahnya, kenapa tiba-tiba seperti ini. Hatinya ingin sekali berjumpa dengan Nifa dan memeluknya, baru kali ini dia ingin melindungi seorang cewek, bahkan lebih dari dirinya. Entah jimat apa yang diberi Nifa ke Farel, hingga hari ini Farel mengakui bahwa mereka menyandang status pacaran di depan orang. Bahkan Silvi yang baru saja ingin terbang mendengar kata-katanya di kantin, kini rasanya hatinya sedang terbelah dua lalu rapuh. Rasanya Silvi ingin memecahkan kepala Nifa yang selalu mengganggu hidupnya, menurut Silvi, Nifa itu adalah benalu, bahkan dia itu seorang rakyat jelata yang numpang di kehidupan Silvi, sungguh Silvi geram melihat kenyataan ini. Dasar Silvi, enggak tahu diri, busuk lo. Padahal Silvilah yang benalu.
Farel pun izin ke guru untuk pulang terlebih dahulu, wajarlah sekolah milik bokap, jadi apapun alasannya pasti gampang untuk izin dari sekolah. Dalam mobil, dirinya hanya terus mengutuk kebodohannya dan kejahatannya. Selang beberapa waktu akhirnya dia sampai di rumah Hanifa.
"Permisi, permisi, Bu," ucap Farel yang sedang berada di depan pintu rumah Nifa. Dia berharap ada orang yang membuka pintu itu.
"Eh, Den, siapa ya?" tanya Bibi Inun pada pria di hadapannya. Bibi Inun adalah pembantu baru di rumah Hanifa, saat papanya pulang, papanya Hanifa yaitu Naufal menyuruh untuk mencari pembantu baru lagi.
"Gue Farel, temannya Nifa, apa Nifanya ada?" tanya Farel pada Bibi tersebut.
"Maaf, Den, bukannya saya melarang tapi saat ini dia enggak bisa diganggu," ujar Bibi Inun mengerjakan amanah dari Hanifa.
"Bik, Bibi pasti pernah muda, dan Bibi pasti tahu, kalau anak muda yang sesedih apapun itu, tapi kalau dibilang pacarnya datang dia pasti ceria kembali, Bi," ucap Farel pada Bibi tersebut. Farel berharap Bibi tersebut mengerti arti kata-katanya. Dih, memang kamu pacar yang baik sampai yakin benar kalau Hanifa bakalan senang kamu datang?
"Ya sudah deh kalau Den pacarnya, tapi Den tolong hibur dia, soalnya dia dari tadi enggak mau senyum, tidak seperti biasanya," ucap Bibi tersebut memohon.
What? Nifa orang paling ceria, gampang senyum kini dia enggak bisa senyum? Apakah itu nyata? Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Apa yang dia pikirkan sekarang? Hingga membuatnya senyum saja susah. Nifa Nifa.
"Nif, gue boleh masuk enggak?" tanya Farel dengan hati-hati, di depan pintu kamar Hanifa.
"Masuk saja, enggak gue kunci," ucap Nifa dengan suara yang datar.
Suara Nifa sangat biasa mendengar Farel datang, apa dia enggak mengharapkan Farel lagi untuk menjadi pangerannya? Atau karena sakitnya yang parah?
"Nih, Nif, buat lo, lo minum ya, biar lo segar, lo kan suka es krim," ujar Farel menyodorkan es krim ke Nifa, sembari pria itu duduk di sudut paling ujung ranjang Hanifa. Tolol kamu, Rel, sudah tahu orang sakit, malah diberi es krim. Aneh kamu.
"Taruh saja di situ," ucap Nifa dengan sangat datar.
"Lo sakit apa, Nif? Jangan bilang lo malas sekolah?" ujar Farel menebak. Sangat tidak tahu waktu untuk menuduh. Farel memang sih awalnya bertanya dengan bagus, eh ujung-ujung jadi negative thinking, goblok.
"Gue mau tidur, Rel, lo bisa pergi," ucap Nifa pada Farel dengan suaranya sangat lemah.
"Saat ini gue pacar lo, jadi gue sebagai pacar tidak bisa melihat pacarnya lagi sakit," kata-kata Farel membuat jantung Nifa terguncang, ya ampun Nifa, lo lagi sakit gini saja masih bisa baperan. Gumam Nifa dalam hatinya.
"Gue sebagai pacar lo nyuruh lo keluar karena gue mau tidur," ucap Nifa yang pura-pura membuat mukanya datar, padahal hatinya sudah mau meledak-ledak.
"Sekarang gue yang bicara, gue sebagai pacar ingin tidur bareng sama lo," ucap Farel pada Nifa dan Nifa pun enggak bisa bilang apa-apa, dia pun menggenggam tangan Farel.
"Gue pinjam tangan lo untuk tidur ya," ucap Nifa yang mengelus-elus tangannya.
"Baiklah, kita buat bantal ini pembatas kita, dan tangan kita di atas bantal," ucap Farel memberi ide, dan mereka pun tidur satu ranjang, sungguh hati Nifa senang, senyumannya terus terukir di bibir tipisnya. Namun Hanifa menyuruh Farel untuk membuka pintu selebar mungkin, agar tidak ada salah paham. Dan setelah itu Nifa pun tertidur pulas.
"Ternyata lo manis juga ya, Nif, alis yang rapi dan tebal, bola mata yang bulat dan hitam, bibir tipis, hidung mancung, kulit putih, bodi lumayan, hanya saja rambut lo yang dikepang atau lo gulung kaya sanggul gitu, tambah lagi sifat lo yang alay," komentar Farel pada Nifa dalam hatinya, sungguh Farel sedikit mengagumi gadis di depannya. Dia mengecek suhu badannya, yang kelihatan tidak ada tanda demam. Farel sedikit kepo dengan penyakit Nifa. Farel mengelus-elus pipi Nifa dan akhirnya tertidur.
Posisi mereka tidur yaitu, tangan kanan Farel yang ada di bantal menggenggam tangan kiri Nifa yang terletak di bantal pembatas, tangan kiri Farel yang memegang pipi Nifa, dan badannya menghadap ke arah Hanifa, sedangkan Hanifa tidur dengan anggun menghadap atap langit kamarnya itu.