“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 26
“Dasar anak tak tau diuntung. Sudah dirawat hingga besar, malah hendak mengikuti jejak Si durhaka Sampuraga. Kau itu masih ada hutang bakti dengan kami! Sudah kewajiban mu untuk membayarnya—dengan menanggung biaya hidup kami, terutama biaya hidup semua adik-adikmu!” Pawiro berkacak pinggang, menatap sang putri dengan nyalang.
“Kalian yang terus mendesah setiap malam sampai terus-terusan beranak pinak, kenapa pula aku yang harus menanggung semuanya?!” sinis Arum.
PLAK!
Pawiro menampar Arum dengan amat keras, sampai-sampai tubuh gadis mungil itu terhempas di lantai. Darah segar mengalir di sudut bibir Arum, akan tetapi, Pawiro belum merasa puas. Ia kembali mengangkat tinggi tangannya, hendak mengulang aksinya. Namun—
“Hentikan!”
Suara berat yang menggelegar, seketika membuat pria pecandu judi itu mematung di tempat.
“Siapa dirimu, sampai berani menampar wajah perempuan kesayangan Juragan?!” teriak Mbah Darsih, yang muncul entah dari mana—suara dan langkahnya membelah udara seperti cambuk petir.
Pawiro sontak menoleh, ekspresinya campuran terkejut dan murka. Ia menilik penampilan Mbah Darsih dengan amat remeh. Kemudian ia langsung berkacak pinggang, dagunya terangkat tinggi.
“Aku?” ujung telunjuknya menghujam ke dadanya sendiri. “Aku ini bapak dari Sekar Arum—gundik Juragan yang kau layani kini! Aku orang tuanya, ya termasuk majikanmu juga! Butakah kau, Babu tua? Tak kenalkah kau pada majikanmu sendiri?!”
Mbah Darsih melangkah perlahan, senyuman sinis mengembang di bibir keriputnya.
“Orang tua?” ulangnya dengan nada mencemooh. “Maaf, Tuan—yang bahkan namanya tak penting untuk diingat. Di rumah besar ini, seorang gadis yang telah menjadi gundik Juragan, sudah pasti tak lagi memiliki orang tua. Karena orang tua sejati, tak akan pernah menjual darah dagingnya sendiri demi menutup hutang!”
Setelah berkata demikian, Mbah Darsih langsung menarik lengan Arum, menggiring gadis itu perlahan ke belakang tubuhnya. Sekilas, tatapan Mbah Darsih mengabur—seperti dibungkus kabut masa lalu. Entah kenapa, ia seperti sedang melihat penderitaan dari keponakannya sendiri—yakni Larasmi.
“Hey, Babu Tua Renta! Sebaiknya ... jaga ucapanmu. Jangan ikut campur kalau tidak tau apa-apa!” Pawiro berjalan mendekat, ia tak terima dengan perkataan Mbah Darsih.
Namun, tatapan tajam Arum membuat langkahnya melambat perlahan.
“Sudah puas, Pak?” bisik Arum pelan. “Pasti Bapak sangat merasa gagah setelah menampar anak perempuan—yang baru saja Bapak keruk habis-habisan.”
Ia menyeka sudut bibirnya dengan punggung tangan, lalu mendekat perlahan—langkah demi langkah, seperti predator mendekati mangsa.
“Belajarlah menjadi orang tua yang sesungguhnya, Pak,” lanjutnya dingin. “Bukan hanya pandai membuat anak, tapi juga tau cara bertanggung jawab di dunia hingga di akhirat.”
Arum menatap lurus ke mata Pawiro, senyumnya samar namun tajam. “Terima kasih untuk tamparannya. Kini aku benar-benar yakin, keputusan untuk tidak lagi menoleh ke arah kalian—adalah keputusan yang tepat. Sekarang ... ambillah uang itu, lalu pergi. Sebelum aku berubah pikiran, sebelum kalian tak mendapatkan sepeserpun dan berujung mati kelaparan.”
Pawiro mendengus tajam mendengar ancaman itu, dengan geram—ia menarik kasar lengan Sarinem yang masih gemetar. “Ayo, Nem. Kita pergi dari rumah anak durhaka ini. Nggak ada gunanya!”
Sarinem masih sempat melirik putrinya—ingin berkata sesuatu, tapi berujung tak sanggup mengatakan apapun.
Mereka pun pergi, meninggalkan Arum dan Mbah Darsih.
Arum berdiri kaku, mengusap pipinya yang masih memerah. Kemudian, ia berjalan ke arah jendela, membuka tirai, dan menatap langit. Air matanya tak menetes sedikitpun, meski hatinya masih dirundung pilu.
“Apa aku terlihat sangat jahat, Mbah?” lirih Arum, nyaris tak terdengar.
Mbah Darsih melangkah pelan, lalu menyentuh lembut punggung Arum.
“Bukan jahat, Nak Arum. Tapi ... lelah,” sahutnya lirih. “Lelah karena terlalu lama dihantam dari semua arah.”
Air mata Arum akhirnya tumpah. Ia menangis tanpa suara. Mbah Darsih menepuk pelan pundaknya, berusaha memberikan ketenangan. Meskipun akhirnya wanita tua itu meninggalkan Arum sendirian—memberinya ruang untuk bertenang.
Namun, baik Arum maupun Mbah Darsih—sedari tadi tak menyadari satu hal. Di balik cermin tua dengan bingkai kayu jati yang menggantung tenang di dinding, satu sosok tengah mengamati mereka.
Sosok Larasmi—dalam balutan kebaya kelam dan rambut panjang menjuntai basah, berdiri di balik cermin, tak berkedip. Matanya yang hitam legam menatap wajah Arum dengan nyala yang sulit diartikan—antara iba, murka, dan obsesi yang tak selesai.
Detik selanjutnya, suara Larasmi perlahan menggema di indera pendengar.
“Arum ... izinkan aku memberi pelajaran untuk Bapakmu.”
*
*
*
maybe Arum msh ada belas kasih kna dia anak, tapi sisi dendam di dalam tubuh Arum ( Larasmi) harus tuntas nggak ada belas kasih lgi
siapa pula yg menapar ya
yaaa blm 1 bulan udh di bilang masa llu enak aja. g tau arum mau mati kannn
klo arum amti kalian mau apa coba