Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6MENUJU TAKDIR
Angin malam menyusup masuk ke dalam gua, membawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Api unggun sudah padam sejak tengah malam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Banxue terbangun lebih awal dari yang lain. Ia duduk bersandar pada dinding batu yang dingin, matanya menatap kosong ke langit-langit gua yang gelap. Mimpi buruk tadi masih membekas jelas di matanya.
Dalam mimpi itu, ia berdiri seorang diri di tengah danau yang membeku. Bayangannya memantul di atas permukaan es, tapi dari bayangan itu muncullah sosok perempuan berjubah gelap yang tampak identik dengannya. "Tubuhmu... bukan milikmu sendiri. Kau warisan langit, Banxue," ucap sosok itu tanpa menggerakkan bibir. "Tubuh surgawi hanya muncul satu kali setiap seratus tahun. Mereka akan datang mencarimu. Bahkan sahabatmu... bisa jadi pengkhianatmu."
Banxue menggenggam erat lututnya. Ia tidak tahu apa arti mimpi itu sepenuhnya, tapi rasa dingin yang menyelubungi tubuhnya terasa nyata. Saat fajar menyingsing dan satu per satu temannya bangun, Banxue tetap diam, tak membagikan isi mimpinya kepada siapa pun.
Perjalanan pagi itu dilanjutkan menyusuri lembah dan jalur berbatu. Linrue seperti biasa bersenda gurau dengan Wayne, sementara Fengyu berjalan agak terpisah. Namun, sesekali ia menoleh ke arah Banxue yang tampak murung.
Saat mereka melewati tikungan sempit di antara dua tebing, Fengyu melambatkan langkahnya dan berjalan di samping Banxue. "Kau terlihat pucat. Mimpi buruk lagi?"
Banxue hanya menjawab dengan gumaman pendek. Tapi Fengyu menangkap tatapan curiga dalam mata temannya. Seolah Banxue mulai meragukan segalanya, bahkan dirinya sendiri.
Menjelang siang, mereka tiba di sebuah padang rumput luas yang berakhir di depan gerbang kota kecil bernama Yuanting. Kota ini dikenal sebagai tempat para pengembara bertukar kabar dan mencari pekerjaan. Tapi yang lebih menarik perhatian Banxue adalah spanduk besar yang terpasang di depan aula utama kota:
"Penerimaan Murid Baru Sekte Pedang Azura: Hanya yang berhati murni dan tangan teguh yang akan diterima."
Wayne membaca tulisan itu dan menoleh ke Banxue. "Sekte Pedang Azura... namanya sering disebut sebagai penjaga timur. Kau tertarik?"
Fengyu justru terlihat ragu. Tatapan matanya berubah kaku saat melihat simbol sekte itu—dua bilah pedang bersilang di tengah lingkaran cahaya biru. "Sekte ini punya sejarah panjang, tapi... tidak semua hal yang bersinar itu bersih."
Namun Banxue melangkah mendekat tanpa menoleh. "Jika aku ingin melawan kejahatan, aku perlu lebih dari sekadar niat. Aku butuh kekuatan."
Aula pendaftaran penuh sesak oleh ratusan pendekar muda dari berbagai penjuru. Ujian penerimaan hanya akan berlangsung satu hari. Satu kesempatan. Satu pertarungan.
"Kau harus bertarung melawan satu calon lain. Jika kau menang, kau lolos. Jika kalah, kau pulang," jelas seorang tetua bertongkat.
Banxue menunggu gilirannya. Lawannya adalah seorang pemuda tinggi dengan tubuh kekar dan wajah sombong. Namanya adalah Jin Lie, murid dari sekte kecil yang terkenal brutal.
"Seorang gadis? Huh, jangan menangis saat pedangku mencoret pipimu," ejeknya.
Banxue menghunus pedangnya tanpa berkata sepatah kata pun. Pertarungan dimulai. Jin Lie menyerang cepat, tapi Banxue bergerak lebih cepat—kecepatan yang bahkan mengejutkan para pengamat.
Tiga langkah. Satu putaran tubuh. Pedang Banxue berhenti tepat di leher Jin Lie.
"Kau kalah," ucapnya dingin.
Hening. Lalu tepuk tangan dari sisi tribun. Seorang lelaki muda berjubah biru safir mendekat. Dia adalah Liu Shen, murid elit Sekte Pedang Azura.
"Nama yang tak kukenal... tapi gerakanmu seperti langit menusuk bumi. Siapa kau?"
Banxue menatapnya sejenak. "Aku Banxue. Aku datang bukan untuk dikenal, tapi untuk tumbuh."
Liu Shen tertawa kecil. "Kau akan membuat sekte ini lebih menarik. Selamat datang di Pedang Azura."
Di tengah sorak sorai pendaftaran, Fengyu berdiri jauh dari keramaian. Sorot matanya tajam menatap simbol sekte. Lalu perlahan ia menyentuh lengan kirinya, membuka sebagian jubahnya. Tampak bekas luka berbentuk segel gelap... simbol Sekte Iblis.