NovelToon NovelToon
DUDA LEBIH MENGGODA

DUDA LEBIH MENGGODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Monica

:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."

"Ngelunjak!"

Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Udara malam Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan rintik-rintik membasahi kota, seakan mencoba meredam amarah yang membara di balik layar peristiwa yang sedang mereka hadapi. Di dalam kontrakan tua yang menjadi tempat persembunyian mereka, Monica duduk termenung, menatap layar ponselnya yang terus bergetar tanpa henti. Pesan demi pesan berdatangan, dari berbagai sumber: teman-teman jurnalis, aktivis, bahkan akun anonim yang tak dikenal. Namun, satu pesan tertentu membuat tubuhnya menegang, bulu kuduknya merinding, sebuah pesan yang terasa begitu dingin dan mengancam. Pesan itu berbunyi:

"Ingin menyelamatkan semuanya? Datang sendiri. Tanpa Teddy. Lokasi dikirim 30 menit sebelum waktu."

Dengan tangan gemetar, Monica menunjukkan pesan tersebut kepada Teddy. "Mereka tahu kamu terlibat terlalu dalam. Ini jebakan, Teddy. Mereka ingin memisahkan kita, melemahkan kita." Kekhawatiran Monica tergambar jelas di wajahnya yang pucat.

Teddy menggeleng, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "Ini bukan jebakan, Mon. Ini penawaran. Mereka tahu kamu ancaman yang lebih besar daripada aku. Kamu… simbol perlawanan ini. Kalau kamu menyerah, gerakan kita untuk membongkar kejahatan ini akan mati. Mereka akan bebas."

Monica menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. "Dan kalau aku tidak datang, mereka akan menyebarkan narasi palsu tentang kita. Tentang Livia. Semua yang sudah kita bangun, semua pengorbanan yang telah kita lakukan, akan hancur seketika." Ia merasa terhimpit di antara dua pilihan yang sama-sama sulit.

Saat itu juga, Adrian masuk, membawa laptopnya. "Video dari ‘tangan kanan’ Raline sudah beredar di dark web. Dia mengirim pesan kepada kita." Suaranya terdengar serius, penuh dengan kekhawatiran.

Di layar laptop, muncul wajah seorang pria berwajah dingin, dengan bekas luka yang menghiasi pelipisnya, seorang pria yang memancarkan aura kekerasan dan trauma yang mendalam. Suaranya, yang terdengar dalam dan terlatih, penuh dengan amarah dan dendam yang terpendam, menggema di ruangan.

"Dulu kalian abaikan suara kami. Sekarang, kami jadi alat. Tapi alat bisa patah. Monica, Teddy… satu dari kalian harus hilang, agar narasi ini berakhir. Kalian harus memilih salah satu dari kalian untuk dikorbankan."

Di sisi lain kota, di sebuah ruangan tersembunyi yang dijaga ketat oleh para relawan, Livia duduk termenung, membaca salinan artikel berita tentang dirinya. Tangannya gemetar hebat, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa bersalah, merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi.

"Ini semua… salahku," bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Seorang relawan perempuan menghampiri Livia, berusaha untuk menenangkannya, "Kau bertahan, Livia. Itu sudah cukup. Kau sudah cukup kuat."

Tapi Livia berdiri, matanya menatap kosong ke arah jendela, "Tidak. Aku tahu di mana mereka menyimpan file asli tentang eksperimen itu. Yang bisa menjatuhkan mereka semua. Aku harus melakukannya. Aku harus kembali ke sana." Tekadnya untuk membongkar kebenaran semakin kuat.

Malam itu, Monica tiba di gedung parkir kosong sesuai lokasi yang telah ditentukan. Kamera tersembunyi yang terpasang di jaketnya menyala, merekam setiap kejadian. Adrian memantau dari mobil, sementara Teddy… menunggu dengan dada sesak, penuh dengan kekhawatiran yang tak terkatakan.

Seseorang muncul dari balik bayangan—bukan Raline, bukan sang tangan kanan yang menyeramkan. Tapi sekretaris yayasan. Wajahnya tampak lelah, namun matanya masih memancarkan cahaya kejernihan.

"Aku disuruh menyampaikan pesan. Raline bersedia menghentikan semua ini… membebaskan Livia, membersihkan nama Teddy, bahkan membubarkan yayasan. Tapi kamu harus keluar dari sorotan. Mundur dari publik. Dan… tinggalkan Teddy." Suaranya terdengar datar, tanpa emosi.

Monica tertawa miris, suaranya terdengar penuh dengan sinisme, "Klasik. Musnahkan kepalanya, biar tubuh mati perlahan." Ia tahu ini adalah jebakan.

"Tapi ini kesempatan, Mon. Ini jalan damai. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya." Sekretaris itu berusaha untuk meyakinkan Monica.

Monica mendekat, menatap mata wanita itu dengan tajam, "Bilang pada Raline… kami tidak meminta jalan damai. Kami meminta keadilan. Kami tidak akan menyerah."

Di saat bersamaan, di lokasi lain, Livia menyusup kembali ke salah satu kantor cabang lama yayasan—dengan bantuan seorang mantan staf yang juga merupakan korban dari eksperimen tersebut. Mereka masuk ke ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, menemukan sebuah lemari besi tua yang tersembunyi.

Di dalamnya: rekaman sesi eksperimen dengan puluhan pasien. Termasuk satu rekaman yang membuat Livia membeku—dia, duduk di ruangan, dipaksa mengucapkan kebohongan dengan tatapan kosong… dan Raline di belakang kamera, menyaksikan semuanya.

Beberapa jam kemudian, Monica, Teddy, dan Adrian duduk di ruang aman. Livia datang membawa hard disk berisi rekaman tersebut. Wajahnya tidak lagi ketakutan, namun penuh dengan tekad.

"Sekarang… kita tidak hanya punya bukti. Kita punya seluruh arsip hitam mereka." Suaranya terdengar penuh dengan keyakinan.

Monica menyentuh bahunya, "Kamu luar biasa, Livia. Kau sangat berani."

Livia menatap mereka, matanya berbinar, "Belum selesai. Tapi ini… adalah awal dari akhir mereka." Perjuangan mereka masih jauh dari selesai, namun mereka telah mendapatkan senjata pamungkas untuk melawan kejahatan yang selama ini mereka hadapi.

1
Wien Ibunya Fathur
ceritanya bagus tapi kok sepi sih
Monica: makasih udah komen kak
total 1 replies
Monica Pratiwi
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!