Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Desa Wulan, Wilayah Timur Luoyang – Tengah Malam
Kabut tipis menari di antara pepohonan cemara tua. Di tengah sunyi desa terpencil yang tampak mati, langkah-langkah kuda pelan terdengar menuju sebuah rumah beratap jerami yang hampir roboh.
Mo Yichen, Wei Lian, Yan’er, dan Zhao Jin tiba di depan tempat itu dalam keheningan. Mereka menyamar sebagai pedagang keliling dan pengawal, demi menghindari perhatian dari sisa-sisa loyalis Putra Mahkota atau kaki tangan Selir Yue.
“Ini rumahnya,” kata Zhao Jin sambil menunjuk bangunan usang dengan pagar kayu patah.
Wei Lian mengangguk, “Bersiap. Kita masuk tanpa membuat gaduh.”
—
Di dalam rumah
Selir Yue, yang kini tampak jauh lebih tua dari usianya, tengah duduk di dekat tungku, membakar sesuatu dalam mangkuk tembikar kecil. Asap hitam tipis mengepul ke langit-langit.
Ketika pintu diketuk perlahan, ia menoleh tajam, matanya mencerminkan siaga—dan ketakutan.
Zhao Jin masuk lebih dulu, diikuti Mo Yichen dan Yan’er. Wei Lian masuk paling akhir, dalam balutan jubah hitam, wajah tertutup kain tipis.
Mereka tidak bicara satu kata pun.
Selir Yue mengernyit. “Kalian bukan penduduk sini…”
Wei Lian membuka cadarnya. “Tentu saja tidak.”
Mata Selir Yue membelalak, napasnya tercekat.
“…Wei… Lian?”
Namun yang membuatnya lebih takut adalah ketika Mo Yichen juga membuka cadarnya. Ia langsung gemetar.
“Kaisar… Hanbei…”
Mo Yichen menunduk tipis. “Kami datang bukan untuk menangkapmu… tapi untuk mendengar kebenaran sebelum semuanya terlambat.”
Selir Yue terdiam. Lalu tertawa kecil—tawa pahit bercampur gila.
“Kebenaran… kalian ingin tahu kebenaran, setelah semua ini?”
Wei Lian duduk di hadapannya. “Jawab satu pertanyaanku lebih dulu. Dari mana kau mendapat liontin milik ibuku?”
Selir Yue menunduk. “Itu bukan milik ibumu.”
Wei Lian tertegun.
“Itu milik adikmu… Wei Ruo.”
—
Kilasan Masa Lalu – Di dalam Istana Luoyang, lima belas tahun lalu
Selir Yue berlutut di hadapan seorang wanita cantik yang sangat mirip dengan Wei Lian—namun lebih muda dan licik: Wei Ruo.
“Ayahmu tak pernah tahu ini, tapi kau bukan putri kandung dari Nyonya Wei…”
Wei Ruo membisu.
“Karena… kau anak dari selir rahasia Putra Mahkota lama. Dikirim diam-diam ke keluarga Wei untuk menutupi aib, demi menyelamatkan garis keturunan kekaisaran dari skandal.”
Mata Wei Ruo gemetar. “Kau berbohong…”
“Tidak.” Selir Yue menyodorkan liontin phoenix giok hitam. “Ini warisan darah kaisar. Hanya diberikan pada anak dari garis keturunan langsung.”
—
Kembali ke masa kini
Wei Lian terdiam membeku.
“…Jadi… Wei Ruo… adalah anak dari Putra Mahkota sebelumnya?”
Selir Yue mengangguk.
“Itulah kenapa dia bisa mendekati Putra Mahkota dengan mudah, mengatur segalanya dari dalam istana. Ia ingin kekuasaan—karena merasa itu haknya. Ia tidak peduli kau kakaknya. Bagi dia, kau hanya penghalang.”
Wei Lian menatap api kecil di tungku, lidah apinya menari seperti bayangan masa lalu yang menolak padam.
“Dan kau, Selir Yue… kau membantu semua ini demi apa?”
Selir Yue tertawa kecil.
“Aku hanya ingin bertahan hidup. Tapi aku juga ingin melihat… apakah dua kehidupanmu cukup untuk mengalahkan satu kebenaran.”
Mo Yichen menatap wanita tua itu dalam-dalam.
“Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Menyembunyikan kebenaran demi menyelamatkanmu sendiri?”
Selir Yue mendesah. “Aku tahu hari ini akan tiba. Itulah kenapa aku membakar semua surat dan catatan. Tapi liontin itu… selalu aku simpan. Karena suatu saat, kebenaran tidak bisa ditolak selamanya.”
Wei Lian berdiri.
“Aku tidak akan menangkapmu.”
Mata semua orang membelalak.
“Tapi aku akan membuat dunia tahu… bahwa kebohongan tidak akan memenangi takhta. Dan bahwa keluarga Wei tidak pernah menjual darahnya demi kekuasaan.”
—
Keesokan harinya, Wei Lian dan Mo Yichen kembali ke Hanbei.
Sebelum mereka pergi, Selir Yue duduk sendiri di rumah kayunya, menatap sisa bara di tungku.
“Dia… tidak membunuhku.”
Matanya berkaca.
“Mungkin benar… bukan semua api harus membakar. Ada yang hanya perlu menyala… untuk menerangi kegelapan yang terakhir.”
Bersambung